Stigmatisasi menjadi penghalang mendasar bagi transpuan untuk hidup normal dan berkembang sebagai manusia. Penerimaan keluarga dan lingkungan krusial.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Liputan tematis Kompas yang dipublikasikan sejak Senin (25/7/2022) mengungkapkan fakta bahwa transpuan ada di sekitar kita sejak lama. Namun, dari dulu hingga sekarang, mereka berjuang agar bisa diterima masyarakat, lingkungan, bahkan keluarganya sendiri.
”Cengkeraman” stigmatisasi membuat transpuan terdiskriminasi. Stigma itu di antaranya anggapan bahwa transpuan simbol aib dan pembawa bencana. Tak heran, hak-hak mereka sebagai warga negara banyak dilanggar. Transpuan pun kian tersisih di negerinya sendiri (Kompas, 25 Juli 2022).
Data survei Litbang Kompas menyebutkan, 47,4 persen responden bersikap tidak atau kurang menerima transpuan di keluarganya, sementara yang menerima 52,6 persen. Terdata pula, 55,3 responden tidak atau kurang menerima jika ada tetangga atau rekan kerja yang transpuan, menyisakan 44,7 persen menerima.
Dari data ini terungkap, persentase penolakan lingkungan lebih besar daripada keluarga.
Penerimaan keluarga terhadap waria pernah diteliti Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) pada 2018. Yang disurvei, 96 transpuan di delapan provinsi, yaitu Aceh, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Jawa Barat, dan DI Yogyakarta.
Dari survei itu didapati, 65 persen responden mengaku diterima keluarga. Namun, masih ada 18 persen responden yang tidak diterima. Khusus bagi keluarga yang menerima, terdapat dikotomi dalam menyikapi cara transpuan berpakaian perempuan dalam kesehariannya. Hasil survei mengungkap, 84 persen transpuan mengaku diterima di keluarga dengan berpakaian selayaknya perempuan. Sisanya, sekitar 16 persen transpuan lainnya, dilarang berbusana perempuan.
Minimnya penerimaan keluarga dan masyarakat di sekitar mereka membuat banyak transpuan muda putus sekolah dan merantau ke kota-kota besar dengan menumpang hidup pada transpuan lebih senior. Setelah mendapat pekerjaan, transpuan muda itu akan pindah atau mengontrak sendiri.
Bermodal nekat dan tanpa bekal pendidikan formal atau keterampilan yang memadai, mereka hanya bisa mengakses sektor kerja informal, seperti pengamen jalanan, pegawai salon, dan pekerja seks. Berbagai pekerjaan itu jadi alternatif seiring sempitnya berbagai peluang di sektor formal.
Penerimaan publik, terutama keluarga, menjadi kunci bagi kehidupan transpuan. Dalam lingkup terkecil, penerimaan oleh keluarga akan menumbuhkan kepercayaan diri transpuan untuk bisa hidup apa adanya, mencegah mereka tersisih, termasuk tidak mendapatkan akses pendidikan.
Berbagai upaya dilakukan komunitas transpuan di sejumlah kota, seperti di Yogyakarta, Depok, Surabaya, dan beberapa kota lain. Pendampingan dan pemberdayaan itu mayoritas dilakukan kalangan transpuan sendiri atau organisasi sosial yang peduli. Perlu memperluas penerimaan transpuan demi meminimalkan aneka problem kemudian.