Sungguh ironis. Dua puluh empat tahun pasca-Orde Baru keadaan tiga lembaga negara, yaitu MK, KPK, dan KY, kian menjauh dari cita-cita reformasi untuk membangun dan menegakkan negara hukum dan demokrasi.
Oleh
SUPARMAN MARZUKI
Β·5 menit baca
DIDIE SW
Didie SW
Kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga negara produk reformasi, seperti Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Komisi Yudisial, makin tergerus. Kondisi ini melengkapi rendahnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum lama, yakni kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman.
Sungguh ironis. Dua puluh empat tahun pasca-Orde Baru keadaan ketiga lembaga negara tersebut bukan semakin baik, melainkan kian menjauh dari cita-cita reformasi untuk membangun dan menegakkan negara hukum dan demokrasi. Ketiga lembaga negara itu justru tampak makin terang menjadi institusi yang melegalisasi dan melegitimasi pengingkaran terhadap negara hukum dan demokrasi itu sendiri.
Cemooh publik terhadap putusan-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tajam menohok sampai-sampai muncul istilah MK bukan lagi penjaga konstitusi, melainkan penyangga oligarki.
Begitu pula dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), alih-alih makin trengginas dan dipercaya dalam memberantas korupsi, malah berlepotan dengan kasus-kasus pelanggaran etika oleh para komisionernya.
Sementara Komisi Yudisial (KY) semakin menghilang dan jauh dari ingatan publik sebagai penegak etika. Pangkal masalah adalah diabaikannya seleksi yang transparan dan akuntabel serta dikesampingkannya prinsip integritas dalam pengisian jabatan di setiap institusi penegak hukum tersebut.
Prinsip independen, imparsial, dan kompeten sebagai elemen dari integritas yang harus menjadi pertimbangan utama untuk duduk di tiga lembaga negara ini lenyap dari mekanisme rekrutmen.
Prinsip independen, imparsial, dan kompeten sebagai elemen dari integritas yang harus menjadi pertimbangan utama untuk duduk di tiga lembaga negara ini lenyap dari mekanisme rekrutmen. Mekanisme pengisian hakim MK yang bermasalah sejak awal tidak kunjung dibenahi. Seleksi KPK sengaja dirancang untuk mencegah mereka yang memiliki integritas menjadi komisioner.
Sementara panitia seleksi KY gagal memilih anggota yang memiliki karakter kuat sebagai penegak etika. Yang mencuat keluar adalah dominasi golongan mayoritas anggota yang cenderung menikmati jabatan.
Independen
Independen adalah kualitas personal yang build-in dalam diri setiap anggota ketiga lembaga negara tersebut, dan bukan jaminan etik dan jaminan hukum pemberian negara. Negara dan hukum positif (hukum modern) yang hadir belakangan melegalisasi dan melegitimasinya menjadi prinsip-prinsip etik penegak hukum.
Fondasi utama independensi adalah moralitas individu. Kokoh tidaknya independensi bergantung pada personalitas yang bersangkutan. Personel penegak hukum yang cacat moral memiliki catatan buruk pada masa lalu, atau penikmat jabatan tidak memiliki pijakan kokoh untuk berkata dan bertindak berani menegakkan kebenaran. Yang amoral akan cemas, khawatir karena dia tersandera kecacatannya, dan penikmat jabatan tak akan berpihak terang dan tegas pada kebenaran jika akan mengancam nikmat jabatan di masa depan.
KOMPAS
Lili Pintauli Mundur, ICW Minta KPK Proses Pelanggaran Etik Firli Bahuri
Penegak hukum dan etika semacam itu akan selalu menjadi beban institusi dan rekan sejawatnya yang bersih. Dalam setiap pengambilan putusan yang membutuhkan ketegasan berpihak kepada keadilan, kebenaran, dan kemanusiaan, dia cenderung mengambil kompromi, tidak memilih atau malah mengingkari kebenaran itu. Padahal, penegak hukum dan etika seharusnya menunjukkan dan mempromosikan perilaku standar tinggi untuk memperkuat kepercayaan publik terhadap diri dan institusinya.
Apalagi menjadi hakim, pemberantas korupsi dan penegak etika mutlak menjadi moralis, menjadi cendekiawan yang tidak pernah berhenti berpikir, berzikir, menjaga kebersihan diri dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan.
Imparsial
Imparsial atau imparsialitas adalah tidak memihak, tidak konflik kepentingan atau suatu kondisi di mana penegak hukum tidak memiliki keraguan secara pribadi dan bisa dipercaya untuk nonpartisan. Berdiri tegak mengungkap kebenaran, menjalankan hukum untuk menegakkan keadilan tanpa berpaling.
Imparsialitas mengharuskan aparat penegak hukum bebas dari prasangka- prasangka, memastikan dirinya obyektif, dan mendiskualifikasi dirinya dari suatu perkara apabila menghadapi kenyataan yang tidak sejalan dengan prinsip imparsialitas, baik imparsialitas subyektif maupun imparsialitas obyektif.
Imparsialitas subyektif adalah tidak memihak, tidak berpaling, dan tidak konflik kepentingan dengan subyek hukum (orang atau badan hukum) yang sedang beperkara. Sementara imparsilitas obyektif adalah penegak hukum tidak memihak, tidak berpaling, dan tidak konflik kepentingan dengan obyek perkara.
Jika didiagnosis melalui dua bentuk imparsialitas itu, hampir semua putusan MK atas pengujian undang-undang (UU) lahir dari proses yang melanggar prinsip imparsial.
Jika didiagnosis melalui dua bentuk imparsialitas itu, hampir semua putusan MK atas pengujian undang-undang (UU) lahir dari proses yang melanggar prinsip imparsial. Hakim MK yang pernah menjadi bagian dari pembentukan UU berpendapat tentang suatu rancangan UU, konflik kepentingan dengan pimpinan legislatif dan atau eksekutif, pernah atau masih menjadi bagian dari institusi tertentu lalu menjadi hakim dalam perkara yang diajukan institusi tertentu tersebut harusnya tidak boleh memeriksa, mengadili, dan memutus.
Yang bersangkutan harusnya mundur, tetapi selalu ada alasan untuk menangkisnya sekalipun alasan itu tidak bisa menawar prinsip universal tersebut.
Kompeten
Kompeten atau kompetensi tertuju pada syarat dimilikinya dasar pendidikan khusus, pengalaman, dan kecakapan khusus seorang penegak hukum dan etika sehingga diyakini memiliki kemampuan memikul mandat sebagai penegak hukum dan etika.
Kompetensi seorang penegak hukum dan etika tidak hanya dibutuhkan untuk obyektivitas proses penegakan hukum dan etika, tetapi juga hak para pencari keadilan untuk diproses hukum sehingga secara obyektif perkaranya menjadi terang mana yang benar, mana yang salah, siapa yang berhak dan siapa yang dibebani kewajiban.
Kompetensi juga untuk menjaga citra dan kewibawaan institusi sebagai prasyarat membangun kepercayaan masyarakat luas. Bisa dibayangkan rusaknya citra institusi penegak hukum dan etika apabila perkaranya ditangani oleh personel penegak tidak kompeten, atau diperiksa, diadili, dan diputus oleh hakim yang tidak kompeten.
KOMPAS/LASTI KURNIA
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat dan para hakim anggota MK menggelar konferensi pers di gedung MK, Jakarta, Kamis (26/1/2017). Dewan Etik di dalam Mahkamah Konstitusi berencana membentuk Majelis Kehormatan sehubungan dengan penangkapan Patrialis Akbar yang merupakan seorang hakim anggota MK oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Oleh sebab itu, seorang penegak hukum dan etika harus terus-menerus tanpa henti meninggikan pengetahuan, pengalaman, dan kecakapannya melalui pendidikan resmi, pelatihan, membaca buku-buku, putusan-putusan (yurisprudensi) jurnal, atau karya-karya ilmiah yang relevan dan terkait. Termasuk hukum-hukum internasional, konvensi- konvensi hak asasi manusia internasional, dan yurisprudensi-yurisprudensi internasional. Tujuannya agar kompetensinya terjaga dan terus tumbuh.
Terakhir, independen, imparsial, dan kompetensi sebagai unsur-unsur integritas bersifat kumulatif. Salah satu tidak dimiliki, maka tidak akan pernah ada integritas. Penegak hukum yang kompeten tetapi tidak independen dan imparsial akan melahirkan proses hukum jual beli. Memiliki independensi dan imparsialitas, tetapi miskin kompetensi melahirkan proses dan putusan hukum tak bermutu.
Suparman Marzuki, Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia