Langkah dan kebijakan luar negeri Mikhail Gorbachev ditujukan untuk mengakhiri Perang Dingin. Ia dianugerahi Nobel Perdamaian 1990. Namun, di negerinya ia tak diakui sebagai arsitek reformasi Soviet (Rusia).
Oleh
TRIAS KUNCAHYONO
·5 menit baca
Ketika Rabu (31/8/2022) pagi membaca berita Mikhail Sergeyevich Gorbachev (91) meninggal dunia, saya teringat saat meliput pemilu pertama pasca-Uni Soviet, di Rusia, 12 Desember 1993.
Pemilu digelar setelah terjadi krisis konstitusi. Tak bisa dimungkiri, pemilu bebas itu bisa dilaksanakan atas jasa mantan pemimpin Soviet itu, lewat kebijakan glasnost (keterbukaan) dan perestroika (restrukturisasi), ketika ia jadi orang nomor satu di Soviet, 1985-1991. Gorbachev yakin glasnost sistem politik, terutama dengan demokratisasi, satu-satunya jalan untuk mengatasi inersia dalam politik dan aparatur birokrasi yang ingin mempertahankan status quo.
Dia juga percaya, jalan menuju pemulihan ekonomi dan sosial butuh keterlibatan orang dalam proses politik. Glasnost juga memberikan lebih banyak kebebasan pada media untuk berekspresi, menyampaikan opini, termasuk mengkritik pemerintah.
Gagasan itu disampaikan saat ia terpilih sebagai Sekjen Partai Komunis Uni Soviet, 11 Maret 1985, lalu diwujudkan. Ia mengatakan, reformasi drastis harus dilakukan Soviet jika masih tetap ingin jadi negara adikuasa yang mampu bersaing dengan musuh bebuyutannya, Amerika Serikat.
Glasnost juga memberikan lebih banyak kebebasan pada media untuk berekspresi, menyampaikan opini, termasuk mengkritik pemerintah.
Kondisi Soviet saat itu berat; ekonomi jatuh dan standar hidup rakyat terpuruk. Mereka tersandera di Afghanistan, 1979-1989. AS dengan Presiden Ronald Reagan, yang menyebut Soviet sebagai ”kerajaan setan”, mengindikasikan akan memulai ”Perang Dingin Baru”.
Sebenarnya, pendahulu Gorbachev, Yuri Andropov (menjabat 1982-1984, lalu digantikan Konstantin Chernenko (1984-1985), sudah menyatakan perlunya reformasi. Namun, belum sempat dijalankan, Andropov sakit parah dan meninggal. Maka, Gorbachev yang memulai reformasi itu. Ia melakukan perubahan kebijakan politik, ekonomi, sosial, dan luar negeri (César Albuquerque, 2019).
Meski para pengkritiknya menyatakan, dengan kebijakan itu berarti Soviet mundur dari karakter rezim sosialis, Gorbachev menegaskan, reformasi bertujuan untuk menyempurnakan sosialisme Soviet dengan menggunakan potensinya sepenuhnya.
Namun, reformasi yang dimaksudkan untuk menyelamatkan sistem sosialis berakibat sebaliknya: Soviet ambruk (karena dilakukan secara serempak glasnost dan perestroika) serta bangkrutnya komunisme yang didahului oleh pelarangan Partai Komunis di Rusia oleh Boris Yeltsin setelah usaha kudeta 19-21 April 1991 terhadap Gorbachev.
Maka, akan dicatat sebagai apa dia oleh rakyat Rusia? Akan ditulis sebagai apa oleh rakyat negara-negara bekas Soviet? Akan diakui sebagai apa dan siapa oleh masyarakat dunia?
”Sang Pembebas”
Setelah bubarnya Soviet (1991), Gorbachev, anak petani Desa Privolnoye, Rusia selatan, lahir 2 Maret 1931, seperti hidup di dua dunia. Di kota besar dunia—Washington, New York, London, Paris, Berlin, Amsterdam, New Delhi, Oslo, dan sebagainya—ia dipuji-puji dan dicintai. Akan tetapi, di dalam negeri banyak orang tak bisa memaafkannya. Gara-gara kebijakannya, Soviet bubar, komunisme bangkrut.
Ini yang oleh Presiden Vladimir Putin dalam pidato di depan Majelis Federal Federasi Rusia, 25 April 2005, disebut ”bencana geopolitik terbesar abad ini” (abad ke-20) dan mendorong gerakan-gerakan separatis di Rusia. Putin mengulang-ulang pernyataannya, bahkan saat perang Ukraina mulai.
Runtuhnya Soviet menyebabkan Moskwa kehilangan wilayah kekuasaannya secara besar-besaran; republik-republik Soviet lepas dan merdeka. Moskwa juga kehilangan pakta pertahanan dengan negara-negara satelitnya, Pakta Warsawa.
Bisa dikatakan dalam tempo semalam status Moskwa sebagai adikuasa dalam dunia bipolar merosot jadi kekuatan regional di dunia unipolar. AS pun muncul sebagai kekuatan tunggal. Tak hanya itu, sekitar 25 juta etnik Rusia mendadak sadar, mereka hidup di luar tanah airnya, seperti di Ukraina.
Kata Putin, semua itu tragedi bagi bangsa Rusia. Dan, yang dituding sebagai penyebab tragedi adalah Gorbachev. Meski, sebenarnya, Putin dapat keuntungan dengan bubarnya Soviet. Bubarnya Soviet membawanya ke Moskwa dan akhirnya menerima estafet tongkat kepemimpinan Rusia dari Yeltsin yang dibawa oleh Gorbachev.
Namun, runtuhnya Soviet dan ambruknya komunisme bisa dikatakan memberi berkat bagi rakyat di republik-republik Soviet. Mereka merdeka; jadi negara merdeka, berdaulat penuh. Lepas dari kuasa Moskwa. Setelah Soviet runtuh, lahir 15 negara baru. Maka, pantas Gorbachev disebut ”Sang Pembebas” oleh rakyat di 15 negara itu.
Perang Dingin
Memang, mundurnya Gorbachev (25 Desember 1991) membuat negara bekas Soviet berantakan. Namun, keputusan itu mengakhiri konfrontasi nuklir Timur-Barat selama beberapa dekade. Gorbachev berkeyakinan reformasi berhasil jika hubungan internasional dijadikan elemen kuncinya. Maka, semua kebijakan luar negeri dilakukan didasarkan dua pilar mendasar: koeksistensi damai dan pelucutan senjata nuklir.
Kata Gorbachev, dunia hidup dalam bayang-bayang musuh bersama, bahaya bencana nuklir, yang penghindarannya bergantung kerja sama skala dunia yang akan menempatkan kepentingan umat manusia di atas perbedaan politik dan ideologi.
Itu yang mendasarinya menandatangani Perjanjian Pengurangan Senjata Strategis (START) dengan Presiden AS George HW Bush, 31 Juli 1991.
Gorbachev berkeyakinan reformasi berhasil jika hubungan internasional dijadikan elemen kuncinya.
Perjanjian itu membatasi jumlah rudal balistik interkontinental (ICBMs) dan kepemilikan hulu ledak nuklir. Ia mengusulkan penghentian perlombaan senjata, mengganti suasana konfrontasi dengan kerja sama damai dan saling menguntungkan. Maka, ia menandatangani perjanjian kemitraan dengan AS dan Barat yang berujung pada penyatuan kembali Jerman, 3 Oktober 1990. Runtuhnya Soviet juga menandai kebebasan negara-negara satelit Soviet di Eropa Timur.
Semua langkah dan kebijakan bagi terciptanya perdamaian untuk mengakhiri Perang Dingin itu dimahkotai dengan Hadiah Nobel Perdamaian 1990. Namun, di negerinya ia tetap tak diakui sebagai arsitek reformasi Soviet (Rusia), melainkan arsitek kehancuran Soviet, terutama oleh mereka yang mengagung-agungkan masa lalu.
Begitulah Gorbachev yang ibarat ”nabi” (bukankah setiap zaman melahirkan ”nabi” baru) dicerca, dimaki, dan dibenci di negerinya sendiri, tetapi dihormati dan dipuji di negeri orang karena pemikiran dan pendekatan damainya untuk mengakhiri Perang Dingin dan perlombaan senjata. Maka, kata Sekjen PBB Antonio Guterres, Gorbachev adalah ”seorang negarawan yang mengubah arah sejarah”. Tak hanya sejarah Soviet (Rusia), tetapi juga dunia.