Sudah selayaknya pemerintah di mana pun berada memaksimalkan penyiapan infrastruktur dan sekaligus petugas yang mumpuni, yang setiap saat siap diturunkan dalam musibah kebakaran.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
KOMPAS/FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
Warga yang melintas melihat sisa kebakaran ruko yang dijadikan warteg dan rumah indekos di Kelurahan Duri Selatan, Tambora, Jakarta Barat, Rabu (17/8/2022).
Publik kembali dikejutkan dengan musibah kebakaran di Tambora, Jakarta Barat, yang menewaskan enam orang. Kejadian tragis yang berulang puluhan tahun.
Enam warga tewas dan tiga lainnya terluka dalam kebakaran rumah indekos di Kelurahan Duri Selatan, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat, Rabu (17/8/2022) lalu. Penyebab kebakaran diduga akibat hubungan arus pendek listrik atau korsleting, yang bermula dari salah satu kamar, dari ruko empat lantai yang difungsikan sebagai warung makan dan rumah indekos itu (Kompas, 17/8/2022).
Dalam catatan Kompas, musibah kebakaran di Jakarta yang menimbulkan korban jiwa cukup sering terjadi. Jatuhnya korban jiwa, terutama jika musibah terjadi di permukiman padat, yang juga jamak di Jakarta.
Fenomena itu konsekuensi dari ”ambisi” Jakarta yang merangkap peran sebagai pusat pemerintahan, seiring posisi sebagai ibu kota negara, dan sekaligus pusat bisnis. Dirangkapnya dua peran itu membuat Jakarta menjadi tujuan urbanisasi warga luar Jakarta selama puluhan tahun.
Alhasil, sesuai data Badan Pusat Statistik DKI Jakarta, hingga 2021 penduduk Jakarta sudah mencapai 10,61 juta jiwa. Dengan luas wilayah yang cuma 664 kilometer persegi, sementara penduduknya sudah mencapai 11 juta jiwa, bahkan lebih, terutama pada siang hari ketika warga Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Bodetabek) berada di Jakarta untuk bekerja, maka kepadatan di Jakarta sudah mencapai 17.000 jiwa per kilometer persegi.
Kepadatan warga berkonsekuensi pada kepadatan permukiman, yang pada ujungnya mengharuskan daya dukung permukiman tersebut terhadap situasi-situasi darurat warganya, tak terkecuali kebakaran. Rumah-rumah petak yang berdempetan rata-rata abai menyediakan infrastruktur memadai, termasuk terkait kelistrikan.
Sesuai data pada awal Desember 2021, masih terpantau sejumlah kelemahan dalam infrastruktur pemadam kebakaran.
Tak heran, penduduk di permukiman padat Jakarta rawan mengalami musibah kebakaran. Pertanyaan berikutnya, bagaimana Jakarta menghadapi situasi darurat warganya? Ini pertanyaan krusial mengingat sudah sepatutnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyiapkan infrastruktur yang mumpuni guna mengantisipasi dan mengatasi situasi-situasi darurat.
Hanya, sesuai data pada awal Desember 2021, masih terpantau sejumlah kelemahan dalam infrastruktur pemadam kebakaran. Kelemahan itu di antaranya distribusi pos pemadam yang tidak merata dan minimnya sumber air, termasuk di dalamnya kelaikan hidran. Sejumlah problem itu masih ditambah kedatangan petugas pemadam di lokasi kebakaran, yang rata-rata lebih dari 15 menit, dipengaruhi faktor kemacetan dan letak pos pemadam dari titik musibah.
Dilandasi pemahaman bahwa satu korban jiwa adalah tragedi, sudah selayaknya pemerintah di mana pun berada memaksimalkan penyiapan infrastruktur dan sekaligus petugas-petugas yang mumpuni, yang tiap saat siap diturunkan dalam musibah kebakaran. Solusi sistemik mutlak perlu, dan itu perlu kerja keras, seiring problem kepadatan di Jakarta.