Kemarahan itu irasional dan membutakan. Lebih berbahaya lagi kalau berlekatan dengan kekuasaan seperti pada kasus pembunuhan Brigadir J. Manusia bernurani dan berakal budi mesti berjuang keras menaklukkan amarah.
Oleh
DANIEL K LISTIJABUDI
·5 menit baca
Rene Girard (1923-2015), kritikus sastra, filosof cum antropolog Perancis kenamaan, mengatakan, the angry man is the blind man. Orang yang dibakar amarah tidak bisa melihat kesalahan pada dirinya sendiri. Bagi orang yang sedang marah, orang lainlah yang salah. Oleh karena itu, kepada orang lainlah kemarahan ditujukan sekuat-kuatnya.
Manusia yang marah mirip satu dengan lainnya, tanpa tergantung dari budaya dan atau agama orang. Pada mereka yang marah akan didapati reaksi fisik dan psikis tertentu. Kemarahan membuat manusia menuduh musuh mereka sebagai yang sama sekali jahat, tulis Raymud Schwager ketika menjelaskan teori Girard (1987, p. 3).
Di dalam diri manusia ditemukan dorongan-dorongan tertentu yang membuat manusia tidak menyadari tindakan-tindakan yang dilakukan, sebab hal itu dikendalikan oleh rangsangan yang implisit. Ini tentu ranah psikoanalisis. Ide Girard masuk di ranah ini.
Namun, berbeda dengan Sigmund Freud, Girard tidak menganggap bahwa seksualitas yang berperan sebagai motivasi yang menggerakkan tindakan manusia. Bagi Girard, daya tersembunyi yang tak disadari yang memotivasi tindakan manusia adalah kemarahan.
Dari studi literaturnya atas berbagai mitologi, Girard menyimpulkan, karena manusia yang marah tidak menyadari emosi jahatnya sendiri, maka apa yang dilihat sebagai emosi jahat ada pada orang lain. Manusia yang diresapi kemarahan cenderung memproyeksikan semua yang jahat pada pihak yang dianggapnya sebagai musuh.
Daya tersembunyi yang tak disadari yang memotivasi tindakan manusia adalah kemarahan.
Kalau orang sedemikian rupa marah, pihak yang lain walau bisa saja tidak ada alasan obyektif menjadi penerima kemarahan, bisa tertimpa kemarahan, sebab kemarahan memandang secara membuta terhadap obyek kemarahannya. Apalagi, kalau ada pemantik di mana pihak lain diasumsikan sebagai yang jahat.
Dalam keadaan seperti itu, alasan bajik dan kehendak baik bukanlah hal yang efektif untuk digunakan meredam kemarahan manusia dengan seketika. Apabila hal ini terjadi pada masyarakat yang primitif yang belum memiliki sistem dan lembaga peradilan yang punitif, kemarahan bisa jadi tak terkendali (Schwager, p. 4; Listijabudi 1997, p. 68, 69).
Kemarahan yang membuta
Penelitian Girard meneruskan bahwa kemarahan yang membuta juga membuatnya mudah dimanipulasi dan ditipu atau dibelokkan ke jalur lain. Di sinilah mekanisme korban pengganti terjadi. Korban pengganti adalah pihak yang menjadi transfer kemarahan yang bisa memuaskan terlampiaskannya emosi pelaku. Korban pengganti ini dipilih semata-mata karena ia mudah diserang (lebih lemah) dan berada di dekat pelaku alias terjangkau (Girard, 1977, p.2).
Jika kita mengaitkan fenomena ini dengan suatu strategi sosio kultural di budaya Timur (terutama Asia Tenggara) yang sengaja menahan dan merepresi kemarahan ke dalam diri sendiri, kita bisa mendapati suatu buncahan kemarahan yang disebut amok.
Menurut Girard, kumulasi kemarahan atau amok ini menuntut adanya transfer. Jika ditransfer secara kolektif, jalanlah fungsi mekanisme pengosongan kekerasan. Namun, untuk itu selalu dibutuhkan korban untuk menjadi sasaran kemarahan.
Setelah tertransfer secara kolektif, ketegangan kemarahan dalam komunitas menipis bahkan kosong, di satu pihak, tetapi di pihak lain ada yang menjadi korban sampai mati, berdarah. Korban yang mati berdarah ini, karena menjadi saluran kemarahan kolektif, ia menjadi sakral karena melalui luka dan matinya, harmoni masyarakat terbentuk. Itulah, menurut Girard, mekanisme pengorbanan dalam ritual-ritual korban yang selalu berdarah.
Kemarahan itu irasional dalam arti tak dapat dicegah oleh alasan-alasan baik pada waktu ia dibuai oleh kemarahan.
Dalam kasus ditembaknya Brigadir J dan tindakan kekerasan FS, tidak ada ritual, tidak ada kolektivitas kemarahan massal. Tetapi, jelas FS ”ngamuk” hingga membunuh (melalui tangan orang lain, atau bisa jadi melalui tangannya sendiri juga—kita tunggu hasil sidang).
Di kasus ini, apa yang ada adalah kemarahan yang membabi-buta, kemarahan itu irasional dalam arti tak dapat dicegah oleh alasan-alasan baik pada waktu ia dibuai oleh kemarahan. Lebih berbahaya lagi, karena kemarahannya berlekatan dengan kekuasaan yang dimiliki atas orang lain, baik anak buah maupun yang kemudian menjadi korban. Kemarahan semacam ini, menurut Girard, hanya bisa dibatasi oleh kekuasaan lain yg lebih besar darinya entah itu orang lain atau dibatasi oleh hukum yang punitif.
Jika amarah dibiarkan merajalela, tertumpahnya darah korban bisa jadi meredakan marahnya. Seperti dalam teori amok atau ngamuk-kalap, orang yang marah bisa menyesal setengah mati setelahnya. Namun, penyesalan itu percuma sebab yang mati tak hidup lagi. Si orang yang ngamuk dan marah itu terkena jerat dari kemarahannya sendiri.
Pada saat itu terjadi, memang amat sulit untuk menguasai dirinya sendiri. Akan tetapi, ini bukan alasan pembenar dari tindakan kekerasan. Jadi, kita ada dalam ketegangan, di satu pihak memang orang yang marah sedang dikuasai oleh kemarahannya sendiri, pada waktu itu sedang ”buta”. Namun, kebutaan kemarahannya bukanlah sesuatu yang membuatnya bisa mendapatkan pembenaran.
Selalu ada tegangan dalam interseksi letupan emosi. Manusia bernurani dan berakal budi memang mesti berjuang keras menaklukkan kecenderungan-kecenderungan buta dalam dirinya. Tidak mudah, tetapi membiarkan dan bersifat permisif pada letupan yang semena-mena jelas adalah sesuatu yang keliru, berbahaya, dan tidak etis karena tidak berpihak kepada keadilan dan kebenaran, terutama pada pihak yang lemah.
Latihan batin, edukasi berpikir jernih, kesadaran dan pemihakan pada nilai-nilai bajik, penciptaan habitus manusiawi, dan penegakan hukum oleh aparat yang bersih, mesti jalan terus. Terjal memang, tetapi tak boleh berhenti.
Kita bisa memulai dari diri kita sendiri, dengan selalu kita mewaspadai dan menyadari kemarahan kita sendiri... itu sungguh perlu walau sulit setengah mati.
Salam selalu waspada.
Daniel K Listijabudi, Dosen Studi Biblika di Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta