Muhibah Presiden RI ke tiga negara Asia Timur memantik dugaan publik bahwa kunjungan ini kental dengan diplomasi ekonomi. Dalam perspektif diplomasi ekonomi, peran ketiga negara yang dikunjungi Presiden amat signifikan.
Oleh
DARMANSJAH DJUMALA
·5 menit baca
Presiden Joko Widodo untuk kesekian kali berkunjung ke China, 25 Juli 2022. Kali ini dirangkai dengan kunjungan ke Jepang dan Korsel.
Muhibah sekaligus ke tiga negara yang makmur ini memantik dugaan publik bahwa kunjungan ini kental dengan diplomasi ekonomi. Wajar saja karena ketiga negara adalah mitra ekonomi utama Indonesia di Asia. Namun, ada peristiwa lain yang menarik. Terutama jika dipindai dalam konteks politik luar negeri Indonesia, yaitu kunjungan Panglima Angkatan Bersenjata Amerika Serikat Mark Milley ke Indonesia.
Pada hari yang sama Presiden Jokowi bertemu Presiden Xi Jinping di Beijing, Panglima TNI Andika Perkasa mengadakan pembicaraan kerja sama militer dengan Panglima Angkatan Bersenjata AS. Dua peristiwa yang berpaut jarak secara geografis, tetapi memiliki arti kuat dalam hubungan strategis Indonesia dan dua negara sahabat (AS dan China).
Bagaimana membaca koinsidensi dua peristiwa itu dalam perspektif diplomasi dan politik luar negeri Indonesia?
Ekonomi dan militer
Bagaimana membaca koinsidensi dua peristiwa itu dalam perspektif diplomasi dan politik luar negeri Indonesia?
Dalam perspektif diplomasi ekonomi, peran ketiga negara Asia Timur yang dikunjungi Presiden Jokowi itu memang sangat signifikan. Tengok saja, misalnya, di bidang investasi. Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), diukur dari realisasi investasi kuartal II-2022, China menempati posisi kedua investor terbesar dengan nilai 2,3 miliar dollar AS di Indonesia setelah Singapura (3,1 miliar dollar AS). Namun, jika digabung dengan investasi Hong Kong yang berada di posisi ketiga (1,4 miliar dollar AS), China investor terbesar di Indonesia.
Jepang menyusul di posisi keempat dengan nilai 0,9 miliar dollar AS. Sebelumnya posisi ini diduduki Korea Selatan. Dari bentangan data ini jelas terlihat, ketiga negara yang dikunjungi Presiden itu berperan penting dalam ekonomi Indonesia.
Bagaimana dengan sektor perdagangan? Sama saja. China dan Jepang adalah mitra dagang utama. Data Kementerian Perdagangan 2020 mencatat China sebagai mitra dagang Indonesia terbesar dengan total perdagangan 72,8 miliar dollar AS. Jepang mitra dagang terbesar kedua dengan nilai 31,6 miliar dollar AS. Seperti di bidang investasi, China dan Jepang juga berperan besar dalam perdagangan luar negeri Indonesia.
Dalam diplomasi dan politik luar negeri, intensitas hubungan di bidang perdagangan dan investasi menjadi indikator kedekatan satu negara dengan negara lain. Indikator lain bisa juga dilihat dari intensitas kerja sama di bidang militer. Indonesia sendiri sudah melakukan kerja sama militer dengan beberapa negara, termasuk dengan AS.
Selain pengadaan alutsista, kerja sama militer dengan AS dilakukan dalam bentuk latihan bersama. Di bawah program latihan bersama Garuda Shield, Agustus tahun lalu, Indonesia dan AS melakukan latihan militer bersama di tiga titik: Baturaja (Sumatera Selatan), Amborawang (Kutai Kartanegara), dan Makalisung (Minahasa).
Latihan bersama ini kemudian dilanjutkan pada November di Surabaya di bawah program Cooperation Afloat Readiness and Training (CARAT) yang mengkhususkan pelatihan matra laut. Garuda Shield diselenggarakan lagi pada Agustus ini. Kedubes AS di Jakarta menyebutkan, latihan militer bersama Indonesia-AS dimaksudkan untuk ”mendukung kawasan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka”.
Dari sini ada dua hal yang menarik untuk dicermati, yaitu diplomasi ekonomi yang dijalankan Presiden Jokowi ke tiga negara Asia Timur (China, Jepang, Korsel), dan latihan bersama militer Indonesia-AS.
Kerja sama ekonomi dan militer sangat jamak dalam diplomasi dan hubungan luar negeri.
Kerja sama ekonomi dan militer sangat jamak dalam diplomasi dan hubungan luar negeri. Namun, ia akan bermakna lain ketika kedua jenis diplomasi dilakukan saat terjadi dinamika politik tertentu di kawasan.
Pengamat hampir sepakat, dalam dekade terakhir ini China menunjukkan sikap agresif dan tegas dalam isu Laut China Selatan (LCS). Bahkan terhadap Indonesia sekalipun, yang jelas memiliki legitimasi hukum internasional dalam hak berdaulatnya di kawasan zona ekonomi eksklusif (ZEE) di Laut Natuna Utara. China pernah melarang Indonesia melakukan pengeboran minyak lepas pantai di kawasan ZEE itu.
Larangan tak digubris Indonesia. Pernah juga terjadi insiden laut antara kapal China dengan Vietnam dan Filipina di sekitar Kepulauan Spratly. Itu semua mengindikasikan agresivitas China di LCS.
Kekuatan pengimbang
Bagaimana sikap Indonesia? Kedekatan ekonomi tak membuat Indonesia rikuh bersikap tegas terhadap China. Apabila sudah menyangkut kedaulatan teritorial, Indonesia tak segan mengatakan tidak, terhadap China sekalipun. China tidak saja agresif dan asertif dalam diplomasi, tetapi juga dalam kehadiran fisik dan militer.
Insiden laut antara China dan Vietnam (Juni 2020) serta Filipina (Maret 2022) menjadi bukti. Insiden kecil seperti ini, jika salah kalkulasi, bisa saja bereskalasi jadi konflik terbuka dengan menggunakan kekuatan militer. Justru itu harus dihindari. Banyak pengamat setuju bahwa LCS membutuhkan balance of power, kekuatan pengimbang, terhadap China.
Adanya kekuatan pengimbang membuat China berpikir dua kali untuk memancing konflik terbuka di kawasan LCS. Sejauh ini hanya AS—dengan armada lautnya yang sudah bercokol sejak lama di Asia Pasifik—yang bisa melakukan perimbangan kekuatan sehingga bisa menekan potensi konflik. Dalam perspektif perimbangan kekuatan inilah latihan militer AS dengan negara anggota ASEAN menemukan relevansinya.
Menekan potensi konflik juga bisa dilakukan melalui diplomasi ekonomi. Salah satu misi diplomasi ekonomi Presiden Jokowi ke Asia Timur ialah menarik investasi. Dipahami bahwa ketiga negara itu berbeda kubu.
China dalam banyak isu geopolitik dekat dengan Rusia. Sementara Jepang dan Korsel secara militer dan politik sangat dekat dengan AS. Walakin, ketiga negara Asia Timur itu berbeda kubu, itu tak membuat Indonesia menjauhi satu di antaranya. Indonesia menjalankan politik luar negeri equal distance, menjaga jarak yang sama terhadap ketiganya. Artinya, jika Indonesia membutuhkan investasi, dan ketiga negara itu berpotensi sebagai investor, pintu terbuka bagi mereka.
Jika investasi mereka digelontorkan ke pulau terluar, termasuk di Natuna dan Laut Natuna Utara, hal itu dapat menekan potensi konflik. Sebab, mana ada negara yang mau berperang di tempat mereka sudah berinvestasi. Memang, kunjungan Presiden Jokowi ke Asia Timur sepertinya sebatas diplomasi ekonomi. Namun, dengan adanya dinamika politik di LCS dan Laut Natuna Utara, sejatinya muhibah itu akan berdampak pula pada upaya menekan potensi konflik dan menjaga kedaulatan teritorial Indonesia.
Darmansjah Djumala,Dewan Pakar BPIP Bidang Strategi Hubungan Luar Negeri, Dosen Hubungan Internasional FISIP Unpad.