Merawat Merah Putih
Kirab Merah Putih merupakan ”sinyal” sangat kuat untuk ”merawat” Merah Putih, khususnya menjelang Pilpres 2024. Sinyal kuat bagi penyelenggaraan pemilu agar menghasilkan pemimpin yang bisa menjaga persatuan dan kesatuan.
Acara Kirab Merah Putih atas prakarsa Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo di kawasan Bundaran HI baru-baru ini adalah sebuah langkah besar, mendasar, dan patriotik dalam sejarah bangsa, yang dalam dekade-dekade terakhir terkurung di dalam lorong gelap pembelahan bangsa.
Acara pembentangan bendera Merah Putih sepanjang 1.700 meter mulai dari Tugu Monas hingga Bundaran HI ini bukan pawai biasa. Ia adalah pawai kultural-simbolis sarat makna dan panggilan ideologis bagi kesatuan dan persatuan bangsa.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Dalam dekade terakhir, anak bangsa ”kenyang” dengan adu domba sosial-politik, yang membelah bangsa ke dalam dua kubu besar. Pembelahan bahkan telah merasuk dalam tataran psikis (kebencian, fitnah, penghinaan) dan simbolik (tanda palsu, hoaks). Acara pawai yang dihadiri unsur-unsur pemerintah, organisasi masyarakat, tokoh bangsa, lintas suku, lintas agama, pemuda, hingga mahasiswa menegaskan kembali simbol kebinekaan, sebagai artikulasi kultural-politis untuk keluar dari manipulasi politik kelompok berkepentingan.
Baca juga: Presiden Jokowi Lepas Kirab Merah Putih, Warga Antusias Memeriahkan Pawai
Bendera Merah Putih kini tak hanya lambang negara, tetapi bersama beragam anak bangsa yang mengangkatnya, telah menjadi ”penanda besar” (master signifier) bagi gagasan besar ideologis kesatuan dan persatuan bangsa, sebagai artikulasi sejati sila Persatuan Indonesia. Selama ini, makna persatuan telah dirusak oleh kekuatan-kekuatan ekonomi-politik, yang mendistorsi dan memutarbalikkan makna persatuan. Kirab Merah Putih adalah ”artikulasi-ulang ideologis” bagi makna persatuan yang sejati—the ideological rearticulation.
Artikulasi-ulang ideologi
Kirab Merah Putih adalah ajang artikulasi nilai-nilai ideologis Pancasila, khususnya nilai kesatuan dan persatuan. Pancasila adalah sebuah konsensus keyakinan sosial abstrak dan umum yang mengarahkan setiap pikiran, tindakan, dan karya anak bangsa. Karena itu, ia harus diartikulasikan dan diartikulasi-ulang (rearticulation) secara terus-menerus melalui berbagai wacana, penampilan, dan tindakan. Artikulasi-ulang ini untuk menjaga agar nilai-nilai inti Pancasila tidak dimanipulasi dan disimpangkan dari kesejatiannya.
Ideologi dapat diartikulasikan dengan memobilisasi segala sumber daya tanda (semiotic resources)—verbal, visual, obyek—melalui aneka wacana (discourses): ucapan, tindakan, dan pertunjukan termasuk pawai. Sebagai wacana, Pawai Merah Putih merangkai aneka kata, tausiah, ikrar, gambar, lambang, dan bahasa tubuh dalam ”artikulasi-ulang ideologi”. Artikulasi-ulang ini adalah upaya penegasan-ulang (reafirmation) atas penghayatan ideologi sejati yang selama ini telah didistorsi dan dikaburkan oleh kelompok sosial-politis berkepentingan (Zienkowski, 2017).
Manipulasi ideologis ini telah membawa pada terbelahnya anak bangsa akibat bekerjanya mekanisme ”kuadrat ideologi” (ideological square). Mekanisme ini mendorong pada pemujaan golongan sendiri (in-group), dan penghinaan golongan luar-diri (out-group) (Van Dijk, 1998). Efek massal kuadrat ideologi menghasilkan artikulasi kolosal pertentangan ideologi bersifat artifisial: ”pendukung kesatuan” vs ”antikesatuan”.
Kirab Merah Putih adalah wujud persuasi atau pemanggilan anak bangsa agar menjadi ’subyek’ ideologi persatuan yang otentik.
Artikulasi ideologis ”NKRI Harga Mati” justru dimanipulasi untuk merusak kesatuan itu sendiri. Kirab Merah Putih adalah wujud persuasi atau pemanggilan anak bangsa agar menjadi ”subyek” ideologi persatuan yang otentik. Ia adalah cara kognitif mengubah, memodifikasi, dan menata-ulang keyakinan, nilai, sikap, dan perilaku untuk menegaskan-ulang ideologi, pengetahuan, dan keyakinan kebangsaan sejati (Pelclová & Lu, 2018).
Penegasan-ulang ideologis ini sangat dibutuhkan dalam kondisi bangsa yang terpecah-belah, untuk mengubah dan mengarahkan pikiran (mind control) ke arah pemahaman dan penghayatan ideologi sejati (Van Dijk, 2000). Kirab ini merupakan interpelasi bagi seluruh elemen bangsa yang beragam untuk menjadi subyek dari ideologi kesatuan.
Inilah upaya ”ideologis-simbolis” mentransformasikan anak bangsa dari subyek perpecahan ideologis menjadi subyek kesatuan ideologis dalam keanekaragaman. Perpecahan ideologis telah menggiring terbelahnya bangsa sejak satu dekade terakhir. Untuk itu, kirab ini mengerahkan multimodal tanda (verbal, visual, bahasa tubuh) dalam ”mengajak” anak bangsa bersatu (Machin & Mayr, 2012). Ucapan doa dan tampilan pakaian agama-agama berbeda jadi penguat dari penanda kebinekaan dalam kesatuan. Sebagai ajang penegasan-ulang ideologi serta artikulasi-ulang makna persatuan dan kesatuan, Kirab Merah Putih mengerahkan berbagai ”kendaraan tanda” (sign vehicle) sebagai indeks.
Kehadiran Presiden Joko Widodo, para pejabat Polri, dan berbagai elemen bangsa yang beranekaragam adalah ”indeks” tersebut. Persuasi juga menuntut kemampuan artikulasi kuat. Hadirnya sosok ulama karismatis Habib Luthfi bin Ali bin Yahya bersama tokoh-tokoh agama yang lain, serta narasi retoris-inklusif yang diangkatnya, mampu meneguhkan makna kesatuan dan persatuan.
Artikulasi-ulang ideologi Pancasila, khususnya artikulasi-ulang makna kesatuan dan persatuan, mestinya tak hanya melalui Kirab Merah Putih ini. Artikulasi-ulang itu seharusnya dilakukan secara massal dan berkelanjutan karena ideologi selalu berada di dalam medan ”hegemoni” (Gramsci, 1971).
Apabila ideologi otentik tidak secara terus-menerus diartikulasikan (dan diartikulasi-ulang)—agar diterima, dihargai, dan melekat pada pikiran setiap komponen bangsa—maka artikulasi dari ideologi-ideologi berkepentingan dapat mendistorsi, mengaburkan, bahkan merusak ideologi sejati ini demi kepentingan politik kelompok, golongan, atau partai—the ideological distortion.
Pada acara Kirab Merah Putih, Kapolri memberikan ’sinyal’ sangat kuat untuk ’merawat’ Merah Putih, khususnya menjelang Pemilihan Presiden 2024.
Implikasi politik
Pada acara Kirab Merah Putih, Kapolri memberikan ”sinyal” sangat kuat untuk ”merawat” Merah Putih, khususnya menjelang Pemilihan Presiden 2024. Karena itu, warna merah putih dihadirkan secara kolosal, berupa bendera sepanjang 1.700 meter, di samping aneka bendera merah putih yang dipegang, serta berbagai aksesori merah putih yang dikenakan para peserta.
Di sini, ”merah putih” menjadi sebuah ”penanda besar”, untuk mengartikulasi- ulang makna otentiknya, yang telah dimanipulasi dan didistorsi kelompok-kelompok berkepentingan. Kapolri telah memberikan tanda dengan tingkat modalitas tinggi (high modality) karena tingkat ”perintah” yang tinggi (Kress & van Leeuwen, 2001), yaitu ”kewajiban” seluruh komponen bangsa merawat Merah Putih dan makna ideologisnya, yaitu kesatuan dan persatuan bangsa.
Sinyal kuat ini khususnya ditujukan bagi penyelenggaraan Pemilu 2024, yang ”wajib” menghasilkan pemimpin yang bisa menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Sinyal kuat ini mestinya mengubah postur pesta demokrasi 2024, dari pesta ”perpecahan bangsa” menjadi pesta ”persatuan bangsa”. Gerak-gerik, komunikasi, narasi, dan bahasa para elite dan konstituen politik menyambut Pemilu 2024 hendaknya ditata ulang, agar sesuai jiwa Merah Putih. Pesta demokrasi hendaknya jadi medan pertarungan ideologis sejati para kontestan, bukan dalam bingkai ideologi liberalisme-radikal (Laclau & Mouffe, 2001), tapi dalam bingkai Pancasila sebagai konsensus nasional.
Di dalamnya, semua kontestan dipandang sebagai lawan politik yang ideologinya dipertarungkan, bukan sebagai ”musuh” politik, yang keyakinan dan eksistensinya dihinakan dan dimusnahkan—inilah makna sejati kesatuan dan persatuan bangsa. Karena itu, artikulasi-ulang makna ”Merah Putih” hendaknya jadi semacam gerakan nasional lebih luas oleh seluruh komponen bangsa yang mencintai Merah Putih, persatuan dan kesatuan bangsa.
Artikulasi-ulang ini harus dilakukan besar-besaran melalui multimodalitas sumber daya, bahasa, media, dan wacana yang ada (communicative resources), agar memberikan efek artikulasi berlipat ganda. Hanya melalui artikulasi-ulang ideologi, anak bangsa dapat keluar dari lorong gelap perpecahan, untuk menatap masa depan bangsa lebih cerah.
Yasraf A Piliang,Pemikir sosial dan kebudayaan ITB