Riskan, Mendesakkan Budaya Homogen di Lingkungan Inklusif
Menjadi bangsa Indonesia dengan menjalani prinsip-prinsip negara kesatuan, persaudaraan kebangsaan, dan kebinekaan merupakan pilihan ideal. Maka, perlu pelindungan, perawatan, penguatan, pengembangan budaya heterogen.
Oleh
INDRA TRANGGONO
·4 menit baca
Budaya homogen yang berorientasi kepada ekskusivitas nilai-nilai agama atau sistem kepercayaan tertentu tidak akan menimbulkan masalah sosial-politik jika diterapkan di dalam komunitas dan lembaga eksklusif atau lingkungan sendiri yang tertutup bagi komunitas yang berbeda.
Namun, muncul masalah ketika budaya homogen diterapkan di lingkungan/lembaga inklusif (terbuka, setara) yang merupakan arena publik. Riskan. Terlalu berisiko. Pasti menuai reaksi berupa gejolak penolakan dari pihak-pihak yang dipaksa mengikuti dan menjalani prinsip-prinsip nilai budaya homogen yang mengacu pada ide, nilai, dan perilaku yang serba tunggal dan seragam.
Kekhawatiran itu pun kini terjadi. Para penganut dan penganjur budaya homogen berusaha mendesakkan agenda politiknya di berbagi institusi inklusif di mana mereka menggenggam otoritas. Misalnya, lembaga akademik (sekolah, kampus) terutama negeri dan di komunitas-komunitas sosial budaya lainnya yang bersifat inklusif.
Kenapa desakan agenda pemasyarakatan budaya homogen meresahkan masyarakat?
Pertama, alasan bahwa Indonesia bukan negara yang menganut prinsip nilai agama tertentu, melainkan negara kesatuan berbasis kebangsaaan.
Artinya, negara ini didirikan oleh berbagai suku bangsa dengan karakter, budaya, agama, dan sistem kepercayaan yang beragam. Prinsip negara kesatuan ini sudah final, tak bisa ditawar lagi.
Dalam konteks itu, setiap suku bangsa menjadi pemangku kepentingan negara. Mereka berhak mengembangkan nilai, perilaku dan karya sesuai dengan budayanya demi meraih harkat dan martabat. Karena itu, setiap suku bangsa sudah semestinya memiliki ruang hidup dan aktualisasi yang sama.
Kedua, prinsip budaya bangsa kita adalah Bhinneka Tunggal Ika yang menunjung tinggi nilai-nilai kemajemukan atau keragaman. Kemajemukan merupakan ruang keniscayaan atas segala perbedaan.
Dengan dipahaminya perbedaan sebagai kekayaan, maka bangsa kita mampu menciptakan sinergi sosial, kultural, politik, dan ekonomi untuk menciptakan kesejahteraan dan kebahagiaan bersama. Selain itu, juga membangun nilai-nilai budaya dan peradaban. Setiap individu dari setiap suku bangsa hadir (eksis) menjadi bagian dari bangsa Indonesia tanpa tercerabut dari akar kultural dan sistem keyakinan yang dijalaninya.
Dengan dipahaminya perbedaan sebagai kekayaan, maka bangsa kita mampu menciptakan sinergi sosial, kultural, politik, dan ekonomi untuk menciptakan kesejahteraan dan kebahagiaan bersama.
Ketiga, di dalam persaudaraan kebangsaan yang egaliter atau setara tidak berlaku prinsip-prinsip dominasi dan hegemoni, baik secara primordial (kesukuan, agama) maupun secara politik, ekonomi, dan sosial.
Tidak ada prinsip memosisikan suku lain yang berbeda sebagai liyan (the others) yang berakibat pada marjinalisasi kelompok tertentu. Indonesia merupakan rumah besar kebangsaan yang dimiliki secara kolektif suku-suku bangsa.
Keempat, dasar negara Pancasila sudah final menjadi orientasi nilai kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Sejarah membuktikan, nilai-nilai Pancasila mampu menjadi inspirasi yang potensial dan operasional di dalam menjaga dan merawat persatuan bangsa. Bandingkan dengan banyak negara yang selalu kisruh karena tidak memiliki ideologi semacam Pancasila.
Pancasila merupakan anugerah ideologis yang sangat bermakna bagi bangsa kita. Bahwa nilai-nilai Pancasila belum secara optimal diterapkan oleh para petinggi negara, itu soal proses. Namun, di dalam kehidupan masyarakat, nilai-nilai Pancasila relatif sudah teraktualisasi baik secara langsung maupun tidak langsung (menjadi kesadaran kolektif).
Pilihan ideal
Menjadi bangsa Indonesia dengan menjalani prinsip-prinsip negara kesatuan, persaudaraan kebangsaan, dan kebinekaan merupakan pilihan ideal. Dalam konteks itu, maka aksi yang perlu didorong adalah pelindungan, perawatan, penguatan, pengembangan, dan pendayagunaan budaya heterogen, yakni budaya yang menjunjung kemajemukan yang sesuai dengan prinsip kebinekaan dan Pancasila.
Budaya heterogen merupakan budaya yang terbuka (inklusif) dan memberikan ruang kemungkinan bagi setiap suku bangsa atau individu untuk mendapatkan hak-hak kultural serta politiknya. Di antaranya kebebasan untuk memeluk dan menjalani nilai-nilai agama, mengembangkan budaya, berekspresi, berkarya dan menentukan masa depan.
Budaya heterogen menjujung nilai-nilai kebersamaan dan kegotongroyongan, di mana frase ”kita” menjadi kunci untuk menjani proses budaya demi terciptanya mutu peradaban bangsa.
Mendesakkan penerapan budaya homogen yang berkonten agama tertentu sebagai agenda politik di berbagai institusi sosial, politik, dan budaya yang bersifat inklusif dan publis (termasuk sekolah dan kampus) merupakan langkah yang tidak tepat alias salah tempat. Karena budaya yang wajib dikembangkan di berbagai insititusi publik itu adalah budaya heterogen, di mana kemajemukan dan keragaman nilai dirayakan bersama penuh sukacita.