Untuk mengembalikan citra buram/buruk Polri, terutama menyusul kasus pembunuhan Brigadir J yang melibatkan Irjen Ferdy Sambo, sudah saatnya Kapolri melakukan pembenahan internal Polri secara holistik.
Oleh
FAUZUL IMAN
·5 menit baca
Dari sekian banyak kasus yang menimpa petinggi Polri, peristiwa atau kasus yang melibatkan Inspektur Jenderal Ferdy Sambo sesungguhnya merupakan peristiwa paling berat. Apalagi yang dilakukan Sambo merenggut nyawa anak bangsa. Butuh waktu untuk keluar dari citra terburuk itu.
Beruntung Presiden Joko Widodo bertindak sigap dan tegas memerintahkan Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo untuk mengusut kasus itu secara terbuka dan tidak boleh ditutup-tutupi. Kapolri pun, dengan tim penyidik di Polri, dalam waktu yang tidak lama berhasil mengungkap kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir J.
Polri juga mengungkap adanya pelanggaran etik dalam penanganan kasus ini oleh lebih dari 30 anggota Polri yang berpangkat tamtama hingga perwira tinggi. Sungguh merupakan record tertinggi dalam sejarah pelanggaran di tubuh Polri.
Inilah citra buram/buruk Polri kalau dibiarkan berlarut tanpa segera ada tindakan sistematis berupa pembenahan, pendidikan dan penghukuman secara adil, terbuka, menyeluruh, dan komprehensif, Polri akan ditinggalkan jauh dari kepercayaan masyarakat. Dan, tidak mudah bagai membalikkan telapak tangan untuk mendapatkan ulang kepercayaan masyarakat.
Apalagi para pelakunya para petinggi Polri yang berada di tugas strategis di Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam), lembaga yang sejatinya membangun keteladanan moral. Lembaga ini tidak boleh dibiarkan untuk gampang tercoreng namanya karena akan terkikis dari menjaga akuntabilitas dan integritas moral (D Nicky Fahrizal, Kompas, 13 Agustus 2022).
Oleh karena itu, penulis sangat mendukung komitmen Kapolri untuk mengusut tuntas motif tindakan Ferdy Sambo cs tanpa ragu. Jangan sampai ada kasus yang dibiarkan tanpa disentuh karena adanya faktor X yang menggelayuti pada pelaku yang bersangkutan.
Kapolri tidak perlu berpikir lagi bahwa dengan dibukanya motif kejahatan Ferdy Sambo cs akan makin memperburam dan memperpuruk citra Polri di mata masyarakat. Justru diungkapnya motif kejahatan tanpa pandang bulu akan membawa nama dan citra Polri kembali harum di tengah-tengah masyarakat.
Dalam konteks ini, tentu ketuntasan mengusut motif kejahatan Ferdy Sambo cs bukan sekadar basi-basi, melainkan butuh keseriusan. Basa-basi yang diakhiri dengan ketidaktuntasan pengusutan hanya akan membuat sia-sia dan membawa preseden buruk karena akan memunculkan yang berwatak sama. Bahkan, mungkin lebih berbahaya karena merasa kasus yang sudah terjadi tidak diusut dengan tuntas serius yang benar-benar membawa efek jera.
Basa-basi yang diakhiri dengan ketidaktuntasan pengusutan hanya akan membuat sia-sia dan membawa preseden buruk karena akan memunculkan yang berwatak sama.
Pernyataan Kapolri menyebutkan bahwa kepercayaan masyarakat kepada Polri naik menjadi 87 persen setelah Ferdy Sambo menjadi tersangka. Sebelumnya, Polri benar-benar jatuh di mata masyarakat karena hanya mendapatkan kepercayaan di angka 28 persen. Ini berarti perkembangan signifikan yang amat menggembirakan bagi kita semua dan khususnya Polri karena faktor tidak tebang pilih dalam mengusut kasus ini secara tuntas.
Dalam siaran persnya, Kapolri mengatakan, ”Jangan main-main. Siapa pun yang menghalang-halangi niat Polri untuk menyelesaikan dan mengusut kasus ini dengan tuntas, kami akan tindak dengan tegas.”
Keseriusan Polri dalam mengusut tuntas kasus ini semakin terbukti setelah Polri bersama gabungan tim khusus menetapkan tersangka lainnya dalam kasus ini. Inilah bukti Kapolri serius memenuhi arahan Presiden dan desakan publik untuk membuat Polri menuntaskan kasus ini dengan apa adanya, sesuai standar scientific crime investigation. Penyelesian kasus ini secara profesional juga sejalan dengan prinsip prediktif, responsibilitas, transparansi, dan berkeadilan atau ”persisi” yang menjadi visi kepemimpinan Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo (Kompas, 5 Agustus 2022).
Fenomena gunung es
Seperti yang digambarkan Ernest Hemingway (1899-1961) tentang teori gunung es, kasus Sambo boleh jadi memang hanya puncak gunung es. Masalahnya yang lebih besar justru di bawahnya. Tak tampak karena memang berada di bawah permukaan.
Sejajar dengan ketegasan Kapolri adalah upaya Menko Polhukam Mahfud MD mengajukan memorandum kepada Persiden untuk melakukan pembinaan internal Polri. Ini langkah tepat untuk membenahi akar masalah yang sering timbul dari dalam Polri, seperti soal-soal ketidakadilan dalam mendapatkan hak-hak pendidikan secara merata.
Dugaan masih adanya permainan tentang sekolah staf dan pimpinan (sespim) merupakan tamparan Polri dalam menjaga integritas moral dan kemurnian meraih karier profesional. Dari sinilah sebenarnya awal munculnya Polri yang tidak jujur dalam menjaga integritas. Termasuk soal kesenjangan kewenangan yang diberikan kepada seorang jenderal bintang tiga, tetapi kewenangannya seperti jenderal bintang lima.
Dugaan masih adanya permainan tentang sekolah staf dan pimpinan merupakan tamparan Polri dalam menjaga integritas moral dan kemurnian meraih karier profesional.
Upaya Menko Polhukam ini, hemat penulis, sama dengan langkah serius pengusutan. Bedanya di sini terkait dengan pembinaan SDM internal Polri yang tidak kalah pentingnya dalam membangun kejujuran profesional dan dalam rangka menjaga marwah Polri di tingkat lapangan riil. Terutama dalam hal ini setelah mendapatkan tugas profesionalnya yang diraih dari hasil pendidikan yang fair, bukan oleh rekayasa kedekatan tanpa memperhitungkan keahlian.
Seorang sufi besar Athaillah dalam kitabnya Al-Hikam berpitutur, ”pendamlah dirimu di tanah yang sunyi”. ”Biji yang tumbuh tanpa dipendam atau ditanam tidak akan sempurna hasilnya”.
Maksudnya, seorang yang punya bakat/potensi diangkat untuk memimpin tidak tiba-tiba begitu saja. Ia harus terlebih dahulu dipendam dan ditanam dengan pendidikan yang mampu mengendalikan stabilitas emosinya; tidak mudah marah, apalagi bertindak sadis lantaran pribadinya dipenuhi gelimang kepentingan bujukan materi, kuasa/takhta. Demi mempertaruhkan semua itu, pemimpin yang tidak dipendam dan ditanam terlebih dahulu dengan pendidikan integritas yang konsisten akan melakukan apa saja walaupun bertentangan dan melanggar aturan/moral.
Oleh karena itu, untuk mengembalikan citra buram/buruk Polri, sudah saatnya Kapolri melakukan pembenahan internal Polri secara holistik. Tidak cukup hanya dengan pengusutan tindakan pidana yang bersifat insidental yang terkadang berulang lagi tanpa jera.
Pengusutan dan pembenahan SDM Polri serta rekrutmen pemimpin yang menurut Menko Polhukam masih berbau KKN dan tidak fair agar segera dibenahi secara komprehensif. Dengan pembenahan SDM internal Polri, diharapkan ke depan akan lahir calon pemimpin dari Polri yang bertanggung jawab, berintegritas, stabil emosinya, tidak gampang terbujuk oleh rayuan kuasa, takhta, dan harta yang menyebabkan nekat melakukan pelanggaran hukum dan kemanusiaan.
Inilah, hemat penulis, salah satu kiat dari sekian kiat mengundang empati masyarakat kembali percaya kepada Polri sebagai pengayom, pelindung, dan pelayan masyarakat. Semoga!
Fauzul Iman, Guru Besar di UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten