Kita sudah terlalu lama bersikap kekanak-kanakan dalam beragama. Kita juga sering berpura-pura rukun, padahal menyimpan dendam dan permusuhan. Kita bangun kedewasaan dan belajar mendewasakan diri dalam beragama.
Oleh
YAQUT CHOLIL QOUMAS
·5 menit baca
Bangsa ini patut bangga dan bersyukur sebab NKRI tetap kokoh berdiri di usia yang ke-77 tahun. Memang banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, tetapi tidak sedikit kemajuan yang telah diraih.
Memang ada yang mengecewakan, tetapi jauh lebih banyak yang membanggakan. Di setiap peringatan HUT Kemerdekaan RI, spirit optimisme perlu dimiliki seluruh warga bahwa negeri ini makin berdaulat, adil, dan makmur pada masa datang. Semua hanya bisa dicapai apabila kita merdeka.
Tak dapat disalahkan apabila muncul pertanyaan kritis dari masyarakat. Misalnya, serius kita sudah merdeka? Atau apakah kita betul-betul sudah merdeka? Merdeka dari apa? dan seterusnya. Jawaban atas pertanyaan ini bisa beragam sesuai pengalaman lahir dan batin masing-masing orang.
Bahwa masih ada penjajahan dalam bentuk lain mungkin benar. Yang jelas, penjajah sudah tidak lagi menjajah bangsa ini. Kita sudah merdeka sejak 77 tahun lalu. Bekerja, belajar, dan beribadah sekarang bebas dan aman dilakukan setiap saat. Tak ada lagi ketakutan seperti dulu pernah dirasakan.
Bekerja, belajar, dan beribadah sekarang bebas dan aman dilakukan setiap saat.
Dalam konteks beragama, apakah kita sudah merdeka? Pertanyaan ini dapat dijawab dari dua sisi.
Pertama, sisi norma dasar yang menjamin kemerdekaan tiap-tiap orang untuk memeluk agama dan keyakinan. Norma dasar ini tercantum pada Pasal 29 UUD 1945. Meski belum memiliki undang-undang organik secara khusus, substansi pasal ini jelas, tegas, dan tidak ada tafsir lain kecuali seperti bunyi harfiahnya.
Kedua, sisi empiris di masyarakat apakah mereka betul-betul merasakan kemerdekaan dalam beragama?
Setelah 77 tahun Indonesia merdeka, seharusnya urusan merdeka beragama sudah selesai. Nyatanya, masyarakat bebas memilih agama dan keyakinannya sendiri, lalu mengamalkan ajarannya secara otentik. Namun, urusan merdeka beragama memang tidak sederhana. Implementasinya kompleks dan membutuhkan kejujuran dan kedewasaan dari umat beragama.
Berkah keragaman
Indonesia adalah negara-bangsa yang penuh keragaman suku, budaya, agama, dan keyakinan. Kebinekaan merupakan fakta dan harus diakui. Pengingkaran atas kenyataan ini merupakan kejahilan dan ahistoris. Keragaman menuntut saling menghormati, berbesar hati, dan toleran terhadap berbagai perbedaan.
Keragaman merupakan takdir. Karena beragam, kita jadi mengerti siapa kita dan dia. Kita juga menjadi paham ajaran agama A dan B. Karena berbeda, kita jadi berpeluang untuk bekerja sama dan berlomba meraih keunggulan.
Dalam keragaman, kita belajar banyak dari lingkungan sekitar. Upaya penyeragaman pasti akan gagal. Jangankan yang jelas agamanya berbeda, yang satu agama pun jika dipaksa pasti berontak. Agama itu urusan hati. Seperti cinta, agama tidak bisa dipaksa.
Keragaman agama dan keyakinan (religious and beliefs diversity) merupakan berkah jika bangsa ini mengerti siapa pencipta keragaman dan untuk apa keragaman diciptakan.
Dari keragaman itu kita belajar dan diberi pelajaran oleh Tuhan tentang banyak hal. Tuhan ”mendiami” Bumi Pertiwi dan ajarannya diamalkan oleh seluruh penduduk negeri. Lewat agamanya, Tuhan memerintahkan pemeluknya untuk hidup rukun dan damai dengan sesama.
Keragaman menuntut saling menghormati, berbesar hati, dan toleran terhadap berbagai perbedaan.
Sayangnya, ajaran hidup rukun dan damai sering diputarbalikkan pemeluknya sendiri. Tuhan memerintahkan untuk menghormati apa pun agamanya, tetapi pemeluknya menyebarkan kebencian dan menjelekkan agama lain.
Mereka mudah marah jika simbol agamanya diganggu, tetapi dia sendiri suka melecehkan simbol yang diagungkan agama lain. Mereka mengaku agamanya paling benar tetapi sikap dan perilakunya tidak mencerminkan kebenaran agamanya.
Merdeka beragama menuntut umatnya dewasa beragama. Sebagian cirinya adalah tanggung jawab, matang, rasional, dan tidak gampang marah. Sebaliknya, temperamental, menang-menangan, egois, dan gampang dibohongi merupakan cermin kecil kekanak-kanakan dalam beragama. Jujur saja, kita sering menjumpai masih banyak penganut agama yang beragama seperti itu.
Kekanak-kanakan berimplikasi serius bagi kehidupan keagamaan kita. Persoalan intern dan antarumat beragama yang terjadi di Indonesia diduga lebih banyak dipicu sikap kekanak-kanakan ini.
Contoh kecil, pendirian tempat ibadah akan selalu menjadi masalah jika pemeluk agama bersikap egois dan hanya mau menang sendiri. Soal beragama secara ekstrem juga dipicu sifat kekanak-kanakan: tidak mau memahami mendalam dan gampang dikecoh oleh orang lain.
Pembangunan agama
Setelah 77 tahun Indonesia merdeka, kita tidak ingin bersikap dan bertindak layaknya bocah ingusan dalam beragama. Kita berharap umat beragama tumbuh sebagai remaja dan kemudian dewasa. Kita betul-betul berharap menjadi orang dewasa (mature in religiousity) dan menolak sekadar dianggap dewasa atau berpura-pura dewasa dalam beragama (pretending to be mature in religiousity).
Dalam kajian psikologi, dewasa merupakan kategori mental yang dicirikan dengan sikap bertanggung jawab, matang emosional, berpikiran logis dan komprehensif, serta cerdas dalam menghadapi segala situasi. Dewasa beragama berarti orang-orang beragama yang memiliki kualitas seperti di atas. emosinya matang dan tidak mudah mengamuk.
Kategori dewasa sering kali tidak berhubungan dengan umur. Kita sering menjumpai orang tua, tetapi sikapnya kekanak-kanakan. Demikian pula bila dikaitkan dengan dewasa beragama.
Meski mereka dianggap tokoh agama dan dituakan komunitasnya, jika yang keluar dari lisannya adalah ajakan bermusuhan dan memerangi agama yang berbeda, maka sejatinya ia masih ”anak-anak” yang perlu dididik agar lebih dewasa dalam bersikap dan berperilaku.
Kita sudah terlalu lama bersikap kekanak-kanakan dalam beragama.
Isu kedewasaan beragama perlu diangkat dan disuarakan untuk mendapat perhatian publik. Kita sudah terlalu lama bersikap kekanak-kanakan dalam beragama. Kita juga sering berpura-pura rukun, padahal menyimpan dendam dan permusuhan. Kita sering mengaku membantu agama lain, padahal kita sejatinya sedang menghalang-halangi mereka. Pendek kata, kita terlalu lama tidak jujur dalam beragama.
Kita bangun kedewasaan dan belajar mendewasakan diri dalam beragama. Ke sanalah pembangunan bidang agama diarahkan sehingga bangsa ini merasakan esensi merdeka beragama. Selamat Hari Ulang Tahun ke-77, Dirgahayu Republik Indonesia.