Soal pendidikan, saatnya berguru ke Perguruan Taman Siswa Ki Hadjar Dewantara, Perguruan Kayutanam Muhammad Syafei di Padang, dan Perguruan Kweekschool Tanobato Willem Iskander di Mandailing, juga teladan pemimpin.
Oleh
I NYOMAN TINGKAT
·5 menit baca
”Bila suatu negara tidak dapat mengembangkan sumber daya manusianya, negara itu tidak akan dapat mengembangkan apa pun, baik sistem politik modern, rasa kesatuan bangsa, maupun kemakmuran.” (F Harbison dan CA Myers).
Kutipan itu menarik dicermati dalam konteks pembangunan Indonesia kini, yang mulai 2019 diprioritaskan untuk pembangunan sumber daya manusia (SDM) selaras dengan gerakan revolusi mental Presiden Jokowi. Pembangunan SDM pada hakikatnya adalah pembangunan jiwa bangsa untuk mengembangkan imajinasi seluas-luasnya sebagai inspirasi dalam mewujudkan inovasi.
Soal inovasi, Widagdo (2018) menyebutkan, China sejak 2007 telah berguru kepada Amerika. Hasilnya, China sadar akan kemajuan Amerika dimulai dengan tradisi membaca fiksi ilmiah sejak anak-anak dan berlanjut hingga remaja. Sejak itulah, larangan membaca fiksi di kalangan anak-anak di China dicabut, dengan menganjurkan anak-anak sekolah membaca fiksi ilmiah sejak dini.
Ketika China berhasil ”mencuri” ilmu Amerika, Amerika merasa kelimpungan manakala pasar ekonomi China makin mendunia, termasuk merambah ke Indonesia. Akibatnya, Amerika pun merasa berkepentingan dengan posisi Indonesia lebih-lebih dalam menyambut pemilu serentak 14 Februari 2024, yang tahapannya dimulai pada pertengahan Juni 2022.
Pengalaman Amerika terhadap China mirip dengan pengalaman Indonesia terhadap Malaysia, yang berguru ke Indonesia soal pendidikan pada awal era 1960-an. Hasilnya, Malaysia melampaui keberhasilan Indonesia, kini. Mengapa? Malaysia ternyata lebih disiplin dan teratur dalam berperaturan. Itu adalah buah dari pendidikan, yang tidak bisa dilepaskan dari proses berkesunggguhan dalam berguru ke Indonesia dan diaplikasikan secara konsisten.
Bagaimana dengan Indonesia, ke mana mesti berguru? Ke Jepang dengan mengadopsi Lesson Study? Ke Finlandia, ke Denmark, atau New Zealand yang terkenal dengan tingkat kebahagiaan tertinggi di dunia karena kejujuran menjadi alas pendidikannya berhasil membangun jiwa bangsanya?
Tidak. Karena dari banyak studi banding ke berbagai negara baik dari mereka yang berkecimpung di dunia pendidikan, politik, ekonomi, sosial, maupun budaya, yang dibawa pulang ke Indonesia adalah cerita bukan berita yang mudah diaplikasikan. Yang dilakukan sepulang studi banding adalah sibuk membuat laporan pertanggungjawaban penggunaan anggaran. Selesai pertanggungjawaban habis perkara, proyek baru mengatasnamakan studi banding pun dimulai dan diulang. Mental demikian juga merambah ke jalur akademik dalam proyek penelitian.
Yang dilakukan sepulang studi banding adalah sibuk membuat laporan pertanggungjawaban penggunaan anggaran.
Alasan sulitnya mengaplikasikan hasil studi banding ke berbagai negara pun bermacam-macam. Nature dan culture Indonesia berbeda. Ruang formal dan informal berbeda. Pikiran dan hati berbeda. Serupa panggung sandiwara, pemain dan lakon sudah selesai di balik panggung, tetapi di depan panggung perdebatan tak kunjung selesai dan menjadi tontonan minim tuntunan.
Inilah ruang publik yang sungsang di balik gemerlap ritual hipokrit. Inilah yang disebut simulacrum dalam pandangan Baudrillard. Pengaburan fakta atas fiksi berseberangan dengan nilai-nilai pendidikan, yang mengedepankan nilai-nilai humanistik.
Lalu, ke mana Indonesia mesti berguru? Saatnya berguru ke dalam, menengok Perguruan Taman Siswa Ki Hadjar Dewantara di Yogyakarta, Perguruan Kayutanam Muhammad Syafei di Padang, dan Perguruan Kweekschool Tanobato Willem Iskander di Mandailing Sumatera Utara.
Titik-titik simpul pergerakan nasional itu diinisiasi melalui pendidikan menuju kebangkitan nasional untuk kemerdekaan Indonesia. Semua perguruan itu tidak tabu belajar ke luar negeri, tetapi untuk memperkuat jadi diri, peradaban, dan kepribadian bangsa.
Mereka menginspirasi bangsanya dari ruang kelas kesederhanaan, seperti Presiden Jokowi yang tampil mempromosikan karya anak bangsa, mulai dari busana yang dipakainya, alat transportasi yang dipilihnya, hingga kuliner yang disuguhkan kepada tetamu penting. Inilah demokrasi ala Indonesia yang diperjuangkan Jokowi untuk memperkuat ke-Indonesia-an dalam keberbagaian. Inilah revolusi mental yang sesungguhnya melalui teladan sang pemimpin.
Kembalikan Indonesia kepadaku, bukan menjadi antek asing dan aseng, sesuai dengan semangat Trisakti: berdikari dalam ekonomi, berdaulat secara politik, dan berkepribadian dalam kebudayaan bangsa. Selaras dengan Trikon Ki Hadjar Dewantara: konsentris (penyatuan dari keberbagaian), kontinuitas (keberlanjutan transformasi dari orangtua ke anak), dan konvergensi (perpaduan lokal, nasional, global untuk menguatkan jati diri bangsa).
Kini kesempatan terindah menjadikan pendidikan sebagai panglima setelah eksperimen politik sebagai panglima gagal mewujudkan cita-cita Indonesia yang berakhir dengan peralihan kekuasaan melalui Supersemar yang supersumir. Setelah ekonomi sebagai panglima gagal melakukan alih generasi kepemimpinan yang berakhir dengan kerusuhan Mei 1998.
Kini kesempatan terindah menjadikan pendidikan sebagai panglima setelah eksperimen politik sebagai panglima gagal mewujudkan cita-cita Indonesia.
Karena ketika politik dijadikan panglima, cara-cara berpolitik bersih dan kotor dibaurkan menjadi seolah-olah melalui cara-cara prosedural minim substansial. Pun ketika ekonomi sebagai panglima, cara-cara prosedural juga makin kental, dan perekonomian dikuasai sejumlah kecil orang Indonesia. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Kesenjangan makin menganga. Akses si miskin makin terjepit. Maka saatnya pendidikan disegerakan untuk mengatasinya.
Setelah infrastruktur terbangun, pembangunan dimulai dari pinggiran dengan desa sebagai subyek pembangunan. Kartu trisakti diberdayakan. Pemimpin menemui rakyatnya melalui siswa lugu tanpa rekayasa, sebagai bukti Indonesia asli. Ruang tanya jawab berjalan cair, tanpa peduli salah benar jawaban siswa lugu. Semua dapat hadiah sepeda. Murah meriah bergairah.
Inilah guru bangsa sejati, yang memahami jiwa bangsa dengan menyelami hati nuraninya untuk mendapatkan mutiara yang terpendam agar kelak bersinar bagi Indonesia jaya memasuki seabad kemerdekaannya, pada 2045. Dimulai dari sini, dari ruang-ruang kelas pembelajaran, dengan guru sebagai sutradara dalam merdeka belajar. Kurikulum Merdeka diaplikasikan. Kodrat anak mengikuti kodrat alam dan kodrat zaman, kata Ki Hadjar Dewantara.
Pendidikan dijadikan instrumen pemberdayaan masyarakat. Para politisi menjadi teladan dengan tunduk kepada kaidah-kaidah edukatif dengan mendengarkan keluhan konstituen (listening), mengamati perilaku masyarakat (observation), memberi penilaian secara sosiologi karakter masyarakat (value), dan menumbuhkan rasa peka dan tersentuh (empaty) pada jeritan masyarakatnya.
Politisi yang menjadikan LOVE tersebut sebagai pintu membuka hati nurani anak negeri tak ubahnya pendidik yang memberikan perhatian kepada anak didiknya mengetuk gravitasi kesadaran untuk memanusiakan manusia. Saatnya pendidikan mengetuk gravitasi kesadaran di tengah ramainya wacana RUU Sisdiknas.
I Nyoman Tingkat, Kepala SMA Negeri 2 Kuta Selatan, Bali