Menuju Keunggulan Daya Saing Melalui Hilirisasi Industri Sawit Indonesia
Strategi hilirisasi tersebut dapat dimulai dari yang sangat sederhana, misalnya minyak goreng dan peningkatan penggunaan biodiesel menjadi B50.
Tanaman sawit dikembangkan di Indonesia oleh Belanda, sejak 111 tahun lalu, dan disebut produk crude palm oil (CPO). Kemudian hal itu menjadi tradisi bahwa CPO sebagai komoditas mentah, langsung diekspor, dan tidak pernah ada tambah nilai dengan pengolahan dalam negeri, yang memungkinkan menghasilkan multi-produk untuk melayani konsumen yang lebih luas, sehingga meningkatkan revenue atau pendapatan.
Kita juga tahu bahwa negara kita adalah spesialis eksportir bahan mentah CPO sejak jaman penjajahan Belanda. Tak heran mereka menjadi kaya raya karena membeli bahan mentah dengan harga yang relatif murah dan mengolahnya menjadi barang jadi dengan harga yang jauh lebih mahal.
Hal itu merupakan salah satu faktor yang membuat daya saing CPO Indonesia lemah. Beda dengan Malaysia, yang menekankan hilirisasi CPO produk mereka dalam pelbagai produk turunan, untuk melayani konsumen yang lebih luas, sehingga mereka telah lama siap bermain sebagai pengatur harga (price maker) dalam memenuhi kebutuhan pelbagai produk terkait dengan CPO pada konsumen dunia. Sementara Indonesia sebagai produsen CPO terbesar di dunia, tidak mengembangkan produk turunan, dan menerima posisi sebagai penganut harga pasar (price taker).
Raja sawit dunia adalah Indonesia. Indonesia menguasai pangsa pasar CPO sampai 59 persen di pasar dunia pada tahun 2021, disusul Malaysia 25 persen, dan negara lain 16 persen. Namun ironisnya Indonesia berada pada posisi price taker (mengikuti harga yang berlaku di dunia), sedangkan Malaysia menjadi price maker (mendikte harga dipasar).
Basis utama keunggulan Malaysia adalah pada hilirisasi industri sawitnya dengan multi-produk turunan (Vance, 2006), sehingga dapat membangun multi-medan persaingan, dan membangun tembok menghalangi pesaing (seperti Indonesia) masuk pada pasar industri kelapa sawit (Mohsenian-Rad, 2015).
Baca juga: Daya Saing Industri Sawit dan Minyak Goreng
Menurut Watanabe (2015), pada dunia bisnis dikenal dengan konsep penciptaan rantai nilai industri yang terdiri dari dua paruh: paruh pertama adalah industri hulu (upstream industry) yang mengandung kegiatan pengeluaran dan investasi; dan paruh kedua adalah industri hilir atau hilirisasi (downstream industry) yang terkait tersedianya sebanyak mungkin produk turunan di pasar, untuk menghasilkan pendapatan (revenue) yang optimal, sekaligus pula penampilan produk turunan dipasar menjadi tembok bagi pesaing untuk intervensi. Terminologi "hilirisasi industri" sudah sering kita dengar.
Belakangan ini kata-kata tersebut lebih sering disampaikan dan ditekankan oleh para petinggi pemerintah, khususnya oleh Presiden Jokowi. Presiden meminta agar segera dibangun pabrik minyak goreng untuk mengatasi kelangkaan minyak goreng dan jatuhnya harga TBS dari petani sawit baru baru ini.
Program B20, B30 dan seterusnya yang sedang berlangsung. Strategi bersaing kita untuk menjual bahan mentah hanyalah cost leadership, yaitu menjual dengan harga yang lebih rendah dari pesaing karena bahan mentah yang negara kita ekspor serupa dengan bahan mentah yang diekspor negara-negara lain. Jika harga kita naikkan, maka pembeli akan beralih ke pesaing.
Saat harga pasar sedang tinggi, mungkin menjual dengan harga yang sedikit lebih rendah tak menjadi masalah; masih ada keuntungan yang diraup. Namun bila harga pasar sedang jatuh, bisa jadi tak menguntungkan menjual sedikit di bawah harga pasar. Sayangnya kita tak punya pilihan kecuali harus menjual sehingga kita pun harus merugi. Bahkan ada suatu waktu di masa lalu, para petani memilih tak memanen dan membiarkan kelapa sawitnya membusuk di pohon karena ruginya yang kelewat besar.
Peningkatan produktivitas TBS atau minyak CPO di sektor hulu, memerlukan perluasan usaha dan pendalaman pengetahuan di sektor hilir agar peningkatan produksi minyak dapat terserap. Kerangka dan alur prosesnya diadopsi berdasarkan teori Kompetensi Kelapa Sawit: Akar Daya Saing (Sumber: C.K. Prahalad dan Gary Hamel, 1990).
Hilirisasi CPO menjadi oleokimia (oleochemical complex) yakni industri-industri yang mengolah mengolah produk industri refineri untuk menghasilkan produk-produk antara oleokimia/ oleokimia dasar sampai pada pada produk jadi (endproduct) seperti produk biosurfaktan (misalnya ragam produk detergen, sabun, shampo), biolubrikan (misalnya biopelumas) dan biomaterial (misalnya bioplastik).
Kemudian, jalur hilirisasi niofuel (biofuel complex) yakni industri-industri yang mengolah mengolah produk industri refineri untuk menghasilkan produk-produk antara biofuel sampai pada produk jadi biofuel seperti biodiesel, biogas, biopremium, bioavtur.
Hilirisasi minyak sawit CPO dapat dilaksanakan dengan tiga jalur melalui industri oleokimia, minyak goreng dan biodiesel dan perlu didukung dengan kebijakan industrialisasi yakni kombinasi kebijakan promosi ekspor dan kebijakan subsitusi impor untuk mengurangi defisit perdagangan.
Dari segi kebijakan promosi ekspor, hilirisasi minyak sawit dilakukan secara bertahap yakni fase awal dan dilanjutkan dengan fase lanjutan berikutnya. Hilirisasi fase awal diharapkan dapat merubah ekspor produk minyak sawit CPO menjadi produk hilir setengah jadi seperti lemak jenuh, lemak, alcohol, metil ester, gliserin dan lain-lain.
Sedangkan hilirisasi fase berikutnya diharapkan produk yang diekspor adalah produk jadi seperti produk oleofood kemasan (minyak goreng, margarin), oleokimia jadi (sabun mandi, detergen, shampoo dan lainnya) dan biofuel (biodiesel, biogas, bioethanol dan lainnya).
Kebijakan promosi ekspor melalui hilirisasi minyak sawit juga dilaksanakan pararel dengan kebijakan substitusi impor yang dapat dikelompokkan atas dua fase yakni fase pertama yakni menghasilkan produk antara yang selama ini masih diimpor Indonesia. Sedangkan fase kedua adalah menghasilkan produk jadi untuk menggantikan produk jadi yang diimpor selama ini. Termasuk kedalam fase subsitusi impor kedua ini adalah penggantian solar dengan biodiesel (mandatory biodiesel), penggantian petropelumas dengan biopelumas, penggantian petroplastik menjadi bioplastik dan lainnya (Sipayung, 2017).
Idealnya industrialisasi/hilirisasi berevolusi untuk setiap produk hilirisasi (oleofood, oleokimia dan biofuel). Bergerak dari produk bernilai tambah rendah ke produk yang bernilai tambah tinggi. Dari segi kepentingan nasional tentu akan lebih bermanfaat jika Indonesia menuju eksportir produk jadi minyak sawit karena manfaat ekonomi (multiplier ekonomi) akan terjadi didalam negeri. Perpaduan kebijakan promosi ekspor dan subsitusi impor tersebut berlaku untuk ketiga jalur hilirisasi tersebut.
Tidak hanya terbatas pada industri hilir minyak sawit melainkan juga terkaitan dengan produk lain sebagai turunan seperti pengembangan industri biodiesel (FAME) sebagai strategi hilirisasi, yang dapat mensubsitusi solar yang selama ini diimpor (mandatori biodiesel) dan sekaligus mengekspor biodiesel. Demikian juga pengembangan bioavtur dan biopelumas berbahan minyak sawit juga merupakan front multi-produk turunan sebagai kebijakan hilirisasi.
Dengan demikian, manfaat ekonomi hilirisasi pada industri sawit secara keseluruhan, tidak hanya melihat berapa devisa yang dihasilkan dari ekspor, tetapi juga diperhitungkan berapa devisa yang dihemat akibat subsitusi impor dari produk turunan kelapa sawit. Nilai strategis industri biodiesel di Indonesia tidak hanya dilihat dari berapa besar devisa yang diperoleh dari ekspor biodiesel, tetapi juga devisa yang dihemat dari pengurangan impor solar akibat disubsitusi biodiesel domestik.
Kesimpulan, tidak ada cara lain, untuk meningkatkan daya saing Produk CPO Indonesia, hilirisasi CPO mutlak, dengan mengembangkan sebanyak mungkin produk turunan, untuk melayani konsumen dengan multi-front. Seperti yang ditemukan oleh penelitian Watanabe (2015), hilirisasi dengan multi-produk turunan (atau terkait) dapat melayani konsumen dengan layanan multi-front, sehingga dapat mencipta tembok mencegah pesaing menguasai pasar.
Strategi hilirisasi tersebut dapat dimulai dari yang sangat sederhana, misalnya minyak goreng dan peningkatan penggunaan biodiesel menjadi B50. Dengan cara ini penggunaan CPO yang meningkat di dalam negeri dalam rangkka memperkuat industri sawit Indonesia, sekaligus mengurangi impor untuk kebutuhan dalam negeri seperti BBM dan minyak goreng. Hilirisasi meningkatkan nilai tambah atau pendapatan dengan membangun multifront dari CPO Indonesia. Langkah selanjutnya adalah membangun pabrik oleochemical dan turunannya.
Hilirisasi merupakan sumber daya saing bagi persaingan produk (Gary Hamel, 2005). Seperti apa yang sudah dilakukan negara tetangga kita Malaysia dengan membangun pabrik produk turunan CPO. Karena Indonesia merupakan produsen CPO terbesar didunia, maka pengembangan produk turunan yang banyak dari CPO tidak terlalu sulit. Yang diperlukan minimal dua hal: 1) Kebijakan pemerintah yang dapat membersihkan halangan birokrasi pada inisiatif investasi pada produk turunan CPO; 2) Berinovasi atau membangun manajemen yang efisien dan produktif untuk mengembangkan strategi persaingan pada produk turunan.
Manerep Pasaribu,
Dosen Pascasarjana FEB UI, MEMBER ISMS
email: manerep_kupang@yahoo.co.id