Menilik Fenomena Hujan Ekstrem di Kawasan Benua Maritim Indonesia
Hujan ekstrem yang berawal dari terbentuknya awan kumulonimbus semakin sering terjadi, tidak hanya di masa pancaroba, tetapi juga saat musim hujan dan kemarau.
Oleh
PAULUS AGUS WINARSO
·6 menit baca
Judul di atas sengaja dilemparkan ke pembaca Kompas yang budiman seiring situasi dan kondisi cuaca dan iklim kawasan Indonesia untuk mengetahui dan memaklumi situasi dan kondisi cuaca dan iklim yang beragam. Keragaman cuaca dan iklim yang terpadu dengan perkembangan iklim bumi yang berkelanjutan kian dirasakan dengan adanya bencana akibat kondisi cuaca dan iklim ekstrem yang dikenal dengan bencana hidrometeorologi.
Bencana hidrometeorologi telah digaungkan dalam beberapa tahun terakhir, khususnya saat giat gejala alam global baik El Nino maupun La Nina yang masing-masing menimbulkan bencana hidrometeorologi kering dan basah bagi kawasan sebagian benua maritim Indonesia.
Bencana hidrometeorologi kering berkaitan dengan kondisi kekeringan yang memicu kebakaran lahan dan hutan, berlanjut dengan pencemaran kabut asap yang membuat berjangkitnya ISPA. Sementara bencana hidrometeorologi basah berkaitan dengan hujan berkelimpahan yang menimbulkan banjir bandang dan tanah longsor serta bencana badai lokal, mulai angin kencang dan yang berputar disebut puting beliung, hujan ekstrem dengan curahan hujan lebih dari 150 milimeter per hari, dan petir bersahutan atau badai petir.
Hujan ekstrem yang memicu bencana banjir, banjir bandang, dan tanah longsor berasal dari awan badai yang disebut awan kumulonimbus (awan Cb). Awan Cb sebenarnya sudah terjadi sebelum isu perubahan iklim beredar mulai tahun 1990, tetapi tidak sesering saat ini di mana setiap saat, baik musim hujan, peralihan musim, maupun musim kemarau, terbentuk. Kajian atau penelitian khusus untuk kawasan benua maritim Indonesia juga sangat jarang, seiring guru besar yang mumpuni di bidang meteorologi yang menguasai tentang awan badai juga belum ada di Indonesia.
Apakah ini akan lanjut terjadi? Ini semua tergantung dari perkembangan kegiatan awan badai yang kini marak dan hampir setiap hari akan kita jumpai siaran berita tentang hujan es, puting beliung, banjir bandang, dan tanah longsor akibat hujan ekstrem. Menjelang akhir Februari 2022, misalnya, kawasan Badui yang terkenal langka terjadi banjir dan tanah longsor, beberapa hari lalu bencana tersebut terjadi seiring sering terjadinya awan badai (awan Cb) yang terus merangsek, marak, dan meluas.
Sebenarnya dari pengalaman masa lalu sebelum era milenial atau sebelum tahun 2000, awan Cb ini umumnya marak terjadi di musim peralihan dari musim kemarau ke musim hujan atau sebaliknya. Kondisi ini, dari pengalaman lapangan, terjadi mulai sekitar tahun 1970 hingga tahun 2000.
Semenjak tahun 2000, bersamaan dengan periodesitas gejala alam El Nino dan La Nina yang silih berganti terjadi, situasi dan kondisi mulai berubah dan beragam. Hal ini diakibatkan oleh fluktuasi dan ritme periodesitas kegiatan El Nino yang beragam dan tidak teratur, yang sebenarnya mulai tahun 1980 hingga 2009 dan 2010 hingga 2039. Hitungan ini berdasarkan periodesitas iklim yang umumnya dari anjuran Badan Meteorologi Dunia (WMO) 30 tahun, dan apabila diterapkan dari data kegiatan gejala alam El Nino dan La Nina ada kebenarannya.
Dari periode 1980 hingga 2009, sekitar 30 tahun, memperlihatkan gejala alam El Nino yang sangat dominan dengan bencana hidrometeorologi kering, khususnya mulai tahun 1990 yang merusak ketahanan pangan Indonesia. Memasuki era 2010 hingga kini, ketahanan pangan nasional memperlihatkan indikasi perbaikan ke arah normal seiring gejala La Nina yang mendominasi kondisi musim di kawasan benua maritim Indonesia.
Di era 1980-2010 bencana hidrometeorologi kering memicu kebakaran lahan dan hutan yang memuncak menjadi bencana kebakaran lahan nasional tahun 1997, diikuti gejala El Nino yang cepat menguat dan memperluas lahan terbakar di Indonesia dan negara tetangga, yaitu Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, dan Papua Niugini, diikuti bencana asap yang melintas batas (transboundary haze pollution). Sepertinya itu merupakan puncak era 1980-2009 yang kalau boleh diambil kesimpulan berada di tengah periode.
Setelah periode tersebut hingga kini, gejala alam La Nina merupakan situasi dan kondisi yang terjadi sesuai dengan kesetimbangan alami. Apabila kita anggap gejala El Nino akibat naiknya suhu muka laut perairan Samudra Pasifik, maka dianggap gelombang atas dan gejala La Nina berkaitan dengan turunnya suhu muka laut perairan Samudra Pasifik dengan gelombang di bawah yang akan memasuki periode tengahnya seperti kala era sebelumnya tahun 1980-2009, di mana periode tengahnya pada 1994-1997 terjadi dwi gejala El Nino (1994/1995 dan 1996/1997).
Di era 1980-2010, bencana hidrometeorologi kering memicu kebakaran lahan dan hutan yang memuncak menjadi bencana kebakaran lahan nasional tahun 1997.
Perlu ditindaklanjuti
Mungkinkah saat ini dengan gejala alam La Nina yang berturutan (2020/2021 dan 2021/2022) adalah analogi kemiripan? Ini adalah realitas yang seyogianya ditindaklanjuti oleh kalangan peneliti dan pengkaji ilmu cuaca meteorologi baik yang ada di operasional, penelitian, dan kalangan perguruan tinggi.
Terlepas dari apa yang berlangsung dan terjadi, mungkin berguna dalam pengembangan lanjutan tentang perkembangan cuaca dan iklim benua maritim Indonesia yang bergolak dan sulit diprakirakan dengan akurasi yang tinggi. Hal ini dapat diperhatikan dari kesiapan untuk menghadapi gejala alam La Nina dalam dua musim berturutan, kala tahun 2021 di puncak hujan tidak ada yang dapat memastikan hujan 2-3 hari kawasan Provinsi Kalimantan Selatan yang hampir sama dengan jumlah total atau hampir dua kali jumlah normal di puncak musim hujan. Dan, munculnya badai tropis Seroja di dekat Kupang saat memasuki musim kemarau untuk kawasan NTT dengan angin badai dan hujan esktremnya merupakan kenyataan yang terjadi sebagai bagian yang mungkin terlupakan tetapi sejarah mencatatnya dengan baik.
Berbeda dengan saat puncak musim hujan tahun 2020/2021, saat kawasan Kalimantan hujan sangat esktrem yang dalam sejarah baru terjadi pada Februari 2021 juga Badai Tropis Seroja, merupakan kontribusi dari giatnya MJO di Indonesia pada 2021. Sepertinya MJO kali ini, menjelang akhir bulan Februari 2022, mulai giat dan dalam seminggu hingga dua minggu mendatang akan memasuki kawasan. Seperti tahun 2021 sekitar jelang hingga akhir memicu beberapa hujan ekstrem selain kawasan di Kalimantan Timur juga di Pulau Jawa pada akhir Februari terjadi hujan ekstrem di Jakarta.
Semoga MJO tidak lebih hebat seperti tahun lalu mengingat sebaran hujan walau kecil sering giat dan tersebar apalagi dengan warta bencana hidrometeorologi basah yang marak dan meluas di beberapa kawasan Indonesia, mulai Pulau Sumatera hingga Papua. Semua ini telah diinformasikan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika secara berkala hingga peringatan dininya.
Semoga catatan sekilas ini mengisi kekosongan warta terkait dengan perkembangan kondisi cuaca dan iklim di kawasan benua maritim Indonesia yang sebagian besar kawasan memasuki periode puncak musim hujan dan dibarengi dengan periode puncak gejala alam La Nina. Ini semua mengarahkan untuk menyiapkan diri seiring perkembangan cuaca dan iklim yang bergolak bersamaan menghadapi Covid-19 dari varian Omicron yang kini tengah berkembang.
Semoga catatan ini mengantarkan dan menambah pengetahuan perkembangan alam, khususnya cuaca dan iklim, yang berada di derah puncak musim hujan, puncak kegiatan gejala alam La Nina di kawasan benua maritim Indonesia.
Paulus Agus Winarso, Praktisi Cuaca, Iklim, dan Lingkungan