Pengembangan pariwisata hendaknya bertumpu pada nilai-nilai budaya, religi, keluhuran adat, karakteristik sosial, persaudaraan, dan keadilan. Pencapaian kesejahteraan tetap selaras dengan kelestarian lingkungan.
Oleh
ROMANUS NDAU
·5 menit baca
”Modal utama dalam hidup adalah hati. Hati untuk bekerja dan melayani. Hati untuk berkorban tanpa pamrih terhadap sesama. Hati untuk Tuhan. Terutama dalam dunia dewasa ini yang sangat dikuasai keserakahan materiil, dan dalam gegap gempita pariwisata yang dilumuri kenikmatan konsumtif, telah kita tunjukkan pesan berharga kepada dunia: tentang persaudaraan dan kebersamaan, tentang solidaritas dan cinta, tentang peradaban kasih.”
Pesan itu disampaikan Mgr Siprianus Hormat Pr, Uskup Ruteng, Nusa Tenggara Timur, dalam Perayaan Misa Puncak Festival Golo Koe, Labuan Bajo, pada 15 Agustus 2022. Acara yang rencananya dijadikan agenda tahunan ini dimaksudkan untuk menyambut sekaligus memberi ”jiwa” pariwisata Labuan Bajo yang dilandasi kebersamaan dan semangat kasih.
Festival Golo Koe menjadi terobosan untuk menjadikan pariwisata sebagai pesta rakyat yang sejuk dan teduh. Pariwisata tak lagi dilihat sekadar medan perebutan rente oleh pemilik modal yang kerap diwarnai bara dan amarah. Tak perlu lagi ada air mata apalagi darah rakyat yang tumpah sia-sia. Sebaliknya, pariwisata harus dikembalikan sebagai arena untuk rakyat saling menyapa, mensyukuri dan berbagi kasih.
Keuskupan Ruteng telah menyiapkan konsep tentang pariwisata holistik, yakni pariwisata yang mengelola secara utuh berbagai aspek secara integratif demi mewujudkan kesejahteraan dan kepenuhan kerohanian. Untuk itu, pengembangan pariwisata hendaknya bertumpu kepada nilai-nilai budaya, religi, keluhuran adat, karakteristik sosial, persaudaraan, dan keadilan. Di atas segalanya, pencapaian kesejahteraan tersebut hendaknya tetap selaras dengan keutuhan penciptaan dan kelestarian lingkungan.
Pariwisata holistik menjadi antitesis terhadap realitas selama ini, yakni pengembangan pariwisata yang dirasakan kurang berimbang. Kuat kesan bahwa pencapaian target-target material menjadi primadona. Ini jelas gairah rendahan kapitalisme yang memandang akumulasi materi sebagai prasyarat kebahagiaan. Pemilik modal dari berbagai penjuru berlomba berinvestasi bahkan memonopoli penguasaan lahan dan berbagai moda transportasi.
Sering pula dijumpai bahwa mekanisme penguasaan terhadap potensi-potensi wisata tersebut diraih dengan pendekatan-pendekatan kekerasan berupa ancaman, intimidasi, dan eksploitasi. Betul sesekali digelar dialog, tetapi sebatas formalitas untuk menjustifikasi prinsip transparansi dan partisipasi. Akibatnya, berbagai persoalan jauh dari tuntas bahkan membenihkan prasangka dan kebencian berkepanjangan. Sikap saling hormat dan percaya seakan begitu mahal sehingga tak mudah diwujudkan.
Pariwisata holistik menjadi antitesis terhadap realitas selama ini, yakni pengembangan pariwisata yang dirasakan kurang berimbang.
Pada titik ini, pariwisata holistik menjadi tumpuan dengan mengedepankan tiga prinsip. Pertama, partisipasi. Kekuatan utama pariwisata adalah rakyat yang terus aktif dan kreatif. Rakyat harus menjadi pelaku yang terus-menerus mencari terobosan.
Dengan itu, pariwisata akan bergerak maju dan dinamis selaras dengan jiwa rakyat yang senantiasa berkembang. Ujungnya, partisipasi rakyat menjadikan pariwisata sebagai medium pemajuan sosial dan kesejahteraan bersama dapat tercapai secara memuaskan.
Sebagai pelaku pariwisata, rakyat bisa terhindar dari berbagai bentuk kekerasan dan penindasan. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa kemajuan pariwisata sering memakan korban berupa peminggiran secara paksa penduduk lokal, akumulasi modal oleh segelintir elite, degradasi nilai-nilai budaya, pendangkalan spiritualitas, komersialisasi tubuh, destruksi budaya, dan kehancuran lingkungan.
Kerap juga terjadi pariwisata menjerumuskan orang dalam gaya hidup hedonis dan konsumtif. Pariwisata sering dijadikan stimulan bagi sebagian besar orang untuk terus memburu kenikmatan belaka, sementara masalah kebenaran dianggap faktor sampingan.
Kedua, berbudaya. Berbudaya merupakan keutamaan manusia sebagai makhluk rohani dan rasional. Aspek rohani membuat manusia sadar bahwa dirinya adalah makhluk ciptaan. Manusia tidak boleh merasa diri super sehingga berhak mendominasi dan menguasai hidup sesama. Manusia perlu terus mawas diri, berbela rasa, dan mensyukuri. Kepenuhan hidup manusia tercapai pada kemampuan mendekatkan diri dengan yang Ilahi.
Sementara aspek rasio mendorong manusia untuk terus berpikir dan membuat perencanaan matang tentang pentingnya menjaga kelestarian alam. Manusia hanya boleh ”ambil secukupnya” dari alam, tidak boleh berlebih karena akan menggerus daya dukungnya terhadap kehidupan. Untuk itu, alam dan lingkungan harus dirawat dan dibiarkan berkembang secara wajar untuk generasi mendatang.
Budaya Manggarai memiliki beragam kearifan lokal yang mengajarkan pentingnya pelestarian alam.
Budaya Manggarai memiliki beragam kearifan lokal yang mengajarkan pentingnya pelestarian alam. ”Neka poka puar rantang mora usang, neka tapa satar rantang mata kaka puar, kudut kembus kid wae teku, agu mboas kid wae woang”. Artinya, hutan harus terus dirawat untuk menjamin hujan, padang dilestarikan untuk memelihara berbagai binatang, dan mata air dilindung agar tetap melimpah untuk kehidupan.
Selain itu, dikenal pula budaya demokrasi, yakni lonto-leok (duduk melingkar). Lonto-leok menempatkan semua orang setara dan sederajat. Prosesnya dijalankan dengan menjunjung tinggi prinsip nai ca anggit, tuka ca leleng (sehati, sejiwa). Tidak boleh ada kepalsuan dan dominasi, semua orang harus diberi kesempatan untuk menyampaikan pikiran secara jujur dan tulus. Kebijakan terbaik dan memiliki legitimasi kuat dihasilkan melalui forum lonto-leok.
Pelestarian nilai
Partisipasi berbasis nilai-nilai budaya merupakan garansi bagi terjaminnya keberlanjutan sebagai prinsip ketiga. Prinsip keberlanjutan pertama kali disinggung dalam laporan Brundtland tahun 1987. Laporan berjudul ”Our Common Future” ini kemudian dibahas kembali dalam Agenda 2001 di Amsterdam. Intinya adalah penerapan pengetahuan dengan mengintegrasikan secara holistik sistem budidaya (pertanian, kehutanan, peternakan), sistem bumi (geologi, ekologi, oseanografi) dan sistem sosial (religi, budaya, seni) dalam seluruh tahapan pembangunan (Supriatna, 2021;8-9).
Di sini Festival Golo Koe menemukan relevansinya sebagai medium pelestarian nilai. Ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu perlu dilibatkan sehingga mampu merumuskan solusi-solusi komprehensif bagi keberlanjutan pariwisata.
Selain itu, Keuskupan Ruteng perlu terus meningkatkan edukasi rakyat tentang pentingnya menjaga nilai-nilai religi, kejujuran, kesabaran, persaudaraan, perdamaian, dan kasih. Benyamin Franklin mengingatkan bahwa honesty is the best policy. Dengan demikian, pariwisata tak hanya bertumpu kepada pesona dan keunikan alam, terutama komodo yang liar dan ganas, tetapi juga pada karakter rakyat yang ramah, berbudi luhur, dan dapat dipercaya.
Andaikata harapan ini terwujud, akan berdampak pada kuatnya citra pariwisata Flores sebagai Pulau Bunga, tempat orang ber-congka sae (laki-laki dan perempuan menari girang) sembari tiada henti mensyukuri mahaagung karya ciptaan Tuhan.
Romanus Ndau, Dosen Sekolah Tinggi Sekretaris Tarakanita, Jakarta; Mahasiswa Program Doktor Ilmu Lingkungan Unika Soegijapranata Semarang