Untuk mewujudkan merdeka dan dewasa beragama, negara berperan pada tataran esensial dengan memajukan kesadaran beragama secara moderat dan pada tataran pragmatis menetapkan peraturan yang menjamin kebebasan beragama.
Oleh
JB KLEDEN
·4 menit baca
Menarik artikel Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, ”Merdeka dan Dewasa Beragama” (Kompas, 22/8/2022). Menurut Menag, secara normatif kita sudah merdeka beragama. Ada jaminan konstitusional. Namun, secara empiris, kita belum sepenuhnya merdeka. Salah satu indikasinya adalah kita belum dewasa beragama.
Sikap ketidakdewasaan beragama ditunjukkan dengan penyebaran kebencian dan menjelekkan agama lain, bersikap egois dan mau menang sendiri. Sikap seperti ini adalah sikap beragama yang kekanak-kanakan. Umat beragama diharapkan menjadi sungguh-sungguh dewasa (mature in religiousity) dan bukan berpura-pura dewasa (pretending to be mature in religiousity).
Substansi rekomendasi ini bukanlah hal baru. Namun, kali ini datang dari menteri yang mengurusi agama di republik ini pada HUT Kemerdekaan Ke-77 RI dengan tema ”Pulih Lebih Cepat-Bangkit Lebih Kuat”. Rekomendasi ini terasa menohok di tengah karut-marut hubungan antarumat beragama akibat fundamentalisme religius yang saling menegasikan dalam situasi politik di Tanah Air kita akhir-akhir ini.
Fobia beragama
Menurut Menag, seharusnya setelah 77 tahun merdeka, urusan merdeka beragama sudah selesai. Namun, urusan merdeka agama memang tidak sederhana. Salah satu gejala yang dapat diamati dalam hubungan antarumat beragama adalah heterofobia atau ketakutan terhadap yang lain. Budi Hardiman (2010) mengatakan, sebenarnya sumber heterofobia adalah otofobia. Karena ada rasa takut dalam diri, orang mengonstruksi yang lain sebagai sumber ketakutan.
Perilaku beragama yang kekanak-kanakan cenderung melihat agama lain sebagai ancaman, maka mereka menjadi penyerang untuk merendahkan fobianya.
Perilaku beragama yang kekanak-kanakan cenderung melihat agama lain sebagai ancaman, maka mereka menjadi penyerang untuk merendahkan fobianya. Mereka selalu menyerang dalam kelompok atau mengatasnamakan kelompok. Jadi orang yang melakukan tindak kekerasan secara kolektif, sebenarnya takut menghadapi kemerdekaannya sendiri.
Agama-agama mesti berhenti hidup dalam kecemasan narsistis karena terobsesi kepada usaha mengalahkan yang lain. Agama-agama dengan klaim-klaim absolut memang gampang terperangkap di dalam kandang pemikiran sempit yang dijiwai oleh semangat persaingan. Teologi agama-agama yang lebih inklusif semakin diperlukan untuk menumbuhkan sikap dan perilaku yang dewasa.
"Inter-Hope-Dialogue"
Pertanyaan lanjutan yang juga menarik: Mengapa setelah 77 tahun merdeka, kita masih dihantui oleh ketakutan terhadap yang lain? Kita terlampau lama hidup dalam alam yang mengabsolutkan kesamaan, sehingga ada semacam fobia untuk berbeda. Padahal keragaman adalah takdir. Karena beragam kita menjadi mengerti siapa kita dan dia. Karena berbeda ada peluang untuk bekerja sama.
Kita bersyukur era yang mengabsolutkan kesamaan telah berlalu. Kita mengalami era kebangkitan agama yang luar biasa di era reformasi. Sayangnya, fenomena kebangkitan agama ini sering dipahami sebagai restorasi atau pemulihan.
Karena terobsesi kepada pemulihan kemurnian ajaran dan perilaku, maka beragama seperti ini cenderung mengarahkan perhatiannya kepada pencarian dan pencegahan kesalahan. Mengenakan pakaian yang tidak menutup aurat dianggap mencemarkan kesucian Tuhan dan harus dilenyapkan. Mereka menjadi pembela Tuhan dan polisi moral. Penghayatan agama seperti ini membuat kita mudah terjebak dalam sikap merendahkan agama lain.
Orang yang dewasa beragama adalah penyulut harapan dan bukan menjadi horor yang menakutkan dan memangkas semangat hidup.
Dalam upaya membangun kedewasaan beragama, kita memerlukan konsep agama resurektif. Agama yang dihayati dalam semangat resurektif menjadi sumber inspirasi umatnya untuk memperjuangkan kualitas hidup manusia dan alam.
Orang yang menghayati keberagamaan seperti ini sadar bahwa agama adalah panggilan untuk membela manusia, khususnya mereka yang dipaksa menderita secara tidak adil. Mendewasakan diri dalam beragama, tidak sekadar berjuang menegakkan ajaran agama dan menjaga kemurniannya, tetapi terutama menegakkan kemanusiaan yang bungkuk karena tertindih tekanan ekonomi, paksaan sosial dan kamuflase politik serta memurnikan keluruhan martabat manusia.
Kesadaran ini membuat umat beragama lebih terbuka untuk berdialog dan bekerja sama dengan agama dan pandangan hidup lain, tanpa takut kehilangan jati dirinya. Dialog dan kerja sama seperti ini menjadi sebuah inter-hope-dialogue, dialog antar dan mengenai harapan. Orang yang dewasa beragama adalah penyulut harapan dan bukan menjadi horor yang menakutkan dan memangkas semangat hidup.
Peran bersama
Wolfgang Boeckenfoerde, seorang ahli ilmu tata negara Jerman, mengatakan, negara demokratis tidak hidup dari syarat-syarat yang diciptakannya sendiri. Negara demokratis memerlukan warga negara yang memiliki sikap hormat terhadap warganya, kesediaan berkorban dan bertanggung jawab, solidaritas dan ketaatan terhadap apa yang disepakati bersama.
Sikap-sikap ini oleh Menag Yaqut Cholil Qoumas disebut sebagai sikap beragama yang dewasa. Sikap seperti ini diperlukan negara tetapi tidak diproduksinya sendiri.
Juergen Habermas dalam diskusinya dengan Joseph Ratzinger menyebut pembentukan sikap ini sebagai peran dari elemen prapolitik (Paul Budi Kleden dan Adrian Sunarko, eds (2010)). Agama termasuk elemen prapolitik yang penting dalam pembentukan sikap-sikap tersebut. Prapolitik di sini tidak dalam kategoris historis, tetapi sebagai syarat yang harus selalu ada karena tetap diperlukan.
Dari uraian di atas kita dapat menyimpulkan bahwa dalam upaya mewujudkan merdeka dan dewasa beragama, negara berperan pada tataran esensial dengan memajukan kesadaran beragama secara moderat dan pada tataran pragmatis menetapkan peraturan yang menjamin kebebasan beragama. Agama-agama sendirilah yang berperan sebagai sumber argumentasi esensial yang memberikan pendasaran teologis. Peran ini tidak tergantikan dan tidak dapat diambil alih oleh negara.
Manusia tidak pernah menjadi cukup religius. Dia harus terus-menerus membina dirinya menjadi semakin religius dalam beragama. Maka, harapan Menag agar umat belajar mendewasakan diri dalam beragama adalah juga untaian doa seluruh rakyat Indonesia sepanjang jalan kemerdekaannya. Dirgahayu RI.
JB Kleden, Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Kupang