Seleksi Tak Mandiri Mahasiswa Baru Perguruan Tinggi Negeri
Penetapan dasar seleksi jalur seleksi mandiri bersifat relatif karena diserahkan sepenuhnya ke pimpinan PTN. Kewenangan ini tak disertai mekanisme kontrol yang terbuka bagi publik. Hal ini menjadikan SM jalur ”abu-abu”.
Oleh
AGUS SUWIGNYO
·5 menit baca
Apakah proses seleksi penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi negeri benar-benar mandiri?
Pertanyaan itu muncul menyusul penangkapan rektor dan sejumlah pejabat Universitas Lampung oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jalur-jalur seleksi yang selama ini dipakai dalam penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi negeri (PTN) menunjukkan, proses seleksi itu tak benar-benar mandiri dalam arti nihil dari kepentingan.
Setiap jalur seleksi menggendong kepentingan sesuai tujuan dan syarat-syaratnya. Tujuan dan syarat-syarat itu ada yang sudah ditetapkan oleh peraturan pemerintah dan berlaku bagi semua PTN. Namun, ada pula tujuan dan syarat-syarat yang diserahkan sepenuhnya kepada pimpinan PTN. Dengan kata lain, persoalan ke(tidak)mandirian proses seleksi penerimaan mahasiswa baru (PMB) PTN sejatinya berhulu pada kebijakan yang memungkinkan terjadinya penyalahgunaan.
Karena itu, alih-alih melokalisasi peristiwa Unila sebagai kasus yang ”setitik” (Didi Achjari, Kompas, 24/8/2022), rasanya lebih baik memaknai peristiwa itu sebagai kode komunikasi bahwa KPK dan penegak hukum sedang ”mengingatkan” para pengelola PTN tentang akuntabilitas PTN.
Jalur-jalur seleksi PMB di PTN sering menimbulkan persoalan pada tingkat praktik karena peraturan yang menjadi landasan operasionalnya bermasalah. Saat ini, landasan yang berlaku adalah Peraturan Menteri (Permen) Pendidikan dan Kebudayaan No 6/2020, yang sebenarnya merupakan pembaruan atas Permen Ristek-Dikti No 90/2017 dan Permen Ristek-Dikti No 126/2016. Ketiga permen itu mengatur PMB Program Sarjana pada PTN.
Menurut ketiga permen itu, PMB di PTN ditetapkan melalui tiga mekanisme, yaitu Seleksi Nasional Masuk PTN (SNMPTN), Seleksi Bersama Masuk PTN (SBMPTN), dan seleksi mandiri (SM). Sejak awal diberlakukan, jalur SM menimbulkan sejumlah masalah dan resistansi mahasiswa.
Pertama, penetapan dasar seleksi dalam SM bersifat relatif karena diserahkan sepenuhnya ke pimpinan PTN. Kewenangan ini tak disertai mekanisme kontrol yang terbuka bagi publik.
Kedua, peraturan menteri memberikan kewenangan bagi PTN untuk menarik dana sumbangan dari calon mahasiswa yang diterima melalui jalur SM, yang disebut biaya operasional pendidikan (BOP, atau nama-nama lain). Sumbangan BOP bersifat sukarela sehingga di sejumlah PTN, misalnya Universitas Gadjah Mada, mahasiswa dapat tidak memberikan sumbangan BOP sama sekali (Kompas.com, 24/8/2022).
Ketentuan ini menjadikan jalur SM bersifat ”abu-abu”. Meskipun sumbangan BOP bersifat sukarela, pimpinan PTN berwenang memungut ataupun tidak memungut BOP.
Ketiga, pada Permen 2016 dan 2017, kuota jalur mandiri ditetapkan paling banyak 30 persen dari total kuota setiap program studi, sedangkan kuota jalur SNMPTN paling sedikit 20 persen dan jalur SBMPTN paling sedikit 40 persen. Tak ada perbedaan alokasi kuota di antara PTN.
Namun, pada Permendikbud No 6/2020 Pasal 6 Ayat 6, kuota jalur SM ditetapkan paling banyak 50 persen bagi PTN badan hukum (PTN-BH). Artinya, jika dirunut dari tujuan setiap jalur seleksi, Permen 2020 justru mempersempit ruang seleksi berbasis prestasi dan kompetisi yang bersifat nasional dan memperbesar jalur seleksi berbasis ketentuan yang hanya pada lingkup kelembagaan sebuah PTN.
Jika berbagai peraturan Mendikbud tentang PMB itu dicermati, sebenarnya cukup ada dua jalur seleksi, yaitu jalur tes dan jalur afirmasi.
Cukup dua jalur seleksi
Jika berbagai peraturan Mendikbud tentang PMB itu dicermati, sebenarnya cukup ada dua jalur seleksi, yaitu jalur tes dan jalur afirmasi. Permendikbud harus direvisi. Jalur tes dapat diatur agar berlaku secara nasional, dengan standar dan tolok ukur yang berlaku secara nasional. Selama ini jalur tes terwadahi dalam SBMPTN. Namun, SBMPTN masih perlu dibenahi sebab selama ini hanya berupa tes tertulis kompetensi dasar (aptitude test).
Model tes tertulis kompetensi dasar hanya berfokus pada kemampuan pengetahuan/kognisi dan mengabaikan kompetensi praktis yang mungkin diperlukan dalam proses belajar pada bidang tertentu. Tes tertulis juga tak dapat memberikan gambaran tentang kondisi psikologis dan personal mahasiswa, yang berpotensi memicu stres dalam belajar di perguruan tinggi. SBMPTN perlu diperbaiki terkait hal-hal tersebut.
Sementara itu, jalur afirmasi sebenarnya sudah terwadahi pada SNMPTN. Permendikbud No 6/2020 Pasal 3 Ayat 1 butir a menyatakan, ”Seleksi Nasional Masuk PTN dilakukan hasil penelusuran prestasi akademik, nonakademik, dan/atau portofolio calon mahasiswa”.
Didie SW
Pasal ini jelas bersemangat afirmatif, yaitu pengakuan atas prestasi yang pernah diraih calon mahasiswa. Misalnya, nilai rapor yang tinggi, juara olahraga, aktivis budaya, dan berbagai kegiatan nonkurikuler lain. Cakupan ini sesuai semangat merdeka belajar, yang mengakui berbagai aktivitas di luar bidang akademik sebagai bagian pengembangan diri yang integral.
Dengan pemahaman ini, tidak perlu ada jalur afirmasi lain yang terpisah dalam proses seleksi mahasiswa baru PTN. Meski demikian, jalur afirmasi dalam SNMPTN harus dibenahi. Pertama, afirmasi atas prestasi para calon mahasiswa sebaiknya sinkron dengan bidang studi sasaran yang ingin dimasuki. Jika seorang anak berprestasi dalam bidang olahraga, afirmasi prestasi olahraga yang ia miliki hanya dapat dilakukan sebagai dasar untuk memasuki program studi yang membutuhkan keterampilan keolahragaan tertentu.
Kedua, selama ini jalur SNMPTN hanya mengafirmasi prestasi. Padahal, dalam prinsip umum seleksi, ada kategori afirmasi sosial-ekonomi sebagaimana diatur dalam tiga permendikbud di atas. Perbaikan jalur afirmasi harus merinci keberpihakan ke kelompok sosial ekonomi ataupun dari wilayah tertentu secara eksplisit.
Di luar itu semua, untuk menjamin akuntabilitas proses seleksi calon mahasiswa PTN, keterbukaan informasi merupakan syarat mutlak. Telah sangat lama para aktivis pendidikan menuntut agar skor kelulusan pada jalur tes masuk PTN dan skor nilai para peserta tes diumumkan ke publik. Hal ini seiring dengan adanya UU keterbukaan informasi publik. Namun, hal itu terganjal, antara lain, oleh Pasal 11 Ayat 2 butir f Permendikbud No 6/2022. Pasal ini juga harus direvisi.
(Agus Suwignyo,Pedagog cum Sejarawan Pendidikan, Fakultas Ilmu Budaya UGM)