Banyak kearifan lokal di Tanah Air terkait dengan ketahanan pangan. Pemerintah dan perusahaan perlu mempertahankan cara warga mengelola strategi pangan.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
KOMPAS
Robohnya Lumbung Pangan Dayak Kalimantan
Selama beberapa hari Kompas memuat liputan tentang pergulatan pertanian berladang di Kalimantan. Malan dalam bahasa Dayak Ngaju berarti ”berladang”. Tak hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan, berladang juga menjadi pusat kehidupan dan kebudayaan Dayak. Jika tradisi ini berakhir, hilang pula identitas budaya mereka.
Tradisi turun-temurun selama ribuan tahun oleh warga Dayak di Kalimantan Tengah itu berakhir karena larangan membuka ladang dengan membakar.
Selain melemahkan ketahanan pangan, berhentinya peladangan menyebabkan krisis multidimensi di perdesaan (Kompas, 29/8/2022).
Sejak berabad-abad lalu berbagai suku di Nusantara telah membuat tradisi dalam memproduksi pangan dan juga membuat strategi ketahanan pangan. Masalah pangan bukan masalah sekarang saja. Mereka pernah mengalami krisis pangan sehingga mereka pun menemukan strategi untuk menghadapi masalah tersebut.
Sanyo, Mantir Adat Desa Kalumpang, Kabupaten Kapuas, menunjukkan pohon sagu rumbia yang banyak tumbuh di sekitar desa. Sumber karbohidrat kompleks ini bisa menjadi cadangan pangan masyarakat, selain padi dan umbi-umbian.
Namun, cara-cara bertani seperti di Kalimantan dan di berbagai suku lainnya itu kurang dihargai secara tepat. Tradisi turun-temurun kadang malah dihadang stigma, seperti disebut kurang produktif dan boros tenaga ataupun waktu. Sangat disayangkan, riset mendalam jarang dilakukan. Tradisi mereka telah rusak sehingga kearifan setempat hilang.
Kebijakan dan praktik-praktik yang muncul cenderung mengedepankan angka-angka produksi dan juga penyeragaman komoditas. Akibatnya, kearifan lokal itu nyaris punah. Kemunculan korporasi pangan makin menghilangkan sesuatu yang sudah ada di masyarakat. Sebenarnya kita membutuhkan kearifan itu, yang jika ditunjang riset dan teknologi yang memadai, bisa menjadi jawaban atas masalah pangan.
Langkah yang bisa dilakukan pemerintah dan korporasi adalah menyelamatkan tradisi warga setempat. Tradisi yang termasuk di dalamnya adalah cara bertani, produksi, dan juga penggunaan plasma nutfah, tidak boleh dihilangkan begitu saja. Cara-cara mereka sangat mungkin memperkaya teknik-teknik berproduksi yang lebih baik. Varietas yang digunakan boleh jadi memiliki sifat-sifat yang juga dibutuhkan, kelak di kemudian hari.
Ambun Suteng dan suaminya, Sanyo, warga Desa Kalumpang, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, mencari sayuran liar di bekas ladang yang biasa ia tanami padi, Rabu (20/7/2022).
Kita tidak ingin anak cucu lupa dengan akarnya. Mereka perlu mengetahui cara-cara bertanam dan produksi pangan sebagai warisan leluhur. Warisan ini boleh jadi menjadi bagian dari jawaban masalah di masa depan, bukan hanya pangan, melainkan juga medis. Ketercerabutan anak cucu dari tradisi nenek moyangnya akan berkonsekuensi panjang. Mereka menjadi bergantung pada pangan dari luar. Belum lagi, kekayaan hayati serta tradisi mereka hilang.
Tradisi dan pertanian modern harus bersanding. Kebutuhan pangan yang terus meningkat tidak boleh menjadi alasan bahwa produksi massal hanya merupakan jawaban. Kearifan lokal tetap bisa menjadi penyokong masalah-masalah pangan aktual dan masa depan.