Berharap ada perubahan drastis di Afghanistan dalam setahun terlalu muluk. Namun, jika kondisi warga negeri itu semakin memburuk, hal ini jelas sinyal yang mencemaskan.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Senin, 15 Agustus 2022, tepat setahun Afghanistan berada di bawah pemerintahan Taliban. Belum hilang dari ingatan, betapa berputus asanya ribuan warga Afghanistan setahun lalu saat mendengar Taliban menguasai Kabul. Saat bersamaan, Ashraf Ghani—presiden saat itu—kabur. Sebagian warga bergelayutan berebut naik tangga menuju pesawat. Sebagian lainnya berlarian mengejar pesawat angkut C-17 milik Angkatan Udara Amerika Serikat (AS) yang melaju akan lepas landas dari bandara Kabul.
Pemandangan setahun lalu itu memberi pesan yang kuat: warga Afghanistan tak yakin negara tumpah darah mereka di bawah penguasa baru Taliban masih layak untuk tempat tinggal mereka. Warga Afghanistan kini terpaksa menerima kenyataan pahitnya hidup kembali di bawah Taliban. Kelompok ini pernah memerintah Afghanistan pada 1996-2001.
Selama 20 tahun pemerintahan sebelumnya, Afghanistan sangat bergantung pada dana asing. Sekitar 75 persen anggaran mereka berasal dari bantuan asing. Saat pemerintahan beralih ke tangan Taliban, dana itu berhenti mengalir. Saat bersamaan, AS dan beberapa negara lain membekukan aset Afghanistan di bank mereka. Tak kurang dari 9 miliar dollar AS ditahan.
Bantuan asing tetap mengalir ke negara itu melalui lembaga amal internasional. Namun, jumlahnya sangat terbatas dan tak mencukupi pemenuhan kebutuhan dasar warga Afghanistan.
Ramiz Alakbarov, Koordinator Bantuan Kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Afghanistan, menyebutkan, dari 4,4 miliar dollar AS dana bantuan kemanusiaan yang dibutuhkan, tahun ini baru diterima sekitar 1,8 miliar dollar AS. Masih kurang 2,6 miliar dollar AS untuk membantu agar warga Afghanistan bisa makan dan memenuhi kebutuhan dasar lainnya.
Saat ini, sekitar 35 juta dari 40 juta warga Afghanistan hidup dalam kemiskinan, sekitar 6,6 juta di antaranya masuk level darurat atau satu level sebelum kondisi kelaparan.
Bantuan kemanusiaan itu tentu tidak bisa diandalkan untuk menyelamatkan ekonomi negara itu. Afghanistan butuh uluran masyarakat internasional agar tidak jadi negara gagal. Hal ini yang perlu disadari Taliban.
Saat ini belum satu negara pun mengakui pemerintahan mereka. Masyarakat internasional masih menunggu pemenuhan atas janji Taliban setahun lalu, antara lain pemerintahan inklusif, penegakan hak asasi manusia, serta perlindungan kelompok minoritas dan perempuan.
Dalam setahun ini, belum ada sinyal Taliban melaksanakan janjinya. Mereka malah membawa Afghanistan mundur, terutama dalam isu perempuan. Pendidikan anak perempuan dibatasi. Perempuan juga dilarang bekerja. Afghanistan mengalami kerugian ekonomi hingga 1 miliar dollar AS akibat pelarangan itu, sebut Komite Penyelamatan Internasional (IRC).
Afghanistan bisa diselamatkan jika Taliban tak mengisolasi diri dengan berkukuh pada pandangan kakunya dan bersedia membuka diri kepada komunitas internasional.