Program pengarusutamaan moderasi beragama tidak berangkat dari kesepahaman bersama tentang definisi agama, yang memenuhi prinsip kesetaraan bagi semua warga negara. kelompok penghayat kepercayaan masih terabaikan.
Oleh
SENO SIGIT
·5 menit baca
Kementerian Agama baru saja usai menggelar konferensi internasional bertajuk ”Religious Moderation in the Digital Space” (Kompas TV, 27/7/22). Lewat presentasi 72 karya ilmiah, event yang berlangsung tiga hari itu diklaim sebagai ajang diskusi terbesar tentang moderasi beragama.
Konferensi tersebut membawa pesan penting untuk memperteguh perilaku beragama yang toleran dan tidak diskriminatif di tengah tantangan era digital yang semakin kompleks. Tantangan itu, seperti diungkap Menag Yaqut Cholil Qoumas, antara lain gesekan sosial berbasis identitas, penolakan terhadap minoritas, penularan ujaran kebencian, dan lainnya. Dengan demikian, program Kemenag untuk mengarusutamakan moderasi beragama perlu mendapat dukungan sebagai upaya merawat multikulturalisme di Tanah Air.
Meski begitu, Kemenag nampak mengabaikan aspek fundamental dalam program pengarusutamaan moderasi beragama. Program ini tidak berangkat dari kesepahaman bersama tentang definisi agama, yang memenuhi prinsip kesetaraan (equality) bagi semua warga negara. Pengertian agama dalam program moderasi beragama nampaknya merujuk—atau diselaraskan—dengan Peraturan Presiden (PNPS) Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Bagian penjelasan dalam PNPS itu menyebut bahwa yang dimaksud agama adalah ”...agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu (Confusius). Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama-agama di Indonesia. Karena enam macam agama ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia….”
Dapat disimpulkan, epistemologi tentang agama menurut pemerintah hanya berangkat dari perspektif kelompok dominan dan mengabaikan kelompok penghayat kepercayaan. Oleh karena itu, kendati memiliki Sesembahan Yang Maha Esa, guru utama, ajaran, ritual, dan tempat ibadat, aliran kepercayaan tidak dipandang sebagai agama, tetapi sebagai produk kebudayaan. Itu sebabnya pembinaan terhadap penghayat kepercayaan tidak diselenggarakan oleh Kementerian Agama, tetapi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Di Kemendikbudristek, Direktorat Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat, yang menaungi komunitas penghayat spiritual, secara ironis ditempatkan satu rumpun dalam satu unit Eselon I dengan Direktorat Perfilman, Musik, dan Media Baru.
Absennya pendefinisian agama oleh negara mengakibatkan lahirnya ’diskriminasi paradigmatik’ terhadap penghayat kepercayaan karena tidak dianggap sebagai pemeluk agama.
Program pengarusutamaan moderasi beragama yang diharapkan mampu memperteguh perilaku beragama yang tidak diskriminatif pada kelompok mana pun juga masih tidak beranjak untuk mengubah cara pandang itu. Padahal, absennya pendefinisian agama oleh negara mengakibatkan lahirnya ”diskriminasi paradigmatik” terhadap penghayat kepercayaan karena tidak dianggap sebagai pemeluk agama sekaligus ”diskriminasi administratif” karena negara memperlakukan mereka secara berbeda dengan penganut ”agama”.
Sebuah pertanyaan menarik diajukan, ”bagaimana mungkin negara yang lahir dari sebuah kesepakatan sosial yang bersifat profan, berwenang mendefinisikan satu kepercayaan spiritual tertentu sebagai agama, sementara kepercayaan spiritual lain bukan agama?”
Mendefinisikan agama
Dalam konteks yang lebih luas, dapat disimpulkan bahwa sejauh ini berbagai kebijakan yang diterbitkan pemerintah cenderung mengabaikan definisi agama. Sebagai contoh, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 yang mengatur administrasi kependudukan, meski 15 kali memuat kata ”agama” juga tidak menyebut definisi agama baik pada batang tubuh maupun bagian penjelasan.
Agama diasumsikan sebagai konsep yang sudah jamak dipahami masyarakat sehingga tidak perlu didefinisikan negara. Padahal, dalam konteks berbangsa, pengabaian atas definisi agama berakibat pada munculnya isu-isu diskriminasi.
Dalam konteks yang lebih luas, dapat disimpulkan bahwa sejauh ini berbagai kebijakan yang diterbitkan pemerintah cenderung mengabaikan definisi agama.
Dalam percakapan multikulturalisme, sensitivitas terhadap isu-isu diskriminatif hanya dapat dirasakan jika kita menggunakan perspektif minoritas. Sebagai ilustrasi, bagi sebagian besar orang, bangku kuliah dengan tatakan tulis di sebelah kanan bukanlah realitas yang diskriminatif. Hanya mahasiswa kidal yang akan merasa bahwa fasilitas tersebut diskriminatif, lantaran menyulitkan mereka menulis. Artinya, kesadaran tentang diskriminasi akan lebih sensitif hanya jika kita berangkat dari perspektif minoritas.
Demikian halnya dalam konteks ketika negara memfasilitasi pemeluk agama dan penghayat kepercayaan hanya berdasarkan epistemologi kelompok dominan. Pemeluk agama-agama mayoritas tidak menyadari problem diskriminasi sebagaimana dirasakan para penghayat kepercayaan. Pemikir Miranda Fricker memberi istilah epistemic injustice untuk menggambarkan ketidakadilan semacam itu.
Ketidakadilan epistemik terjadi ketika konsep-konsep berpengetahuan berangkat dari identitas tertentu seperti ras, agama, jender, atau identitas lainnya, terutama yang lahir dari kelompok dominan. Dalam tataran hermeneutik, ketidakadilan espitemik juga dapat terjadi saat seseorang tidak memiliki kesadaran yang utuh atas pengalamannya sendiri, akibat tidak sesuai dengan konsep apa pun yang ia ketahui. Ketidaktahuan akan kesadaran diri ini terjadi karena konsep-konsep tentang pengetahuan yang populer telah dikuasai kelompok dominan.
Potensi diskriminasi paradigmatik terhadap kelompok minoritas akan semakin besar, ketika ketidakadilan epistemik difasilitasi oleh perangkat superstruktur. Apabila itu terjadi, ketidakadilan epistemik akan beranjak lebih jauh pada pembungkaman-epistemik, eksploitasi-epistemik, dan ketidakadilan kepercayaan-epistemik. Jika didiamkan, fenomena tersebut dapat mencederai penghargaan kita terhadap kebinekaan.
Sebagai gerakan yang concern mendorong masyarakat untuk berperilaku tidak diskriminatif dalam praktik beragama, sudah saatnya Pokja Moderasi Beragama mendorong Kemenag untuk mengundang para cendekiawan, akademisi, pegiat HAM, tokoh agama, penghayat kepercayaan, serta pakar terkait untuk urun rembuk dalam sebuah dialog nasional kebangsaan guna merumuskan konsep agama yang disepakati bersama.
Definisi ”agama” yang tidak bias mayoritas, selain menjadikan program pengarusutamaan moderasi beragama berjalan secara konsisten, secara esensial juga akan memperteguh penghargaan kita terhadap multikulturalisme, terutama prinsip-prinsip kesetaraan, keadilan, dan kebebasan.
Adalah benar bahwa tidak semua komunitas penghayat kepercayaan berkeinginan untuk dimasukkan dalam kategori agama. Di antara aliran kepercayaan, ada yang secara konseptual merupakan ajaran kontemplatif mengenai hakikat kedirian manusia dan alam kosmos. Kepercayaan tersebut lebih mengedepankan permenungan akan keharmonian manusia dengan semesta di sekitarnya, tidak membicarakan ajaran-ajaran eskatologis, serta tidak melarang penganutnya untuk memeluk satu agama tertentu.
Tetapi di luar itu, terdapat pula sejumlah aliran kepercayaan yang secara karakteristik memiliki kesamaan dengan enam agama di Indonesia. Mereka memiliki Sesembahan yang khas, guru utama, tempat suci, ajaran, ritual, dan tempat ibadah. Negara perlu mendudukkan keduanya secara proporsional dan menghindari generalisasi terhadap semua ajaran kepercayaan.
Dialog tersebut, lebih jauh, dapat mendorong dipindahkannya fungsi pembinaan penghayat kepercayaan, yang saat ini disaturumpunkan dalam satu unit Eselon I bersama Direktorat Perfilman, Musik, dan Media Baru, ke struktur baru yang khas soal spiritualitas bernama Pusat Bimbingan Masyarakat Penghayat Agama Lokal.
Seno Sigit, Mahasiswa Program Pascsarjana Universitas Indonesia