Berdasar kisah kehidupan Frans Seda, putra Flores kelahiran Maumere yang berjasa besar bagi bangsa dan negara serta berjuang sepanjang hayat dan bekerja melampaui tugasnya itu patut dianugerahi gelar pahlawan nasional.
Oleh
ASVI WARMAN ADAM
·5 menit baca
Maumere, ibu kota dari Kabupaten Sikka, adalah sebuah kota kecil di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Namun, nama kota ini telah mendunia. Bukan hanya karena tokoh besar dunia, Sri Paus Yohanes Paulus II, pernah berkunjung dan menginap di kota ini, melainkan juga karena ”goyang Maumere”. Tarian bernuansa gembira ini digemari banyak orang sampai ke mancanegara. Pasukan TNI di Lebanon terlihat melatih prajurit Perancis yang tergabung dalam pasukan perdamaian PBB untuk menarikan goyang Maumere.
Ke kota kecil yang indah di Nusa Bunga inilah Johanna Maria Pattinaja diajak Frans Seda membangun keluarga baru, setelah mereka menikah pada 1961 dan Johanna memperoleh wastra (kain tenun yang dibuat secara tradisional, bukan mesin). Sejak itu pula, ia jatuh cinta kepada tenunan ini.
Johanna bukan saja mengurus suami dan anak-anaknya, melainkan juga menghabiskan waktu berlama-lama untuk menata dan merawat ribuan koleksi wastranya. Sejak tahun 1961, ia berkeliling Indonesia dan menemukan kain tenun di tempat pembuatnya atau pemilik yang mewarisi kriya berharga dari nenek moyangnya. Ada wastra yang sudah berusia lebih dari 100 tahun, tentu harganya tidak ternilai. Namun, koleksi Jo Seda bukan untuk dijual, pemeliharaan wastra ini terkait pengembangan/pelestarian budaya dan pemangku budayanya.
Buku ini terdiri dua bagian besar, pertama tentang kehidupan dan perjuangan tokoh Frans Seda dan satu lagi tentang wastra. Koleksi wastra Johanna Seda berasal dari Sabang sampai Merauke, tetapi dalam buku ini yang diulas khusus NTT. Wastra adalah seni tenun bernuansa sakral dan magis yang dapat digunakan selain untuk keperluan sehari-hari, juga untuk mas kawin dan upacara adat. Frans Seda sendiri adalah pemangku adat di tanah kelahirannya (Koro Ria pada suku Lio-Mego).
Buku ini terdiri dua bagian besar, pertama tentang kehidupan dan perjuangan tokoh Frans Seda dan satu lagi tentang wastra.
Sudah didoakan
Frans Seda lahir di Maumere, 4 Oktober 1926, dan sedari kecil ia sudah meninggalkan kampung halamannya. Ketika duduk di kelas II sekolah rakyat di Ndao, Soekarno yang sedang berada di pengasingan di Ende (1934-1938) berkunjung ke sekolahnya. Frans Seda diminta kepala sekolah untuk berdeklamasi dalam bahasa Belanda. Dari Ndao, ia melanjutkan sekolah ke Muntilan, Jawa Tengah, pada 1941. Hanya setahun belajar di sekolah guru, yang didirikan pastor terkenal Van Lith, meletuslah Perang Dunia II.
Tahun 1943 sekolah itu dikosongkan oleh Jepang. Frans Seda dan beberapa temannya dititipkan kepada keluarga Katolik di Yogyakarta. Mereka bekerja serabutan, seperti menjaga sepeda di Pasar Beringharjo. Frans bersekolah di SMA AMKRI Yogyakarta dan kemudian meneruskan sekolah di HBS Surabaya. Semasa sekolah, ia aktif berorganisasi dan ikut laskar rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan di Yogyakarta dan Surabaya tahun 1945-1949. Setelah lulus HBS di Surabaya, Frans Seda melanjutkan pendidikan ke Katholieke Economische Hogeschoole di Tilburg, Belanda. Teman-teman dan kenalannya di Belanda ini menjadi jaringannya semasa berpolitik kelak.
Sepulangnya di Indonesia tahun 1956, Frans Seda aktif berpolitik. Tahun 1961-1968, ia menjadi Ketua Umum Partai Katolik Indonesia. Tanggal 1 Juni 1960, ia bersama beberapa tokoh lainnya mendirikan Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. Biaya awalnya Rp 500. Presiden Soekarno sangat mendukung pembangunannya.
Lobi Irian Barat
Tahun 1961 terjadi pembicaraan antara Jenderal Nasution dan IJ Kasimo. Bagaimana cara melobi Partai Katolik Belanda (KVP) dalam urusan pengembalian Irian Barat. Setelah disetujui Menlu Soebandrio, dua orang diberi tugas untuk ini, yaitu pastor Oedejans yang akan menemui dua pastor Fransiskan yang duduk di parlemen Belanda dan Frans Seda yang akan berunding dengan pengurus KVP.
Sebetulnya, pada 17 Agustus 1960 Indonesia telah memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda. Frans Seda berangkat ke Bonn, Jerman Barat. Dari sini, ia menelepon Menlu Belanda Luns apakah bisa ke Belanda walau ketika itu tidak ada hubungan diplomatik antarkedua negara. Frans Seda memperoleh kemudahan, dari Bonn ia naik kereta api ke Nijmegen lalu ke Den Haag dan berunding dengan pengurus KVP. Kemudian, Frans Seda terbang ke Roma dan meminta dukungan Menteri Luar Negeri Vatikan.
Dalam kasus Irian Barat tersebut terlihat peran operasi militer dan pentingnya diplomasi (pembicaraan Presiden Soekarno dengan Presiden AS Joh F Kennedy dan adiknya, Robert Kennedy, yang memberikan tekanan kepada Belanda secara eksternal serta lobi Frans Seda kepada KVP yang memberikan desakan secara internal). Irian Barat kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi pada 1 Mei 1963.
Tahun 1960-an politik di Indonesia dikuasai tiga kekuataan: Presiden Soekarno, tentara, dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Suatu ketika, Frans Seda ditelepon Jenderal A Yani agar Partai Katolik memiliki koran sendiri untuk menandingi organ PKI, Harian Rakjat. Frans Seda membicarakan hal ini dengan beberapa rekan, seperti Jakob Oetama dan PK Ojong. Ide pembentukan koran tersebut disetujui, tetapi bukan sebagai corong partai, melainkan media yang bersifat umum, berdiri di atas semua golongan, dan ”mencerminkan miniatur Indonesia”, demikian kata Jakob Oetama. Pada mulanya diberi nama Bentara Rakyat, tetapi atas usul Presiden Soekarno diganti menjadi Kompas. Izin terbit yang dipersyaratkan Kodam Jaya, yakni adanya 3.000 pelanggan, dipenuhi dengan mendapatkan tanda tangan sebanyak itu yang diperoleh Frans Seda dari NTT. Akhirnya, terbitlah Kompas pertama kali pada 28 Juni 1965.
Menteri di saat krisis
Frans Seda menjadi Menteri Perkebunan (1964-1966), Menteri Pertanian (1966), Menteri Keuangan (1966-1968), dan Menteri Perhubungan (1968-1973). Memulihkan perekonomian dengan menggunakan Anggaran Berimbang. Dalam perkembangannya kemudian, anggaran berimbang ini juga dikritisi oleh Frans Seda. Buku Frans Seda Merawat Indonesia di Saat Krisis yang ditulis Mikhael Dua (2012) menguraikan secara rinci tindakan Frans Seda dalam era peralihan kekuasaan ini. Namun, yang tidak kalah pentingnya adalah nilai yang ditanamkan Frans Seda kepada lingkungan, termasuk kepada keluarga. Sedari dini, ia mengajar dua putrinya untuk membedakan milik negara dengan milik pribadi.
Berdasarkan kisah kehidupan di atas, Frans Seda, putra Flores kelahiran Maumere yang berjasa besar bagi bangsa dan negara serta berjuang sepanjang hayat dan bekerja melampaui tugasnya itu, patut dianugerahi gelar pahlawan nasional.
Asvi Warman Adam, Profesor Riset BRIN
Judul: Putra Nusa Bunga & Wastra NTT: Mengenang Sosok Frans Seda
Penulis: Sri Sintasari (Neneng) Iskandar, Diana Damayanti, Benny Gratha