Masa depan pertanian rakyat Indonesia sesungguhnya ada di tangan rakyat sendiri. Karena itu kebijakan pertanian harus berpihak kepada rakyat (petani), jangan justru merusak, menghilangkan, dan meniadakan petani.
Oleh
ERNEST L TEREDI
·5 menit baca
Indonesia merupakan negara agraris. Petani sebagai penanda utama dalam menjelaskan tentang keagrarisan tersebut. Di atas tanah terdapat banyak kehidupan, pangan, sandang, dan papan. Jenis manusia yang menggelutinya juga beragam.
Jadi tesis tentang Indonesia sebagai negara agraris tak perlu dinafikan, apalagi disangkal. Sebagai bukti empiris dalam konteks pangan padi, dari tahun 2014 hingga 2018, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis luas lahan panen di Indonesia terbilang meningkat per tahun dengan angka 1,80 persen. Begitu juga dengan hasil produksi, untuk tahun 2017/2018 mencapai 2,33 persen.
Di tengah data versi negara mengalami kemajuan, negara melalui Kementerian Pertanian juga menghadirkan kebijakan baru, yaitu pertanian 4.0. Konsep pertanian 4.0 mengedepankan teknologi dengan tujuan meningkatkan produktivitas secara efektif dan efisien. Sistem pendukungnya artificial intelligence (kecerdasan buatan), robot, internet of things, drone, blockchain, dan big data analitik untuk menghasilkan produk unggul, presisi, efisien, dan berkelanjutan.
Kebijakan tersebut menuai perdebatan. Sebab meski wacana kebaikan dintonjolkan, bukan tak mungkin pertanian 4.0 menuai banyak persoalan, terutama terkait apakah penggunaan teknologi ini bisa menyebar secara merata ke pelosok Indonesia? Bagaimana dengan kultur ritualisasi masyarakat adat dalam pertanian, serta dengan kondisi kurang up to date dalam menggunakan teknologi 4.0? Terakhir, siapa yang menguntungkan dari kebijakan pertanian teknologi 4.0 ini?
Pertanian 4.0 dan akumulasi keuntungan
Jujur saja, kebijakan pertanian 4.0 yang getol dibicarakan pemerintah pasti berangkat dari problematisasi terhadap situasi pertanian saat ini. Dan situasi pertanian kita memang sangat kompleks. Katakanlah dari kurangnya produktivitas karena hama, tingkat kesuburan tanah yang lemah, dan kurangnya lahan untuk digarap petani. Namun, situasi itu tak serta-merta hanya bisa diatasi penggunaan teknologi.
Beberapa persoalan dari kebijakan pertanian 4.0 yakni: pertama, distribusi alat teknologi ke berbagai daerah di Indonesia belum tentu berjalan maksimal. Hasilnya di sini kita ketahui secara bersama, petani yang bekerja dengan teknologi akan sendirinya lebih p =[;...........roduktif ketimbang yang menggunakan alat-alat tradisional. Persaingan pun terjadi, yang lemah semakin hancur yang kuat akan memperoleh keuntungan.
Kedua, terkait pengetahuan petani dalam menggunakan teknologi pertanian 4.0. Jujur saja, pengetahuan petani setiap wilayah dipenuhi warna-warni. Bukan dalam arti ada yang lebih tinggi dan rendah menurut sumber daya manusia (SDM), melainkan kultur/kebiasaan masing-masing petani dalam menggarap sektor pertanian. Jadi untuk menggunakan teknologi yang canggih, belum tentu petani-petani di pelosok yang terbiasa menggunakan alat tradisional dengan cepat beradaptasi menggunakan teknologi tersebut.
Untuk menggunakan teknologi yang canggih, belum tentu petani-petani di pelosok yang terbiasa menggunakan alat tradisional dengan cepat beradaptasi menggunakan teknologi tersebut.
Ketiga, begitu banyak masyarakat adat di Indonesia yang statusnya petani dan bahkan paling dominan. Dalam kebiasaan masyarakat adat, membuka ladang, menanam, dan panen akan ada ritualisasi. Ritualisasi ini sepertinya bernuansa mistik. Namun pada praktiknya, segala harap dan cita dari masyarakat adat saat mengikuti kultur yang ditetapkan maka hasilnya pun akan sesuai target. Tentu dengan adanya pertanian 4.0 bukan tidak mungkin segala kekayaan ritual dalam pertanian masyarakat adat akan dengan sendirinya punah.
Keempat, kehadiran food estate di beberapa daerah bisa saja menjadi contoh praktis. Namun, mata kita tak perlu borol, food estate adalah memperusahaankan pertanian. Dan saat negara menempatkan perusahaan dalam bidang pertanian, otomatis pertanian rakyat akan dengan sendirinya babak belur. Artinya, yang diuntungkan dari kebijakan ini adalah perusahaan-perusahaan yang bekerja dalam sektor pertanian.
Keempat persoalan yang penulis ulas tersebut memang terlihat lelucon dan bisa di-framing sebagai antikemajuan. Namun satu yang penting bahwa mendudukkan soal sebuah kebijakan itu tak kalah penting. Kalau kita jujur dan mau membuka pelan-pelan, kebijakan pertanian 4.0, sejak dini bisa dideteksi meminjam bahasa (Harvey, 2005) bagian dari akumulasi perampasan. Dalam arti negara membangun kekuatan melalui perusahan disertai dengan teknologi canggih untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Lalu menjauhkan aset-aset rakyat dari hidupnya.
Ujung dari kebijakan ini nanti adalah rakyat tidak boleh bertani, tetapi silakan bekerja di ladang pertanian negara. Dengan demikian, tak salah kalau kebijakan pertanian 4.0 sebagai bentuk di mana kekayaan alam diubah menjadi modal dalam produksi pemodal dan kaum petani diubah menjadi buruh upahan (Noer, 1999). Hasilnya kita tau bersama bahwa negara dan pemilik modal kaya sementara rakyat semakin terperosot ke dalam angka kemiskinan yang akut.
Masa depan pertanian rakyat Indonesia sesungguhnya ada di tangan rakyat sendiri. Negara hanya hadir dengan tidak merusak sistem, kultur dari petani apalagi merusak, menghilangkan, dan meniadakan petani. Nadi keindonesiaan ada di dalam setiap tubuh petani. Mereka punya cara, gaya dan pola sendiri dalam bertahan hidup serta memberi sumbangsih bagi bangsa.
Negara melalui aparatus pemerintahnya hanya sebagai fasilitator melalui kebijakan. Dalam arti harus sesuai dengan konteks petani di setiap wilayah di mana tingkat kesuburan tanah dan kondisi iklim yang berbeda. Mungkin itu yang perlu dipoles secara mendalam dengan menghadirkan kebijakan yang equality/persamaan. Di sisi lain, negara perlu memperhatikan petani-petani yang mulai kekurangan lahan. Alih-alih memberi sektor swasta lahan yang luas, mendingan mendistribusikan itu kepada rakyat.
Dengan mengedepankan prespektif kontekstual pada pertanian rakyat, mimpi Indonesia untuk menjadi lumbung pangan di masa depan akan terwujud. Untuk membangun pertanian yang kuat diperlukan ketulusan yang luar biasa. Sebab yang mengunyah dan menelan hasil pangan itu adalah kita sendiri. Kita tentu tak mau mengunyah dan menelan hasil bumi dari kebijakan yang tidak memprioritaskan rakyat.
Ernest L Teredi, Koordinator Penelitian dan Advokasi Lembaga Terranusa Indonesia