Agama tidak untuk terus-menerus diperdebatkan, tetapi supaya dihayati secara laten. Penghayatan iman yang intim seperti ini yang akan mengantarkan para pemeluk agama kemudian bisa berdialog satu dengan lainnya.
Oleh
ASEP SALAHUDIN
·5 menit baca
Bertempat di Pesantren Al-Falah Cicalengka Bandung, pada 27 Agustus 2022, berlangsung Halaqah Fikih Peradaban yang diinisiasi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Halaqah (halakah) direncakan diselenggarakan di 250 lokasi di pesantren-pesantren di Indonesia sebagai cara dalam menyambut 1 abad NU yang jatuh pada 2023 dalam hitungan Hijriah.
Fikih peradaban (fiqh khadhari) sebagaimana ditegaskan Ketua Panitia KH Ulil Abshar Abdalla diandaikan menjadi jembatan untuk memastikan jawaban keislaman atas persoalan-persoalan kebangsaan yang belum sempat dipikirkan fuqaha (para ahli hukum Islam) pada abad pertengahan. Maka pada halakahtersebut diangkat tema seputar negara bangsa, kewargaan, hubungan mayoritas-minoritas, faham keagamaan dalam konteks keindonesiaan yang heterogen.
Dijadikannya fikih sebagai titik pijak tampaknya sangat beralasan mengingat fikih sampai hari ini masih menjadi arus utama dalam pikiran umat Islam. Di sisi lain fikih memiliki tingkat kelenturan dalam menjawab persoalan kekinian melalui pintu ijtihad (istinbath al-ahkam). Pada fikih pemahaman agama menjadi kontekstual.
Pada kesempatan halakah tersebut saya mendapatkan tugas membedah seputar tema ”Membangun Moderasi Beragama Melalui Rekontekstualisasi Fikih Mayoritas Minoritas”.
Tentu isu mayoritas-minoritas atau lebih umum lagi sentiman yang diacukan pada identitas keagamaan pada fikih klasik amat menonjol. Zaman skolastik wilayah kekuasaan dibedah beradasarkan agama. Dikenallah frasa Darul Islam dan Darul Harb dengan segala konsekuensi hukum di belakangnya.
Era kini, ketika negara bangsa (nation state) telah mengambil alih sistem khilafah dan menggeser daulah, pemahaman fikih seperti itu bukan hanya harus direvitalisasi, melainkan juga mesti dilucuti. Kita dituntut memiliki kesanggupan membangun paradigma baru fikih yang berorientasi pada upaya penciptaan relasi kemanusiaan yang setara, egalitar, dan berkeadilan. Fikih nondiskriminatif.
Kita dituntut memiliki kesanggupan membangun paradigma baru fikih yang berorientasi pada upaya penciptaan relasi kemanusiaan yang setara, egalitar, dan berkeadilan.
Jalan ke arah itu salah satunya dengan mengerahkan ushul fikih. Minimal maqashid syariah dapat dijadikan acuan dalam membumikan hukum Islam. Tentu, sebagaimana ditulis Jasser Auda, dengan memperhatikan enam pilar pendekatan, yaitu (1) pilar nalar (al-idrakiyyah/cognition); (2) universalitas (al-kulliyat/wholeness); (3) keterbukaan (al-infitahiyyah/openess); (4) keterpautan satu dengan lainnya (al-harakiriyyah al-mutamadah tabadduliyyan/interrelated hierarchy); serta (5) multidimensi dan multiperspektif (ta’addud al-ab’ad/multidimensionality).
Dengan cara seperti ini prinsip al-muhafadzah ala al-qadim al-shalih wa al-akdz bi al-jadid al-ashlah terjamin. Menegoisasikan keterampilan mengolah masa lalu dan kesanggupan mengenang sejarah masa depan. Dialektika antara tradisi dan visi yang tak pernah sudah.
Spirit moderasi
Dengan paradigma fikih seperti itu spirit moderasi dalam beragama (dan bernegara) dengan sendirinya akan mencuat. Bagi saya, Islam minimal melalui etika yang ditawarkan Al Quran dan telah dipraktikkan kanjeng Nabi Muhammad menyediakan alas argumentasi yang memadai untuk mengembangkan sikap-sikap moderat tersebut.
Teologi inklusif harus menjadi pijakan semua agama dalam upaya menghadirkan negara bangsa yang lapang dan saling memuliakan antarwarga. Tanpa melihat mayoritas minoritas. Agama menjadi sumbu moralitas. Sebagai jalan kebaikan untuk mengokohkan persekutuan lintas batas. Persekutuan antarsesama Islam (ukhuwah islamyah), antarsesama warga (ukhuwah wathaniyah), dan perseketuan kemanusiaan (ukhuwah basyariyah).
Teologi inklusif harus menjadi pijakan semua agama dalam upaya menghadirkan negara bangsa yang lapang dan saling memuliakan antarwarga.
Tolok ukur kebenaran agama diletakkan dari kesigapannya memberikan respons atas persoalan kemanusiaan. Agama tidak lagi disibukkan mengatur keyakinan orang lain, tetapi diarahkan pada usaha-usaha mencari titik temu untuk kemudian dijadikan landasan etik dalam kehidupan sehari-hari.
Jalan dialog
Di titik inilah pentingnya menumbuhkan dialog. Dialog bukan sekadar percakapan untuk menanamkan sikap saling, tetapi dialog menjaga daya mempercepat kedewasaan dalam beragama dan bernegara.
Dialog bukan semata undangan sosial, melainkan mesti muncul dari panggilan iman terdalam bahwa kehadiran orang lain adalah yang menjadi modus eksistensial kelahiran kita. Orang lain sebagai mitra yang sama-sama tengah mencari keselamatan duniawai dan eskatologi.
Harus ada pergeseran dari persekutuan pro-ekesistensi ke ko-eksistensi. Bahwa keragaman bukan hanya fakta sosial yang boleh ada dan tidak ada, melainkan merupakan halaman muka yang mendefinisikan konsep diri kita. Yang muncul di ruang publik politik bukan ”aku” dan ”kamu” tetapi ”kita”. Inilah makna semboyan yang dianggit dari kitab Empu Tantular, Sutasoma, ”Bhinneka Tunggal Ika”.
Agama, apa pun namanya, menjadi ”jalan kolektif” untuk memastikan bahwa hidup dalam damai lebih berfaedah ketimbang bersengketa tak berkesudahan atas suatu alasan yang tidak masuk akal. Teologi seperti ini yang tempo hari ditawarkan Ibnu Arabi lewat gagasan utamanya wihdatul wujud (kesatuan wujud) dan wihdatul adyan (kesatuan agama).
Agama yang melibatkan aspek ketuhanan dan kemanusiaan tiidak untuk terus-menerus diperdebatkan, tetapi supaya dihayati secara laten. Penghayatan iman yang intim seperti ini yang akan mengantarkan para pemeluk agama kemudian bisa berdialog satu dengan lainnya.
Itulah khitah agama. Jalan religiositas otentik tidak lain adalah ketika agama yang diyakini menebarkan pesan cinta kasih kepada sesama. Bahkan arti harfiah agama itu sendiri ”tidak kacau”.
Kita sering mendengar kata iman. Iman artinya tidak sebatas percaya, tetapi etik imperatifnya menjadikan orang beriman bersikap ”amanah” dalam segenap hal. Iman juga satu akar kata dengan ”aman”. Maknanya orang beriman sanggup menebarkan rasa aman.
Ke dalam, iman menebalkan keyakinan pada Sang Kuasa, ke luar iman mengorbitkan kehidupan berkeadaban, aman, dan amanah. Pada iman seperti ini kita bisa berharap agama yang hadir bisa membawa keselamatan.
Hari ini tentu dialog bukan hanya di dunia nyata, melainkan juga maya yang sangat bergemuruh. Melibatkan tidak saja citizen, tetapi juga netizen. Bahkan mungkin di dunia maya tidak lebih gampang sebab kita tidak berhadapan langsung tetapi lewat kekuatan algoritma sosial.
Fikih peradaban yang dipromosikan PBNU semestinya menyentuh titik terjauh itu. Setelah fikih Nusantara, saatnya bergeser pada wilayah yang lebih luas: peradaban, sesuai lambang Nahdlatul Ulama.
Asep Salahudin, Rektor Institut Agama Islam Latifah Mubarokiyah (IAILM) Suryalaya Tasikmalaya