Eksklusivitas Prodi dan PTN
Menjadikan PT di Indonesia agar lebih inklusif tampaknya masih merupakan pekerjaan rumah tersendiri. PTN masih menikmati privilese eksklusif karena kebijakan dan persepsi. Perlu kebijakan yang adil bagi PTN dan PTS.
Melanjutkan penyesalan dan kekecewaan atas peristiwa operasi tangkap tangan rektor dan beberapa pemimpin Universitas Lampung, muncul dua isu yang menjadi perhatian.
Pertama, terkait tuntutan perbaikan tata kelola, khususnya dalam penerimaan mahasiswa baru (PMB) jalur mandiri. Kedua, pentingnya kualitas kepemimpinan dan integritas pemimpin perguruan tinggi (PT). Perhatian itu diungkapkan oleh Didi Achjari dan Satrio Soemantri Brodjonegoro dalam artikel di Kompas (24/8/2022). Dua tulisan itu seakan mewakili kegeraman, kegundahan, dan kekecewaan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim dan Pelaksana Tugas Dirjen Dikti Nizam atas peristiwa OTT itu.
Betapa tidak, ketika kementerian sedang bekerja keras untuk meningkatkan kualitas pendidikan tinggi (dikti) atau meningkatkan daya saing internasional dan mengupayakan PT Indonesia masuk peringkat dunia, kasus OTT justru terkesan menarik mundur ke dalam keterpurukan. Betapa tidak, ketika pemimpin tertinggi PT dengan gelar kehormatan tertinggi justru menjauhkan idealisme untuk menghasilkan lulusan yang berintegritas, jujur, melayani, disiplin, dan cinta bangsa. Betapa tidak, ketika ada banyak kemudahan dan fasilitasi yang disediakan oleh negara (APBN), selalu dirasa kurang dan menjadi alasan untuk bertindak curang.
Di samping aklamasi menyerahkan kasus itu ke ranah hukum dan meneguhkan tekad agar peristiwa semacam itu tidak terulang lagi—entah itu dengan evaluasi PMB jalur mandiri atau seleksi yang lebih ketat untuk pimpinan PT—ada dua hal yang juga layak mendapat perhatian. Yang pertama, pada aspek mana atau tepatnya pada program studi apa praktik suap ini berlangsung. Dan yang kedua, apa relevansi dan implikasi PMB mandiri di PTN terhadap peran dan keberadaan PT swasta (PTS).
Dalam penerimaan mahasiswa baru di PT, setiap program studi punya eksklusivitas tertentu.
Fakultas kedokteran: eksklusif?
Mungkinkah calon mahasiswa atau orangtua mahasiswa memberikan uang ratusan juta rupiah agar masuk dan diterima di program studi (prodi), katakanlah, sastra Jawa atau filsafat, atau di fakultas keguruan dan ilmu pendidikan, fakultas ekonomi, hukum atau sosial-politik atau komunikasi? Bagaimana dengan prodi keteknikan, DKV, farmasi, pertanian, peternakan, atau teknik industri atau informatika?
Jawaban terhadap pertanyaan soal preferensi prodi tersebut adalah ”mungkin”, dan tingkatan ”kemungkinan” tersebut akan menunjukkan tingkatan ”keanehan” yang mungkin ada di masyarakat. Dalam konteks ini, tingkat atau kadar eksklusivitas prodi menentukan.
Derajat eksklusivitas, yang bernuansa terbatas atau elitis ini, berhubungan dengan aspek kebijakan, perseptual, dan obyektif. Dari sisi kebijakan adalah adanya regulasi dan institusi yang mendorong atau menjaga agar prodi tertentu bersifat eksklusif, seakan-akan produk berlabel limited edition. Intinya tidak setiap orang mampu dan bisa menjadi bagian dari prodi tersebut.
Baca juga: Nila Setitik, Rusak Seleksi Mandiri di Perguruan Tinggi Negeri Semuanya
Untuk itu dibuatlah seperangkat syarat dan ketentuan. Ada pula lembaga yang mengawal dan mengawasinya, di luar lembaga Kemendikbudristek. Secara perseptual, eksklusivitas prodi ditentukan persepsi atau penilaian masyarakat. Ini bisa dipengaruhi oleh pemberitaan media atau oleh orang-orang di sekitar, termasuk oleh lembaga pengawal tadi. Eksklusivitas juga bisa bersifat obyektif, yaitu karena kualifikasi, kriteria, dan kualitas tertentu yang harus dipenuhi. Sifat dasarnya terbuka, tetapi kriterianya ketat, terukur, dan nyata.
Dalam penerimaan mahasiswa baru di PT, setiap prodi punya eksklusivitas tertentu. Dalam hal ini berlaku asumsi-asumsi psikologi pasar. ”Apabila seorang calon semakin ingin untuk masuk ke prodi atau jurusan tertentu, semakin besar dorongan atau godaan calon tersebut menempuh segala cara untuk bisa masuk dan diterima”. Selain terdorong untuk belajar keras supaya lulus ujian PMB, si calon mungkin juga tergoda mencari koneksi atau menyiapkan sejumlah imbalan jika diterima (walau hasil ujian PMB tak memadai).
Ini diikuti asumsi kedua, ”semakin banyak peminat suatu prodi tertentu, sementara daya tampung (kuota) program studi itu hanya sedikit, semakin tergoda untuk melakukan kecurangan”. Sebagai ilustrasi, dalam laman Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi (LTPTM) disebutkan untuk 2022 daya tampung pendidikan kedokteran Unila lewat jalur SNMPTN dan SBNPTN masing-masing hanya 59 dan 125, sementara peminat tercatat 1.449 dan 2.356.
Baca juga: Perguruan Tinggi sebagai Kekuatan Moral
Porsi kuota atau daya tampung jalur mandiri (SNMPTN) lebih besar dari itu (maksimal 50 persen) mungkin diperebutkan lebih dari 20-30 kali lipat peminat. Ini menggambarkan persaingan ketat yang turut mengukuhkan eksklusivitas. Ilustrasi itu senada dengan laporan survei dan pemberitaan berbagai media nasional. Program studi yang paling diminati dari tahun ke tahun adalah fakultas kedokteran, kedokteran gigi, kesehatan masyarakat, dan farmasi.
Di bidang teknologi dan sains, sistem informasi, data sains, dan komputer diperkirakan menarik minat banyak calon. Untuk bidang sosial humaniora yang paling diminati antara lain hukum, akuntansi, komunikasi, dan psikologi.
Singkatnya, eksklusivitas prodi berbanding lurus dengan usaha keras dan besaran biaya yang mungkin harus dikeluarkan untuk mendapatkannya. Peluang untuk curang pun mengiringi. Fakta bahwa terdapat tidak lebih dari 100 fakultas kedokteran di lebih dari 4.000 PT yang tersebar di Indonesia jelas membuat fakultas kedokteran merupakan prodi yang eksklusif.
Didie SW
Implikasi ke PTS dan tantangan pendidikan inklusif
Fenomena eksklusivitas prodi juga ditunjukkan oleh ”keanehan” di mana ada praktik suap untuk masuk kuliah di PTN, sementara pada saat yang sama sejumlah PTS menghadapi kesulitan mendapatkan mahasiswa. Ini setali tiga uang dengan kenyataan di mana ratusan ribu lulusan SMA/SMK berkompetisi untuk kuliah di PTN, entah lewat jalur prestasi (SMNPTN), jalur kompetensi (SBNPTN), atau jalur ”ekonomi” (mandiri), sementara ada ratusan PTS yang menanti kehadiran calon mahasiswa.
Fakta itu sebenarnya tak menafikan adanya PTS dengan prodi berlabel eksklusif. Aspek kebijakan, persepsi, dan obyektivitas secara bersama atau terpisah turut memengaruhi eksklusivitas ini. Dan karena sifatnya yang eksklusif, secara asumtif praktik curang atau tak sesuai etika umum pun bisa terjadi dalam PMB di PTS.
Meski demikian, anggapan kecurangan dan ketidaketisan itu cenderung diredam oleh logika pasar dan karakter partikularitas PTS. Dengan kata lain, eksklusivitas PTS dan prodi yang dimiliki lebih didasarkan pada realitas sosial, persepsi masyarakat, kondisi obyektifnya. Sebuah eksklusivitas yang fair, setidak-tidaknya menurut referensi pasar, sebab yang terjadi adalah transaksi dengan rasionalitas ekonomi.
Fenomena eksklusivitas prodi juga ditunjukkan oleh ’keanehan’ di mana ada praktik suap untuk masuk kuliah di PTN, sementara pada saat yang sama sejumlah PTS menghadapi kesulitan mendapatkan mahasiswa.
Selain itu, karakter partikularitas (swasta) memberi kewenangan dan otonomi untuk melakukan semua jalur penerimaan mahasiswa baru PTS secara mandiri. Yang harus dihindari adalah penipuan dan kebohongan, misalnya tentang status dan peringkat akreditasi yang dimiliki oleh prodi atau PT.
Prinsip pasar itu pula yang menuntut pimpinan dan badan penyelenggara PTS untuk berpikir keras, berkreasi, dan berinovasi agar PTS dan prodinya eksklusif secara komprehensif (laku di pasar, persepsi publik bagus, dan kualitas teruji).
Meski demikian, seberapa keras pun PTS berusaha, itu tak dapat mengurangi eksklusivitas dan privilese yang dimiliki PTN. Dan, memang PTS tak bermaksud untuk itu. Yang paling rasional dan realistis untuk dilakukan adalah berjuang mengimbangi lewat eksklusivitas perseptual dan obyektif. Tak sedikit prodi di PTS yang berhasil dalam hal ini.
Bahwa eksklusivitas PTN juga diperoleh atas persepsi masyarakat, itu hak dan milik masyarakat. Bahwa masyarakat masih mengutamakan untuk bisa kuliah di PTN, entah apa pun status dan peringkat akreditasinya atau bahwa ternyata biayanya lebih mahal dari PTS, itu adalah realitas sosial. Secara positif, itu pun mengindikasikan sentimen kenegaraan dan nasionalisme, sejauh tidak dibelokkan untuk kepentingan dan orientasi (kelompok dan ideologi) tertentu.
Didie SW
Namun, eksklusivitas PTN yang berangkat dari regulasi dan institusi publik tampaknya perlu dicermati. Sebab, dalam ranah inilah PTS merasakan nuansa diskriminasi dan kecenderungan eliminasi dan marginalisasi oleh institusi pembuat regulasi. Kebijakan yang memberikan kemudahan bagi PTN untuk menerima sebanyak-banyaknya calon mahasiswa, termasuk lewat kehadirannya di beberapa ibu kota kabupaten dan kota, merupakan contoh yang memperkecil ruang bagi PTS mendapatkan mahasiswa.
Di sini muncul istilah PTN sebagai ”kapal keruk” yang ditengarai justru mengalihkannya dari target masuk peringkat dunia (WRU). Contoh lainnya adalah kemudahan bagi PTN membuka prodi-prodi baru, sementara PTS harus menempuh proses yang sulit dan lama untuk mendapatkan izin semacam itu.
Kebijakan moratorium pembukaan prodi-prodi yang masih diberlakukan oleh Kemendikbudristek jelas mendiskriminasi kreativitas PTS dalam membuka prodi yang berdasarkan logika pasar sangat prospektif, berdasarkan visi-misi sangat tepat, dan berdasarkan semangat kebijakan Kampus Merdeka sebenarnya sangat dimungkinkan.
Menjadikan perguruan tinggi di Indonesia agar lebih inklusif tampaknya masih merupakan pekerjaan rumah tersendiri.
Kecenderungan kebijakan yang mengeksklusi (meminggirkan) PTS sejatinya tak sejalan dengan semangat UU Dikti No 12/2012, seperti Pasal 6 yang menyatakan ”Pendidikan Tinggi diselenggarakan dengan prinsip: (a) pencarian kebenaran ilmiah oleh sivitas akademika; (b) demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, nilai budaya, kemajemukan, persatuan, dan kesatuan bangsa”.
Dengan prinsip ini, baik PTN maupun PTS mengemban amanah yang sama sebagai penjaga moral dan pengembang peradaban umat manusia, selain hal yang bersifat kontekstual meningkatkan kesejahteraan bangsa.
Terkait PMB, ada beberapa ketentuan yang harus dipatuhi, antara lain Pasal 73: ”Perguruan Tinggi menjaga keseimbangan antara jumlah maksimum mahasiswa dalam setiap program studi dan kapasitas sarana dan prasarana, dosen dan tenaga kependidikan, serta layanan dan sumber daya pendidikan lainnya”. Juga disebutkan ”Penerimaan mahasiswa baru perguruan tinggi merupakan seleksi akademis dan dilarang dikaitkan dengan tujuan komersial”.
Menjadikan PT di Indonesia agar lebih inklusif tampaknya masih merupakan pekerjaan rumah tersendiri. Agar Angka Partisipasi Kasar (APK) bisa ditingkatkan dari hanya 34 orang dari 100 yang berusia tamat SMA/SMK yang bisa melanjutkan ke pendidikan tinggi, diperlukan kebijakan yang adil bagi PTN dan PTS. Walaupun PTN tampaknya masih menikmati privilese berupa eksklusivitas baik karena kebijakan maupun persepsi, PTN dan PTS hendaknya mengembangkan eksklusivitas yang lebih berbasis kualitas obyektif. Bahwa PTS mengharapkan eksklusivitas yang bertolak dari kebijakan dan persepsi masyarakat, itu pun adalah sesuatu yang wajar.
Mangadar Situmorang, Rektor Universitas Katolik Parahyangan