Teladan Sinergi dari Presidensi G20
Di tengah tensi geopolitik yang kian memanas, Indonesia berhasil memberi teladan kepada dunia bahwa sinergi, lagi-lagi, menjadi kunci pemulihan ekonomi. Salah satu kesepakatan yang paling menarik ialah pembentukan FIF.
Harapan besar patut disematkan pada hasil pertemuan ketiga Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral (FMCBG) dari rangkaian Presidensi G20 Indonesia 2022.
Di tengah tensi geopolitik yang kian memanas, Indonesia berhasil memberi teladan kepada dunia bahwa sinergi, lagi-lagi, menjadi kunci pemulihan ekonomi.
Di antara sekian banyak kesepakatan yang terbentuk dari forum G20 di Bali, pertengahan Juli lalu, ada dua hal paling menarik perhatian. Pertama, pembentukan Dana Perantara Keuangan (Financial Intermediary Fund/FIF). Tujuan pembentukan FIF ialah memastikan pembiayaan untuk agenda pencegahan, kesiapan, dan penanggulangan terhadap pandemi di masa depan, sekaligus melanjutkan rekomendasi Bank Dunia yang termuat dalam dokumen perencanaannya (white paper) Mei lalu.
Pembentukan FIF ibarat angin segar bagi negara berpenghasilan rendah dan menengah. Ketika pandemi Covid-19 terjadi, kelompok negara ini relatif tak mempunyai sumber daya dan kemampuan finansial memadai untuk meneliti, menciptakan, bahkan membeli vaksin.
Pembentukan FIF ibarat angin segar bagi negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Kita tentu masih ingat pernyataan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Januari 2021, saat vaksin baru mulai diproduksi secara massal. Lebih dari 39 juta dosis vaksin Covid-19 telah disuntikkan ke penduduk di 49 negara berpenghasilan tinggi. Sementara hanya 25 dosis yang diinjeksikan ke penduduk di satu negara berpenghasilan sangat rendah.
Satu setengah tahun setelah pernyataan WHO itu, distribusi vaksin dunia tak kunjung merata. Per 31 Juli 2022, data Bloomberg memang mencatat lebih dari 12,3 miliar dosis vaksin telah diberikan ke 184 negara. Jika dirata-rata, rasionya 157 dosis per 100 penduduk dunia.
Namun, akselerasinya masih timpang. Laju vaksinasi di negara maju sepuluh kali lebih cepat daripada negara miskin. Ketika negara maju, seperti Kuba, mencatat rasio vaksinasi 346 dosis per 100 penduduk, negara miskin, seperti Yaman, Haiti, Kongo, Kamerun, dan Papua Niugini, hanya menerima 3-7 dosis per 100 penduduk. Jauh di bawah rata-rata dunia.
Berangkat dari ketimpangan tadi, FIF diposisikan sebagai wadah intermediasi dana di bawah pengelolaan Bank Dunia agar negara berpenghasilan rendah-menengah mempunyai daya dukung finansial untuk membeli vaksin. Sementara negara maju mempunyai tanggung jawab sosial menyediakan akses vaksin yang lebih murah dan merata.
FIF direncanakan berdiri pada September mendatang, dengan komitmen dana awal 1,28 miliar dollar AS. Sebelumnya, persoalan tata kelola pendanaan dan pembiayaan perlu diselesaikan agar FIF benar-benar berperan layaknya oase inklusif dan tidak pandang bulu kepada negara mana pun yang memerlukan dana penanganan kesehatan.
Pembayaran lintas negara
Kedua, pembayaran lintas negara di kawasan Asia Tenggara. BI bersama bank sentral Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand tengah menjajaki kerja sama pengembangan pembayaran lintas negara. Kerja sama itu bertujuan mengatasi empat tantangan utama transaksi lintas negara: berbiaya tinggi, cenderung lambat, akses terbatas, dan kurang transparan.
Laporan Bank Dunia, Remittance Prices Worldwide edisi Maret 2022, menyebut, rata-rata biaya transfer dana lintas negara sebesar 200 dollar AS adalah 6,09 persen. Jumlah itu masih di atas target G20 sebesar 5 persen ataupun Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2030 sebesar 3 persen.
Tingginya biaya kirim dana dipengaruhi tiga faktor: biaya transfer, selisih kurs (umumnya berpatokan pada dollar AS), dan biaya tambahan atas selisih kurs. Padahal, studi membuktikan penurunan 1 persen atas biaya transfer dana bisa meningkatkan volume transaksi hingga 1,6 persen (Ahmed et al, 2020). Turunnya biaya transfer dana akan mempercepat roda ekonomi berputar dan meningkatkan inklusi keuangan.
Skema kerja sama ASEAN-5 nantinya akan bertumpu pada konektivitas pembayaran berbasis kode cepat (QR code) dan transaksi instan ( fast payment).
Skema kerja sama ASEAN-5 nantinya akan bertumpu pada konektivitas pembayaran berbasis kode cepat (QR code) dan transaksi instan (fast payment). Penyelesaian transaksi akan memakai mata uang lokal tanpa dollar AS sebagai patokan (local currency settlement). Skema itu akan menurunkan biaya transfer dana secara signifikan.
Kerja sama pembayaran bilateral antara Thailand (Promt Pay) dan Singapura (PayNow) mampu menurunkan biaya transfer di antara kedua negara, dari semula 300-1.500 baht menjadi hanya 150 baht. Waktu kirim pun jadi lebih cepat, dari 1-2 hari menjadi hanya dalam hitungan menit. Hal serupa kita rasakan ketika BI merilis sistem pembayaran cepat BI-FAST, yang mereduksi biaya transfer antarbank, dari Rp 6.500 menjadi Rp 2.500 per transaksi, setiap saat dan seketika.
Kerja sama yang dilakukan ASEAN-5 itu seakan menjadi antitesis dengan apa yang terjadi belakangan ini. Ketika Uni Eropa membangun tembok transaksi lintas negara dengan mencabut tujuh bank asal Rusia dari kepesertaan Society for Worlwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT), Indonesia justru berhasil membangun jembatan untuk menyatukan pembayaran di kawasan Asia Tenggara.
Kolaborasi adalah kunci
Siapa pun yang belajar teori ekonomi pasti paham, dimensi kolaborasi sangat esensial bagi pertumbuhan ekonomi. Adam Smith dalam The Wealth of Nations memilih perdagangan bebas sebagai solusi atas tingginya harga beli konsumen apabila terjadi praktik pembatasan perdagangan atau monopoli pasar.
Perdagangan bebas (globalisasi) yang digarisbawahi Smith itu tentu saja urung terjadi tanpa kolaborasi antarnegara. Konsepsi itu kian terbukti ketika perang dunia dengan semangat deglobalisasinya membawa ekonomi global jatuh ke jurang resesi.
Setelah Perang Dunia II, semangat kolaborasi mencuat lagi dengan dibentuknya PBB pada 1945 untuk menjaga perdamaian dunia dan mencegah perang di masa depan. Praktik deglobalisasi setelahnya berupa Perang Dingin AS-Soviet 1985-1991, Perang Dagang AS-China 2018- 2021, dan kini perang Rusia-Ukraina kembali membawa ekonomi global ke jurang resesi.
Tugas berat ada di pundak Indonesia selaku pemegang tampuk keketuaan G20 2022.
Tugas berat ada di pundak Indonesia selaku pemegang tampuk keketuaan G20 2022. Di tengah timbulnya harapan baru dari pandemi yang semakin terkendali, dunia kembali dihadapkan pada risiko anyar berwujud stagflasi, imbas dari disrupsi rantai pasok global karena perang di Ukraina.
Apa yang dilakukan Indonesia, dengan berupaya mengejawantahkan semangat sinergi-kolaborasi dan semboyan Recover Together, Recover Stronger, sudah tepat. Di dunia yang kian terkoneksi seperti saat ini, tiada satu pun negara yang sanggup mengatasi masalah ekonomi seorang diri.
Adhi Nugroho, Analis Bank Indonesia Kalimantan Selatan.