Kontribusi generasi lulusan Studi Agama-agama, yang merupakan bagian dari ilmu perbandingan agama, sangat besar dalam melahirkan pribadi yang moderat, inklusif, dan toleran.
Oleh
ALI MURSYID AZISI
·5 menit baca
Ali Ibn Hazm (994-1064) merupakan ilmuwan Muslim yang pertama kali terjun dalam ilmu perbandingan agama. Dari hasil keilmuannya mempelajari bidang ini, ia menghasilkan karya berjudul Al-Fasl fi Al-Milal wa al-Ahwa wa al-Wanihal.
Selain Ali Ibn Hazm, terdapat ilmuwan Islam lain dari Persia yang juga menekuni bidang ilmu perbandingan agama, yaitu Muhammad Abdul Karim al-Syahrastani (1071-1143). Hasil karya-karyanya, antara lain Al-Milal wan al-Nihal, mengkaji tentang bagaimana seorang Muslim di masa lalu mengenalkan sitematika perbandingan historis kepercayaan (agama).
Syahrastani dalam karyanya membagi agama-agama menjadi beberapa bagian, yaitu Kristen, Yahudi, dan Islam, serta agama yang juga turun melalui wahyu, tetapi tidak termasuk golongan Ahlul Kitab. Disebut demikian karena merupakan agama hasil kebudayaan menusia atau acap kali dikenal dengan agama Wad’I dan hasil ahli filsafat.
Selepas Syahrastani membandingkan beberapa agama yang diketahuinya, ia membagi kelompok tipologi agama, di antaranya Zoroaster dan Mani yang digolongkan sebagai quasi literary religion, Yahudi dan Islam yang digolongkan sebagai literary religion. Sementara Hindhu dan Buddha digolongkan sebagai philoshopical and self-willed religion.
Di dunia Barat
Dibandingkan dengan dunia Barat, dunia Islam tertinggal jauh mengenai ilmu perbandingan agama. Hal ini karena data-data yang berupa kitab asli yang berisi tentang suatu kepercayaan agama non-Islam begitu langka pada waktu itu. Maka dari itu, dapat kita simpulkan bahwa metodologi dan sistematika comparative religion perlu dirintis dalam dunia Islam, karena belum begitu mengalami perkembangan.
Faktor-faktor yang memengaruhi perkembangan ilmu perbandingan agama yang pesat di dunia Barat di antaranya, pertama, akademisi di sana memiliki peran dan waktu yang lebih besar dalam mengoordinasi para sarjana. Ini artinya, para akademisi Barat memiliki ketertarikan besar dalam mengkaji ilmu perbandingan agama sehingga upaya mengoordinasi tenaga ahli/yang fokus keilmuannya serumpun begitu mudah.
Metodologi dan sistematika comparative religion perlu dirintis dalam dunia Islam, karena belum begitu mengalami perkembangan.
Kedua, keuangan disediakan negara, yang pada akhirnya memperlancar pengembangan dan menghasilkan penemuan-penemuan tentang ilmu agama. Dengan adanya dukungan ini, upaya dalam mengembangkan bidang keilmuan ini bisa dikatakan berjalan mulus dalam menyelami temuan-temuan dan teori.
Ketiga, kebanyakan akademisi di Eropa menganggap bahwa agama merupakan suatu cabang dari ilmu budaya/kebudayaan, yang menyebabkan mereka memiliki keleluasaan dalam mengembangkan teori dan pendapat-pendapatnya. Sementara itu ketika abad ke-18, dunia Islam mengalami imperialisme dan kolonialisme.
Maka dari itu, tidak heran jika banyak karya dan karangan tentang Islam rujukannya dari dunia Barat yang disebut dengan orientalis. Dunia Barat pada abad ke-18 tidak dirundung kolonialisme dan mendapat kemerdekaan dalam mengembangkan bidang keilmuan.
Dalam pusaran Indonesia
Ilmu perbandingan agama di Indonesia pertama kali dipelajari pada 1960-1961, tepatnya setelah setahun IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, berdiri, yaitu di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat dengan nama Jurusan Perbandingan Agama. Pelopor diadakannya kajian keilmuan ini adalah Dr A Mukti Ali yang menerbitkan buku pertamanya dengan tajuk Ilmu Perbandingan Agama: Sebuah Pembahasan tentang Methodos dan Sistema.
Latar belakang pendidikan Mukti Ali berbasis pesantren dan ia berguru kepada KH Abdul Hamid di Pasuruan. Setelah lulus dari pesantren, ia melanjutkan studinya di Fakultas Agama (STI) Sekolah Tinggi Islam, kini disebut dengan UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Lalu, ia melanjutkan studinya ke Timur Tengah.
Memang perlu kita ketahui bahwa selama seperempat abad telah dicetak karya tulis tentang comparative religion. Namun, jika dibaca dengan saksama akan tampak bahwa uraian dari buku tersebut masih bersifat apologis dan masih sangat kurang ilmiah.
Lebih tepatnya lagi bahwa karya tulis tersebut lebih mengarah kepada pembahasan ilmu kalam dan teologis. Hal ini disebabkan agama di luar Islam dinilai/diteropong dari satu kacamata, yaitu Islam. Dapat disimpulkan pula bahwa secara garis besar, ilmu perbandingan agama dalam konteks Indonesia bisa dikatakan masih butuh pengembangan karena mereka dalam melihat agama-agama lain masih menggunakan kacamata Islam.
Penyebab lain yang juga menghambat, antara lain, a) kurangnya referensi bacaan yang sifatnya ilmiah, b) kurangnya penelitian para akademisi/sarjana yang bersifat ilmiah, c) minimnya diskusi dari para akademisi, d) rendahya kemampuan pemahaman bahasa asing mayoritas pengajar dan sarjana.
Penghambat
Selain beberapa faktor di atas, faktor penghambat lainnya, pertama, karena di Indonesia lebih menekankan kajian keilmuan Islam yang sifatnya masih normatif dan lebih condong kepada kajian fikih oleh ulama terdahulu. Kedua, pasca-pemberontakan/penyerangan anggota PKI, Islam pada saat itu sangat menekankan sekali semangat dakwah. Pada akhirnya yang ditekankan adalah misiologi atau ilmu dakwah.
Ketiga, karena ilmu perbandingan agama pertama kali muncul/berasal dari Barat, masyarakat Indonesia kala itu berfikiran negatif tentang segala sesuatu yang berasal dari Barat tidak mudah diterima dan bahkan ditentang serta berburuk sangka.
Keempat, selain minimnya penguasaan bahasa asing, para akademisi yang mempelajari ilmu ini juga minim penguasaan keilmuan lain yang juga bisa membantu dalam pembelajaran ilmu comparative religion, seperti halnya sosiologi, sejarah, arkeologi, ataupun antropologi.
Di Indonesia lebih ditekankan kajian keilmuan Islam yang sifatnya masih normatif dan lebih condong kepada kajian fikih oleh ulama terdahulu.
Selain itu, ilmu perbandingan agama kurang berkembang di Indonesia karena kurang dana, sangat minim penemuan ilmiah terkait perbandingan agama. Selain itu, juga karena minimnya informasi mengenai perbandingan agama baik mengenai manfaat dan isinya yang di dalamnya terdapat pesan untuk saling rukun dalam hidup berdampingan dengan non-Muslim.
Mencetak generasi moderat
Kini, jurusan ilmu perbandingan agama di Indonesia mengalami perkembangan, dan banyak universitas Islam mengembangkan program studi ”Studi Agama-agama”. Antara lain, UIN Sunan Ampel, UIN Sunan Kalijaga, dan UIN Alaudin Makassar.
Banyak anggapan bahwa belajar di jurusan ilmu perbandingan agama atau kini dikenal Studi Agama-agama dinilai kurang bergengsi dan dipandang sebelah mata. Selain dianggap masa depan karier yang dianggap kurang jelas, juga muncul anggapan ketika berusaha berdialog dengan non-Muslim akan menipiskan iman. Hal demikian sudah biasa terjadi.
Padahal, kontribusi generasi lulusan Studi Agama-agama besar sekali dalam melahirkan pribadi yang moderat, inklusif, dan toleran. Sebab, dari segi mata kuliah yang dipelajari dikedepankan prinsip perdamaian tanpa pandang agama atau ras apa pun.
Bahkan, berdialog dengan non-Muslim secara langsung untuk saling bertukar ajaran kebaikan merupakan hal biasa. Ini selaras dengan sosialisasi Kementerian Agama tentang ”Moderasi Beragama” yang dinilai bisa menyelamatkan Indonesia dari ideologi kelompok ekstremis-teroris, konservatif, dan intoleran yang kini semakin berkembang pesat, terutama di media sosial.
Ali Mursyid Azisi, Alumni Studi Agama-agama UIN Sunan Ampel, Surabaya