
Pendidikan merupakan sumber kemajuan bangsa. Sistem pendidikan yang baik akan menciptakan sumber daya manusia yang unggul, dan ini membuat negara menjadi maju.
Paling tidak tiga tahun terakhir, pemerintah melalui Kemendikbudristek melakukan sejumlah terobosan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Melalui gerakan Merdeka Belajar, yang sudah mencapai 24 episode, beberapa aturan ataupun ”tradisi” yang tidak memajukan pendidikan dirombak.
Tidak ada lagi ujian nasional yang selama ini cenderung mengabaikan proses pembelajaran, penentuan kelulusan diserahkan ke sekolah dan evaluasi siswa dikembalikan ke guru. Beban administrasi guru dikurangi agar bisa lebih fokus dalam pembelajaran siswa. Demikian juga metode pembelajaran tak lagi berfokus ke guru, tetapi ke siswa. Pembelajaran tak sekadar berorientasi akademik, tetapi juga menghargai dan mengembangkan potensi siswa.

Bagaimana hasilnya sejauh ini? Kemendikbudristek meyakini bahwa gerakan Merdeka Belajar berhasil meningkatkan mutu pendidikan (Kompas, 3/5/2023). Evaluasi program Implementasi Kurikulum Merdeka di 18 kabupaten/kota di tiga provinsi yang dilakukan Inspektorat Jenderal Kemendikbudristek pada 2022, misalnya, memang menunjukkan hasil yang signifikan (Kompas, 16/1/2023).
Baca juga: Hardiknas, Momentum Merefleksikan Merdeka Belajar
Baca juga: Menyusun Kembali Pendidikan
Belum ada evaluasi menyeluruh mengenai gerakan Merdeka Belajar ini karena memang belum semua sekolah melaksanakan gerakan ini karena berbagai sebab. Sekolah-sekolah penggerak dengan guru-guru penggerak di dalamnya, atau sekolah-sekolah yang didukung dengan sumber daya yang memadai dipastikan tidak menghadapi kendala melaksanakan Merdeka Belajar.
Di luar sekolah-sekolah tersebut, umumnya di daerah pinggiran, bahkan terpencil, masih banyak sekolah dengan sarana dan prasarana yang belum memadai, bahkan jumlah ataupun kompetensi gurunya masih kurang. Sayangnya, permasalahan-permasalahan ini belum sepenuhnya teratasi. Perekrutan guru pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) untuk mengatasi kekurangan guru, misalnya, masih karut-marut.

Permasalahan-permasalahan tersebut menyebabkan pelayanan pendidikan belum merata, dan banyak siswa tertinggal pendidikannya. Desentralisasi pendidikan yang diikuti ketentuan alokasi anggaran 20 persen untuk pendidikan nyatanya juga belum sepenuhnya bisa menjawab permasalahan tersebut, bahkan bukan tidak mungkin kapasitas daerah yang beragam justru berpotensi mempertajam disparitas pendidikan.
Ini tantangan terbesar untuk mempercepat transformasi pendidikan, dan untuk mengatasinya dapat dimulai dengan transformasi tata kelola guru. Meski pengembangan pendidikan itu menjadi tanggung jawab bersama (keluarga, guru, institusi pendidikan, dunia industri, dan masyarakat), kunci transformasi pendidikan ada pada guru. Guru yang sejahtera, kompeten, dan tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia.
Baca juga: Mengawal Arah Transformasi Pendidikan
Selanjutnya, meratakan tujuh standar pendidikan lainnya, dan untuk ini kebijakan pendidikan yang konsisten dan terarah untuk kemajuan pendidikan menjadi kuncinya. Gerakan Merdeka Belajar tanpa diikuti upaya-upaya ini, maka ibarat kereta kuda, negara ini tak akan laju jalannya (maju) jika ada kuda penghelanya yang berjalan pelan (tertinggal).