Kerancuan Cuaca di Puncak Kemarau
Sebentar lagi kita memasuki bulan September. Garis semu di akhir bulan akan berada di garis ekuator, yang dapat memacu penguapan dari laut yang kini hangat. Inilah kondisi kerancuan/pergolakan cuaca dan iklim Bumi .
Kerancuan atau pergolakan cuaca dan iklim seiring proses perubahan iklim sudah berlangsung sejak akhir abad ke-20. Dalam kurun puluhan tahun itu, kondisi kian mengkhawatirkan.
Berawal dengan episode hangat gejala alam El Nino yang mendominasi kegiatan di akhir hingga awal abad ini, berlanjut dengan episode dingin yang berkaitan dengan kegiatan La Nina. Dominasi episode dingin menciptakan pergolakan atau kerancuan cuaca dan iklim.
Berbagai peristiwa menjadi buktinya. Kawasan Asia yang sebelumnya tidak turun salju, seperti Timur Tengah, Jazirah Arab sampai Vietnam, sejak 2010 mengalaminya. Juga kawasan tinggi di Indonesia dengan kondisi frost di dataran Tinggi Dieng dan Bromo selama musim kemarau.
Baca juga Pergolakan Cuaca dan Iklim yang Berkesinambungan
Tiga kondisi badai
Kerancuan makin menjadi dengan giatnya awan badai yang menghasilkan tiga kondisi badai, yaitu hujan sangat lebat hingga ekstrem, dengan intensitas curah hujan 1 milimeter per detik. Dalam 5 menit menghasilkan curahan 300 milimeter, setara dengan 300 liter untuk suatu kawasan 1 meter persegi muka bumi yang datar.
Badai kedua adalah badai petir dengan sebutan thunderstorm, sedangkan badai ketiga adalah angin turun dari awan (downdraft, microburst) atau angin berputar dengan kecepatan minimal 34 knots atau mendekati 70 kilometer per jam.
Ketiga kondisi badai ini umumnya muncul apabila ada awan yang menjulang tinggi, mulai dari lapisan permukaan hingga puncak lapisan troposfer atau lapisan atmosfer bumi terbawah yang merupakan tempat hidup semua makhluk hidup.
Ketinggian paras puncak troposfer atau lapisan tropopause untuk kawasan ekuator dan tropis berlintang kurang dari 30 derajat, 10-15 kilometer.
Untuk awan badai kecil bernama cumulonimbus—disingkat Cb—umumnya berdiameter dalam satuan kilometer. Namun apabila awan Cb atau awan badai ini berkembang, bisa meluas hingga puluhan sampai ratusan kilometer. Ini merupakan gabungan atau satu kesatuan yang disebut awan konvektif skala meso yang kompleks (meso-scale convective complex, disingkat MCC) atau juga sebagai sistem awan konvektif skala meso (meso-scale convective system disingkat MCS).
Awan konvektif merupakan suatu proses pembentukan awan yang umumnya melalui proses konveksi atau udara hangat basah, yang naik akibat pemanasan atau menyeruaknya udara hangat basah yang kemudian mendapat pendinginan. Dan, proses konveksi inilah sepertinya situasi dan kondisi yang terjadi dan berkembang seiring deforestasi berujung pada hilangnya hutan lebat dan belum dirambah manusia.
Artinya, permukaan lahan menjadi terbuka, membentuk dan mendukung proses konveksi yang berlangsung. Terbentuklah awan-awan konveksi yang telah terjadi dan berlangsung di seluruh Bumi.
Mulailah dikenal bencana hidrometeorologi basah dengan banjir, banjir bandang, tanah longsor, yang kini merambah kawasan padang pasir di Arab Saudi, Iran, dan Pakistan. Juga kota London dan beberapa kota besar di Eropa dengan ancaman yang sama.
Untuk Indonesia, perkembangan awan badai atau awan konveksi yang menghasilkan tiga kondisi badai itu berlangsung mulai awal tahun 1996.
Untuk Indonesia, perkembangan awan badai atau awan konveksi yang menghasilkan tiga kondisi badai itu berlangsung mulai awal tahun 1996. Di kawasan DKI Jakarta turun hujan ekstrem sekitar 350 milimeter pada 9 Februari 1996. Esoknya, tanggal 10 Februari berlanjut dengan curah hujan 100-200 milimeter yang meluas ke kawasan Bogor.
Mulailah era banjir di ibu kota negara. Bencana itu kian giat dengan curahan tertinggi pada awal tahun baru 2020. Curah hujan tertinggi mendekati 400 milimeter per hari.
Belum lagi perkembangan awan badai yang memicu bencana hidrometeorologi. Apabila ditelusuri lebih lanjut, sebelum tahun 2010 terjadi kegiatan awan konveksi atau awan yang menghasilkan tiga kondisi badai. Umumnya terpola di sekitar perubahan angin musim atau angin muson yang identik dengan kondisi musim hujan dan musim kemarau.
Peralihan musim
Dari penelusuran dan upaya mencermati pola aliran udara sekaligus analisis dinamika meteorologi diketahui bahwa masa peralihan musim—dari angin muson timur ke muson barat—umumnya terjadi pada Maret- April untuk awal tahun. Pada September-Oktober untuk akhir tahun. Keduanya merupakan situasi angin teduh dengan garis edar Matahari semu berada di atas ekuator.
Adanya udara tenang atau teduh dan pemanasan dari matahari pada permukaan Bumi yang kian terbuka lahirlah kondisi fisis konveksi. Ini adalah terangkatnya udara hangat yang basah karena sinar matahari memicu penguapan lebih giat dan terciptalah proses konveksi. Terbentuklah awan konveksi hingga awan badai.
Kondisi yang terpola mengikuti pola angin musim atau muson. Terjadilah pergeseran seiring dengan era global cooling atau pendinginan global.
Istilah pendinginan global muncul dari peneliti dan praktisi Badan Penerbangan dan Antariksa AS (NASA), khususnya ahli fisika matahari. Sebelum 2010 diprakirakan kegiatan matahari minimum. Ukuran minimum ini berpedoman dari rendahnya jumlah bintik hitam (sunspot) dan ledakan (flares) di permukaan matahari.
Bintik dan ledakan adalah gambaran pancaran gelombang dan energi elektromagnet ke alam raya, termasuk ke atmosfer Bumi, tempat proses cuaca dan iklim berlangsung.
Episode dingin atau giatnya gejala La Nina berkepanjangan membuat episode hangat atau El Nino pendek dan melemah. Situasi dan perkembangan ini memacu pergolakan cuaca dan iklim, khususnya di Indonesia.
Bencana hidrometeorologi basah dan meminimalkan bencana hidrometeorologi kering. Maka, kekeringan dan kebakaran lahan yang marak 1991 hingga 2007, kemudian berkurang, Mulai tahun 2010 hingga 2020, perlahan-lahan ritme awal dan akhir musim—baik musim hujan maupun kemarau—kian tak beraturan.
Puncaknya adalah awal 2020, kala musim angin barat pada Februari–Maret 2020. Setelah itu sepertinya situasi dan kondisi musim kian tidak beraturan seiring dominasi episode dingin atau La Nina.
Pola ketidakaturan angin muson diikuti unsur lain yang akhirnya menjadi pola kerancuan.
Terjadi kerancuan
Pola ketidakaturan angin muson diikuti unsur lain yang akhirnya menjadi pola kerancuan. Pada bagian lain adanya kawasan dingin, termasuk belahan selatan, memacu menyeruaknya udara dingin saat permukaan Bumi hangat oleh terik matahari atau proses adveksi. Itulah yang mungkin terjadi, menjelaskan hadirnya awan badai saat kawasan memasuki musim kemarau. Seperti yang terjadi antara Mei dan tengah Agustus 2022 di Indonesia.
Saat itu giat tiga badai seperti badai guntur yang giat pada malam hari di Jakarta, puting beliung di beberapa lokasi di Jawa (Depok, Bandung, Magelang), serta hujan lebat seperti di Katingan, Kalimantan.
Dengan perkembangan yang kini terjadi, tampak awan badai atau awan Cb kini berkembang, yang berpotensi memicu bencana hidrometeorologi basah.
Sepertinya kondisi awan badai yang dahulu giat pada masa peralihan, pada 2022 berlangsung pada musim kemarau. Alangkah baiknya bila situasi dan kondisi cuaca dan iklim yang bergolak ini dikaji dan dicermati saksama untuk pertimbangan kebijakan terkait.
Baca juga Menilik Fenomena Hujan Ekstrem di Kawasan Benua Maritim Indonesia
Kita perlu belajar dari Seoul, Korea Selatan, yang maju dalam meteorologi, tetapi kecolongan dengan kehadiran jenis awan Cb yang membentuk awan MCC dan MCS. Konsekuensinya, hujan ekstrem dalam kurun singkat dan banjir bandang karena hujan yang begitu lebat di kawasan kota tidak tertampung di drainase.
Sebentar lagi kita memasuki bulan September. Garis semu di akhir bulan akan berada di garis ekuator, yang dapat memacu penguapan dari laut yang kini hangat. Inilah kondisi kerancuan/pergolakan cuaca dan iklim Bumi yang berubah dengan segera dan cepat.
Paulus Agus Winarso, Praktisi Cuaca, Iklim, dan Lingkungan