Pencabulan sebagai Fakta
Kematangan biologis anak semakin awal, sementara usia menikah semakin terulur. Dengan semakin panjangnya masa biososial remaja, penting pendidikan seks masuk kurikulum sekolah dengan diformat sebagai pendidikan nilai.
Kasus pencabulan akhir-akhir ini marak diberitakan datang dari mana-mana, terkesan kasusnya meningkat. Satu hal yang pasti, faktanya tentu lebih dari itu, hanya tidak menjadi berita, apalagi jika kejadiannya di ujung desa, karena tak tersentuh berita. Kasus inses, misal antarsaudara kandung, ayah-ibu dengan anak, sudah ada sejak dahulu kala, rentan terjadi dalam keluarga yang kamar tidurnya hanya satu.
Sudah lama dilaporkan anak sekarang di dunia lekas matang secara seksual karena dua hal. Peran gizi cepat mematangkan seks biologis anak dan lingkungan sosial yang semakin sensual memacunya. Terlebih sekarang, dari kamarnya remaja bisa menyaksikan adegan seks orang dewasa dari media maya. Sudah matang biologis seksnya, tetapi belum boleh melakukannya.
Biososial
Masa biososial merupakan masa sudah bisa melakukan hubungan seksual, tetapi belum boleh melakukannya. Hal ini yang menjadikan peran pendidikan seks semakin perlu masuk kurikulum. Mengapa? Oleh karena kematangan biologis anak lebih awal, sedangkan usia menikah generasi XYZ semakin terulur. Kondisi itu berakibat masa biososial anak sekarang semakin panjang.
Kalau rata-rata anak sekarang menikah di usia 25 tahun, sedang seksnya sudah matang sejak usia 12 tahun, ada 13 tahun masa biososialnya, atau 676 malam minggu masa menunggu boleh melakukan hubungan seksual. Pada masa biososial itu berisiko terjadi ulah seks yang bermacam-macam.
Baca juga: Memahami Pubertas pada Remaja
Makin panjangnya masa biososial remaja sekarang yang membuat pergaulan seks anak sudah mirip yang dilakukan ayah-ibunya. Tahun 1985 ketika Kongres Seksualitas diselenggarakan di Bali, ada laporan tahun-tahun itu sejumlah remaja putri di sebuah sekolah di Bali mengaku sudah tidak virgin. Ini gejala bahwa pergaulan seks sudah sedemikian bebasnya.
Sekitar tahun 2000 saya diundang menyampaikan pendidikan seks di sejumlah sekolah swasta di Jakarta. Saya terkejut, dari kuesioner kepada peserta didik yang saya ajukan, muncul respons beberapa yang menganggap tidak virgin bukan masalah. Ini gejala lain mengindikasikan sikap, boleh (permisif) melakukan hubungan seksual sebelum menikah.
Hal lain, pertanyaan yang muncul bukan lagi pertanyaan anak lugu, terlebih pertanyaan soal praktik seks. Oleh karena bukan itu hakiki materi pendidikan seks, saya tidak menanggapi pertanyaan soal hubungan seks. Itu berarti anak-anak sekolah pada masa itu, sekurangnya di sekolah tempat saya menyampaikan pendidikan seks, sudah melampaui yang saya kira. Bukan mustahil di antara mereka sudah ada praktik seks.
Pendidikan seks
Pendidikan seks atau apa pun sebutannya, kerisauan publik terhadapnya, menjadi benar jika diberikan oleh pihak yang tidak berkompeten. Hakikinya, pendidikan seks itu diformat sebagai pendidikan nilai, misal, bagaimana pacaran yang sehat, bagaimana etis pergaulan dengan lawan jenis, tujuannya supaya selamat dalam pengertian tidak sampai menjadi hamil, atau sampai menghamili.
Pengayaan bekal wawasan seks dan seksualitas semacam itu yang semua anak butuhkan agar tidak sampai menanggung akibat, misalnya, kawin muda atau terpaksa menjadi janda usia belia hanya karena ketidaktahuan (ignorancy) seks dan seksualitas. Ada pertanyaan lugu remaja, selama saya mengasuh rubrik seks di majalah HAI tahun 1980-an, ”Dok, apakah kalau melakukan pakai celana dalam masih bisa hamil?” Kalau saja pernah diberi tahu ukuran spermatozoa jauh lebih kecil dari tenunan pakaian dalam, tentu tidak ada kasus yang coba-coba nekat melakukannya.
Hakikinya, pendidikan seks itu diformat sebagai pendidikan nilai, misal, bagaimana pacaran yang sehat, bagaimana etis pergaulan dengan lawan jenis.
Pendidikan seks juga membekali unsur biologis organ reproduksi bagaimana kehamilan memungkinkan terjadi, upaya bagaimana supaya yang belum boleh dilakukan tidak sampai terjadi, terbebas dari risiko tertular penyakit kelamin, dan mengapa perkawinan harus ditunda sampai rahim cukup matang, serta perlu siap jiwa dan sosial untuk menjadi ibu. Tanpa bekal selengkap itu, anak tersesat memasuki belantara seks dan seksualitas yang kian seronok di hadapan mereka.
Kalau Gus Dur pernah mengusulkan pendidikan seks masuk kurikulum, lalu batal direalisasi, itu karena ada suara seorang dirjen yang masih beranggapan keliru bahwa pendidikan seks bikin anak jadi mau mencoba seks atau knowing is doing, karena tahu lalu menjadi mau. Sejatinya tidaklah begitu. Sekali lagi, apabila pendidikan seks diberikan oleh pihak yang berkompeten, yang tahu bahwa pendidikan seks yang benar itu bukan praktik seks seperti konseling perkawinan, pergaulan seksual anak akan sehat.
Beberapa laporan ihwal perlunya pendidikan seks mencatat, ada celah kosong ketika remaja tidak dibekali hal ihwal biologis seks dan tata nilai pergaulan dengan lawan jenis sehingga anak tidak harus telanjur menjadi korban seks setelah biologisnya sudah matang.
Pergumulan remaja sekarang bagaimana menahan diri dari ”sudah bisa tetapi belum boleh” yang perlu disiasati supaya hari depan mereka tidak runtuh. Banyak catatan ihwal alpanya pendidikan seks di sejumlah negara menunjukkan, remajanya salah jalan akibat memikul beban matang biologis.
Remaja kehilangan hari depan, misal, putus sekolah gara-gara telanjur hamil atau menghadapi kendala hidup akibat sudah tidak perawan atau menanggung menyandang janda pada usia belia, selain kemungkinan telanjur tertular penyakit kelamin. Tragisnya itu terjadi sebagai akibat dibiarkan pada posisi ketidaktahuan atau ignorancy mereka ihwal seks dan seksualitas.
Konferensi Kependudukan Dunia di Mesir tahun 1985 meratifikasi bahwa memberi tahu seks hak setiap remaja. Kesalahan negara yang menafikan perlunya pendidikan seks dianggap sebagai skandal juga, tak ubahnya kelalaian orang yang lebih tua, kesalahan pendidik, kesalahan pembiaran anak memasuki rimba seksualitas dunia tanpa dipersenjatai bekal pengetahuan serta tata nilai seks secara benar.
Baca juga: Pendidikan Seksual Melalui Konten Kreatif
Betapa rentannya remaja kita. Bahkan, anak masih SD generasi XYZ yang cenderung pubertas prematur, berhadapan dengan dunia seksualitas di mana-mana yang sudah semakin polosnya. Adegan seks yang belum waktunya mereka saksikan, dengan mudah bisa dilihatnya dari Youtube, tanpa orangtua menyadarinya. Tahu-tahu anak sudah kecanduan masturbasi, tak tahan berulang kali menyaksikan adegan seks, bahkan menjadi kasus predator seks terhadap tetangga, atau saudara kandungnya sendiri, untuk pelepasan.
Saya mengamati kehidupan remaja pada masa tahun 1980-an, misal di Desa Dukuhseti Jepara, film misbar yang tanpa disensor itu penuh adegan syur yang ditonton segala umur. Laporan Sarlito Wirawan Sarwono juga mencatat hal yang sama. Remaja desa di Jawa Tengah waktu itu sudah matang seks sebelum waktunya. Ingat perbuatan pencabulan atau kekerasan seksual terpicu sehabis menonton adegan seks.
Seks itu netral
Bahwa seks itu netral dan sesuatu yang diluhurkan, tergantung orang menyikapinya. Pentingnya selain unsur biologi, memasukkan pula tata nilai etika, agama, tata krama, serta psikologi yang mempersiapkan anak memasuki dunia seksualitas yang sudah sangat telanjang di dunia maya, atau mungkin di dunia hiburan yang bisa gampang dimasukinya. Anak menjadi matang pengalaman seks jauh hari sebelum malam pengantinnya. Dan, itu yang banyak terjadi sekarang.
Kondisi dunia sekarang ini yang semakin menggoda siapa pun, bukan saja usia remaja. Kalau fakta pencabulan dan kekerasan seks bisa dilakukan oleh siapa pun, bahkan oleh pihak yang seharusnya menjadi teladan, itulah juga bukti bahwa seks sejatinya hal yang manusiawi. Bedanya hanya seberapa kuat masing-masing super ego mengendalikan sebagai naluri dasar manusia, dan apakah masih ego mengaktualisasikan naluri kebinatangan.
Dorongan seks sama dirasakan apa pun pangkat, jabatan, kedudukan seseorang. Yang membedakan seberapa kuat ketahanan super ego, yakni internalisasi nilai etika, agama, norma sosial, mampu mengeremnya, sehingga yang tidak boleh itu tidak sampai terjadi.
Pentingnya selain unsur biologi, memasukkan pula tata nilai etika, agama, tata krama, serta psikologi yang mempersiapkan anak memasuki dunia seksualitas yang sudah sangat telanjang di dunia maya.
Kisah ibarat sepasang manusia, betapapun religiusnya, apabila berada berdua terdampar di pulau, menjadi batu uji, bukti ketangguhan super egonya jika mampu tetap teguh tidak sampai melakukannya. Namun, dianggap masih manusiawi kalau terjadi juga karena faktanya, pemuka agama apa pun, punya kasus itu.
Dari dahulu naluri seks manusia itu tidak berubah, terlihat dari hadirnya gundik, selir, poligami, affair, dan aneka kemesuman, saking dahsyatnya tabiat dorongan seks dan seksualitas manusia. Dorongan seks bisa seliar binatang, kalau ketahanan super egonya, iman dan nilai, serta normanya runtuh, yang bisa saja gugur lantaran kondisi, dan situasi memberikan peluang.
Bahkan, seorang presiden pun, misal, tak bisa tahan melakukannya di ruang kerja Gedung Bundar, atau baru-baru ini ada anggota DPR dilaporkan melakukan seks tidak senonoh di beberapa kota. Bagi seks, selama peluang dan kesempatan itu ada, tak ubahnya harimau diasongkan daging. Bahkan, mahadahsyatnya seks, ayah atau ibu bisa saja menjadi predator seks bagi anak-anaknya sendiri, dan itu bukan cerita fiktif.
Ada laporan bagus dari Denmark, beberapa dasawarsa lalu. Kalau mau meredam pencabulan, buka keran saluran pelepasan seks masyarakat. Ketika negara mengekang pelacuran, angka kekerasan seksual, perncabulan, dan pemerkosaan meningkat. Inilah dilematisnya ketika negara tidak merestui, sedang iming-iming seks dunia di masyarakat makin seronok. Film, video, Tiktok, dengan mudah menggerayangi setiap penonton lintas usia, latar belakang pendidikan, pangkat, status sosial, batasan keberadaban, untuk dengan gampang tergugah seksnya. Bisa jadi, iman saja belum tentu perkasa menahannya.
Pengakuan predator seks yang tertangkap melakukan perbuatan pencabulan atau kekerasan seksual, oleh karena tak tahan sehabis menonton adegan seks. Kalau kesempatan ada, ayah mencabuli putrinya, kakak mencabuli adiknya, atau ada berita ibu mencabuli anak lelakinya, hal yang masuk akal mungkin saja terjadi. Sesuatu yang tak patut terjadi di kalangan orang beradab, nyatanya banyak terjadi juga.
Baca juga: Isu Strategis G20, Penghapusan Kekerasan Seksual terhadap Perempuan dan Anak
Berapa pun berat hukuman, susah untuk membuat predator seks jera karena dorongan seks lebih dari kekuatan seribu kuda. Manakala peluang di depan mata dan kekangan super ego jebol, predator seks menemukan pelepasannya. Apalagi kalau iman lunglai dan pengetahuan seksualitas nihil, sukar mengharapkan kasus pencabulan bisa sirna.
Sama dengan pikiran dereistiknya (dereistic though) untuk menghapus pelacuran dari muka bumi. Apalagi kalau masyarakat di ujung sana belum tersentuh berita dan informasi hukum, orang terhormat saja yang tahu segalanya, masih teperdaya juga oleh godaan seks pribadinya.
Handrawan Nadesul, Dokter; Motivator Kesehatan