Keleluasaan Sambo memerintahkan pembunuhan ajudannya, merekayasa dan membangun skenario cerita, serta menghalangi penyidikan harus menjadi koreksi internal kepolisian. Mengapa semua itu terjadi?
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Skandal Ferdy Sambo membuat kepercayaan publik kepada Polri menurun drastis. Begitu juga persepsi publik terhadap sektor penegakan hukum.
”Kegeraman” dan ”kegelisahan” publik itu tecermin dalam survei yang dilakukan Indikator Politik Indonesia periode 11-17 Agustus 2022. Hasil survei itu menunjukkan 37,7 persen responden menilai penegakan hukum kita buruk dan sangat buruk.
Responden yang menganggap baik dan sangat baik hanya 29,5 persen. Kepercayaan kepada Polri dalam rentang sangat percaya dan percaya di angka 54,2 persen, jauh dibandingkan terhadap KPK dan kejaksaan. Angka ini turun dibandingkan dengan Mei 2022 yang berada di angka 66,7 persen.
Persepsi publik tercipta karena skandal Sambo. Skandal ini menarik perhatian publik dibandingkan dengan kasus lain karena mencakup isu takhta, harta, dan wanita. Banyaknya drama kian menarik perhatian publik.
Sambo dan Putri Candrawathi, istrinya, telah menjadi tersangka bersama dengan Bharada Eliezer, Ricky Rizal, dan Kuat Maruf. Bagaimana duduk soalnya, biarlah pengadilan yang membuktikan. Apakah dalam satu berkas atau berkas terpisah akan menentukan pembuktian.
Rekomendasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia patut dijadikan masukan untuk evaluasi ke dalam kepolisian. Salah satu yang menonjol adalah lemahnya pengawasan internal dan eksternal, selain tentunya model serta karakter kepemimpinan Sambo dan kewenangan Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri.
Keleluasaan Sambo memerintahkan pembunuhan ajudannya, merekayasa dan membangun skenario cerita, serta menghalangi penyidikan harus menjadi koreksi internal kepolisian. Mengapa semua itu terjadi?
Komnas HAM merekomendasikan perlunya pengawasan internal dan eksternal untuk mengawasi fungsi penyidikan. Fungsi ini ”lumpuh” dalam melakukan pengawasan sehingga Sambo leluasa mengarang cerita.
Kewenangan penyidikan harus ada yang mengawasi. Lembaga pengawas penyidikan sebaiknya tidak ditempatkan di bawah Badan Reserse Kriminal, tetapi di tempat lain sehingga terbuka saling cek dan saling imbang, termasuk membuka kemungkinan kehadiran orang luar.
Kasus Sambo memberi pelajaran bagaimana mungkin perintah jabatan bisa diingkari anak buahnya. Jika perintah tidak ditaati, anak buah akan dituduh tidak taat atasan. Namun, bagaimana jika perintah atasannya melanggar hukum. Perlu ada lembaga banding bagi anak buah yang tidak mau menjalankan perintah atasannya yang nyata-nyata melanggar hukum.
Keberadaan Divisi Propam Polri harus didefinisikan ulang. Tidaklah mungkin semua kewenangan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap polisi ”nakal” hanya berada dalam lingkup Propam.
Banyak pekerjaan rumah bagi Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo membersihkan polisi tak berintegritas, menata organisasi kepolisian, dan menjadikan Polri sebagai polisi Presisi sebagaimana visi serta misi Kapolri Listyo. Survei masih memberikan kepercayaan kepada Kapolri.