Berbagai masalah muncul atas pengelolaan guru oleh pemerintah daerah. Sudah saatnya pemerintah menata kembali pengelolaan guru, dengan menarik kembali pengelolaan guru ke pusat.
Oleh
HERMANTO PURBA
·6 menit baca
Di pengujung tahun 2019, Presiden Joko Widodo mewacanakan akan menarik guru ke pusat. Guru SD dan SMP yang saat ini dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota serta guru SMA yang berada di bawah pemerintah provinsi akan dikembalikan ke pusat. Tujuannya satu, untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Namun, entah kenapa, hingga hampir 3 tahun berselang, hal tersebut belum juga terealisasi.
Wacana Presiden Jokowi itu didukung para pemerhati pendidikan dan beberapa organisasi profesi guru. Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dan Ikatan Guru Indonesia (IGI), misalnya, menyambut positif usulan presiden tersebut. Bahkan, jauh-jauh hari sebelum Jokowi melemparkan wacana itu ke publik, kedua organisasi guru itu telah terlebih dahulu menyuarakan hal tersebut dengan sederet alasan yang mereka sampaikan.
Artinya apa? Bahwa terlepas dari hal-hal baik atas pengelolaan guru oleh pemerintah daerah selama ini, ada pula hal-hal tidak baiknya. Pelibatan guru pada saat perhelatan pemilihan kepala daerah (pilkada) mungkin menjadi salah satu dampak paling buruk yang dialami guru (baca: guru ASN). Setelah pilkada, selalu saja ada guru yang menjadi korban, seperti dimutasi tanpa alasan yang jelas serta terjadi rotasi dan pergeseran kepala sekolah secara masif.
Menyedihkan memang. Pada pilkada yang lalu, di daerah saya, spanduk bertuliskan ”ASN Harus Netral” dipampang di seluruh sekolah. Namun, faktanya, guru ASN justru dituntut tidak netral. Guru-guru dititipi pesan bernada memaksa oleh kepala-kepala sekolah agar mendukung dan memilih calon tertentu. Guru tentu saja mengangguk-angguk meng-iya-kan pesan itu, sekalipun mungkin hati mereka meronta.
Di banyak daerah, ketika pilkada dimenangi calon petahana, acap terdengar kepala sekolah atau guru yang terindikasi tidak memilih atau mendukung calon petahana diganjar ”hukuman”. Ada yang dipindahtugaskan ke sekolah-sekolah kecil atau ke sekolah-sekolah di tempat terpencil atau ke sekolah-sekolah yang jauh dari rumah tempat tinggal mereka, bahkan tidak sedikit pula kepala sekolah yang diturunkan jabatannya menjadi guru.
Sebaliknya, mereka yang telah berjerih lelah membantu pemenangan calon petahana, alih-alih diberi sanksi karena telah melanggar undang-undang, justru mendapat reward berupa kenaikan jabatan. Situasi semacam ini tentu menimbulkan keresahan bagi guru. Mereka yang semestinya fokus kepada tugas mengajar justru direpotkan dengan terpaksa melibatkan diri dalam urusan politik praktis yang sebenarnya ”haram” dilakukan.
Hal tersebut tentu berefek kepada menurunnya kualitas pendidikan di sekolah. Sebab, guru tidak lagi merasa nyaman melaksanakan tugasnya. Pendidikan tidak lagi diselenggarakan berdasarkan prinsip-prinsip profesionalitas. Bau amis politik justru kian kentara. Jabatan kepala sekolah diperjualbelikan, atau diisi dengan ”orang-orangnya” pejabat daerah. Kompetensi dan integritas tidak lagi menjadi acuan, bahkan keduanya kerap dibuang ke tong sampah.
Pengaruh lainnya adalah mudahnya guru-guru pindah tempat tugas. Ada sekolah-sekolah yang dibangun seolah-olah hanya sebagai tempat penampungan sementara guru-guru ASN yang baru saja lulus. Tak menunggu lama, guru-guru itu lantas pindah tempat tugas. Sialnya, yang menempatkan mereka adalah pemerintah daerah dan pemerintah daerah pula yang mengizinkan mereka pindah. Kebijakan kontradiktif semacam itu acap terjadi di daerah.
Bau amis politik justru kian kentara. Jabatan kepala sekolah diperjualbelikan atau diisi dengan ”orang-orangnya ” pejabat daerah.
Maraknya praktik pungutan liar (pungli) di banyak daerah juga menjadi satu hal yang paling sering dikeluhkan guru. Namun, di sisi lain, guru tidak berdaya menolaknya. Sebab, dengan menolak, mereka akan menemukan banyak kesulitan. Maka, mau tidak mau, guru terpaksa ikut dalam permainan patgulipatyang sudah menjadi semacam tradisi itu.
Seorang teman bercerita, ketika akan mengambil surat keputusan (SK) kenaikan pangkat golongan IV/a, ia harus menyetorkan uang sebesar Rp 1 juta. Teman lain berkisah, dimintai uang Rp 500.000 ketika hendak mengurus kenaikan pangkat ke III/c. Kisah yang kurang lebih sama dialami oleh teman-teman yang baru saja lulus seleksi guru pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Mereka dipaksa memberikan uang sebesar Rp 500.000 agar SK mereka segera terbit.
Ada pula guru honorer yang harus membayar Rp 1 juta agar nomor unik pendidik dan tenaga kependidikan (NUPTK)-nya keluar. Sementara si guru honorer tersebut hanya digaji sebesar ratusan ribu rupiah per bulan. Dengan gaji sekecil itu, segala urusan administrasi mereka semestinya dipermudah. Yang terjadi justru sebaliknya, mereka malah dipalak dengan harus memberikan sejumlah uang untuk sesuatu yang sesungguhnya merupakan hak mereka.
Sebenarnya, daerah dapat mempermudah urusan guru dengan mengubah tata cara berurusan, dari yang sebelumnya harus bertatap muka menjadi daring. Hampir seluruh urusan guru dapat dilakukan secara daring. Katakanlah urusan pengusulan penetapan angka kredit, kenaikan pangkat, gaji berkala, penerbitan NUPTK, pemberkasan pencairan tunjangan profesi guru, dan berbagai urusan guru lainnya dapat dikerjakan secara daring.
Lalu, kenapa, ketika saat ini dunia sedang beralih ke dunia digital, sebagian besar daerah masih bertahan dengan cara-cara konvensional yang justru memperlambat proses birokrasi? Apakah karena tidak mampu? Menurut saya tidak. Mungkin saja alasannya faktor fulustadi. Ketika segala urusan guru, misalnya, dikerjakan secara daring, berurusan secara tatap muka akan berkurang drastis sehingga uang pungli tidak akan mengalir lagi.
Banyak pula daerah yang tidak memberi tunjangan bagi guru sebesar di DKI, bahkan tidak memberi sama sekali.
Selain masalah-masalah tersebut di atas, masih ada masalah lain yang dihadapi guru. Terkait masalah kesejahteraan, misalnya. Di sebagian daerah, pemerintah daerah menganggarkan dana yang cukup besar untuk membayar tunjangan pegawai di daerahnya. Sebutlah di DKI Jakarta, guru-gurunya menerima tunjangan yang cukup besar. Namun, banyak pula daerah yang tidak memberi tunjangan bagi guru sebesar di DKI, bahkan tidak memberi sama sekali.
Belum lagi dalam hal peningkatan kemampuan pedagogis guru. Ada daerah yang mampu memberikan pelatihan berkualitas secara berkala kepada guru-gurunya. Di daerah lain, bahkan ada guru yang selama bertahun-tahun tidak pernah di-diklat (dididik dan dilatih). Melihat kenyataan itu, kita segera dapat membayangkan ketimpangan kualitas pendidikan antardaerah.
Becermin dari berbagai masalah yang muncul atas pengelolaan guru oleh pemerintah daerah, sudah saatnya pemerintah menata kembali pengelolaan para pembangun insan cendekia itu. Menarik guru kembali ke pusat, menurut saya, menjadi salah satu opsi terbaik yang dapat dilakukan pemerintah. Sebab, tidaklah terlalu sulit untuk melaksanakannya. Hanya menggeser anggaran saja. Anggaran yang sebelumnya dikelola daerah digeser ke pusat.
Ketika guru ditarik ke pusat, pelibatan guru pada saat pilkada dapat diminimalisasi. Karena bupati, wali kota, atau gubernur tidak lagi menjadi atasan guru. Sehingga mereka dapat menolak secara tegas ajakan-ajakan untuk mendukung kandidat tertentu. Dengan demikian, guru akan merasa nyaman melaksanakan tugasnya. Mereka tidak lagi khawatir akan dimutasi, atau kepala-kepala sekolah tidak akan takut lagi akan kehilangan jabatan.
Urusan guru juga akan dapat dipermudah dengan mendigitalisasi proses birokrasi guru. Pemerintah pusat memiliki sumber daya yang mumpuni untuk mewujudkan hal tersebut. Pun tunjangan guru akan sama di seluruh pelosok negeri. Sehingga tidak ada lagi kecemburuan antarguru. Satu hal lagi yang tidak kalah penting, pemerintah pusat akan lebih leluasa melaksanakan pemerataan guru. Sehingga tidak lagi terdengar ada daerah yang kekurangan guru, dan sebaliknya ada daerah yang berlebih.
Hermanto Purba, Guru Bahasa Inggris di SMP N 2 Pakkat Humbang Hasundutan; Calon Guru Penggerak