Presidensi G20: Mendorong Aksi Nyata, Melampaui Retorika
G20 adalah forum kerja sama ekonomi internasional, tetap tidak imun terhadap politik internasional. Aksi nyata G20 akan lebih optimal bila konflik segera berakhir. Indonesia terus berupaya menjadi orkestrator perdamaian.
Dua perhelatan tingkat tinggi G20 di bawah presidensi Indonesia di bulan Juli baru saja usai.
Pertemuan pertama para menteri luar negeri (foreign ministers meeting/FMM) pada 7-8 Juli dan pertemuan ketiga para menteri keuangan dan gubernur bank sentral (finance ministers and central bank governors meetings/FMCBG) pada 15-16 Juli diselenggarakan dalam kondisi global masih mengalami dua krisis: pandemi Covid-19 yang belum selesai dan perang di Ukraina.
Pasca-pertemuan, apresiasi berdatangan dari berbagai kalangan untuk Indonesia karena dianggap mampu menyelenggarakan dialog yang dihadiri lengkap anggota G20 dan mendorong komitmen anggota G20 untuk membahas dan menyepakati hasil nyata (concrete deliverables) sebagai respons terhadap berbagai masalah global. Indonesia berperan sebagai perantara yang jujur (an honest broker) dan berhasil menjaga keutuhan forum G20 dan membuktikan forum ini tetap efektif.
Pesan kuat dari mayoritas anggota G20 dalam dua paragraf pertama Chair’s Summary adalah perang di Ukraina telah menyebabkan perlambatan pemulihan global.
Konflik perlambat pemulihan
Khusus pertemuan FMCBG, ada tujuh agenda yang dibahas, yaitu ekonomi global, kesehatan global, arsitektur keuangan internasional, keuangan berkelanjutan, keuangan digital, infrastruktur, dan perpajakan internasional. Pertemuan FMCBG kali ini menghasilkan dokumen Chair’s Summary (catatan hasil diskusi dan kesepakatan) yang diterima oleh semua anggota G20 dan dipublikasikan. Chair’s Summary terdiri dari dua bagian dan 14 paragraf.
Pesan kuat dari mayoritas anggota G20 dalam dua paragraf pertama Chair’s Summary adalah perang di Ukraina telah menyebabkan perlambatan pemulihan global. Dampak konflik sudah merambat luas ke berbagai belahan dunia dalam bentuk disrupsi rantai pasok yang mengakibatkan kelangkaan dan kenaikan harga komoditas, inflasi global yang semakin tinggi dan dampak lanjutannya di berbagai sektor, termasuk keuangan.
Paragraf ini juga menjelaskan adanya perbedaan pandangan di antara anggota G20 tentang penyebab permasalahan di atas. Namun, terlepas dari semua itu, dampak konflik telah dirasakan hampir semua negara, terlebih untuk negara-negara berpendapatan rendah dan rentan.
Anggota G20 juga memberikan perhatian yang tinggi terhadap isu kerawanan pangan dan menekankan perlunya aksi bersama untuk memitigasi dampaknya. G20 sudah memiliki dua pengalaman sebelumnya, yaitu tahun 2010 (presidensi Korea) dan 2011 (presidensi Perancis). Namun, kali ini permasalahannya jauh lebih rumit.
Program Pangan Dunia (World Food Program) mengindikasikan jumlah mereka yang menghadapi kerawanan pangan akut meningkat lebih dari dua kali lipat sejak 2019, dari 135 juta orang menjadi 276 juta orang. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga memperkirakan adanya peningkatan biaya impor pangan global sebesar 268 miliar dollar AS dibandingkan dengan sebelum pandemi yang dua pertiganya terkonsentrasi di negara-negara berkembang.
Belum lagi potensi krisis pasokan pupuk yang mengancam musim tanam dan diperkirakan akan memperburuk kerawanan pangan hingga 2023 dan seterusnya jika konflik belum juga reda.
Anggota G20 juga menyerukan agar berbagai inisiatif global dalam menangani hal kerawanan pangan, antara lain Global Alliance for Food Security, International Financial Institutions’ Action Plan to Address Food Insecurity, United Nations’ Global Crisis Response Group, dan Global Development Initiative, baik yang diinisiasi negara maupun lembaga keuangan internasional, dapat dikolaborasikan sehingga lebih terintegrasi dan berdampak ganda.
Baca juga: Teladan Sinergi dari Presidensi G20
Aksi nyata melampaui retorika
Terlepas dari dinamika terkait konflik geopolitik, 12 paragraf selanjutnya dari Chair’s Summary menjelaskan dukungan mayoritas anggota G20 untuk menyuarakan aksi nyata bersama terhadap berbagai tantangan global, di samping berbagai perkembangan hasil pembahasan berbagai topik di jalur keuangan.
Paling tidak ada enam aksi nyata G20 yang dihasilkan dalam pertemuan ketiga FMCBG hingga saat ini. Pertama, persetujuan pembentukan Dana Perantara Keuangan untuk pencegahan, kesiapsiagaan, dan respons terhadap pandemi di masa depan (Financial Intermediary Fund for Pandemic Prevention, Preparedness and Response/FIF for Pandemic PPR). FIF ini dikembangkan oleh gugus tugas G20 bidang kesehatan dan keuangan, diadministrasikan oleh Bank Dunia dan memperhatikan peran kunci Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Komitmen kontribusi pendanaan sebesar 1,3 miliar dollar AS dari 11 negara dan anggota G20 serta tiga filantrofi berhasil diamankan. Indonesia sendiri berkomitmen 50 juta dollar AS dan menjadi salah satu penggagas diskusi lanjutan terkait struktur tata kelola dan rencana peluncuran FIF secara resmi di masa presidensi Indonesia.
Didie SW
Kedua, presidensi Indonesia berhasil menelurkan Asia Initiative Bali Declaration sebagai upaya peningkatan transparansi dan pertukaran informasi perpajakan yang disepakati 11 negara di kawasan Asia. Kesepakatan ini dilakukan untuk memperkuat transparansi pajak dan meningkatkan kerja sama melawan upaya penghindaran pajak dan aliran keuangan gelap (illicit financial flows).
Ketiga, komitmen untuk realokasi special drawing rights (SDR), yang hingga kini telah terkumpul sebesar 73 miliar dollar AS ke dalam salah satu instrumen pinjaman Dana Moneter Internasional (IMF) bernama Resilience and Sustainability Trust (RST). RST ini semacam dana perwalian (trust fund) yang berfokus kepada dukungan pendanaan jangka menengah dan panjang, misalnya terkait perubahan iklim dan penanganan pandemi.
Keempat, disepakatinya dukungan pendanaan bagi restrukturisasi utang Zambia dalam program Common Framework for Debt Treatment beyond DSSI oleh komite kreditor yang selanjutnya akan mengikuti proses persetujuan bantuan pendanaan dari IMF. Dengan capaian ini, Zambia menjadi contoh awal keberhasilan Common Framework.
Aksi nyata G20 akan jadi lebih optimal jika konflik segera berakhir.
Kelima, diselesaikan dan diterbitkannya laporan hasil kajian independen terkait Kerangka Kecukupan Modal (Capital Adequacy Framework/CAF) yang dapat menjadi referensi bagi Bank Pembangunan Multilateral (MDB) untuk mengoptimalkan neraca mereka dan menambah kapasitas pendanaan pembangunan, khususnya bagi negara berpendapatan rendah dan menengah. Laporan CAF ini berpotensi meningkatkan kapasitas pendanaan MDB secara signifikan dengan tetap memperhatikan status mereka sebagai kreditor khusus di mata lembaga pemeringkat kredit.
Keenam, presidensi Indonesia mengambil inisiatif untuk kesiapan dan telah melakukan peluncuran program Mekanisme Transisi Energi (Indonesia Energy Transition Mechanism Country Platform) yang terdukung oleh kerja sama dengan MDB, badan usaha milik negara, filantropi, dan berbagai pemangku kepentingan lain sebagai bukti komitmen transisi menuju ekonomi hijau.
Selain capaian di atas, juga ada berbagai laporan yang sudah dihasilkan G20, khususnya di jalur keuangan, antara lain berupa catatan untuk formulasi kebijakan exit strategy dan scarring effect, cetak biru pembiayaan dan pengembangan teknologi infrastruktur, ringkasan dan panduan indikator kualitas investasi infrastruktur, kerangka laporan aset kripto, dan sistem pembayaran.
Urgensi kepemimpinan global
Aksi nyata G20 akan jadi lebih optimal jika konflik segera berakhir. Sebagai presidensi, upaya Indonesia perlu didukung semua anggota G20 dalam meminimalkan potensi fragmentasi di dalam forum G20. Indonesia juga telah dan terus berupaya jadi jembatan atas absennya kepemimpinan global yang seharusnya menjadi orkestrator penyelesaian berbagai permasalahan global.
Kita tahu bahwa G20 adalah forum kerja sama ekonomi internasional, tetapi tidak imun terhadap politik internasional. Kita juga menyadari bahwa perbedaan pandangan politik dan keamanan global telah menjadi penyebab konflik geopolitik yang berakibat kepada pemburukan ekonomi global yang telah dirasakan oleh hampir semua negara.
Untuk itulah kepemimpinan global harus segera hadir agar perdamaian yang menjadi syarat utama pemulihan ekonomi global segera terwujud. Permasalahan global membutuhkan solusi global dan solusi global mensyaratkan kepemimpinan global. Kita berharap G20 mampu mendorong tampilnya kepemimpinan global ini. G20 telah memiliki reputasi dalam menyelesaikan krisis global sebelumnya dan perlu untuk membuktikannya kembali.
Wempi Saputra, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Ekonomi Makro dan Keuangan Internasional; Deputi Keuangan G20 Indonesia