Kasus mafia tanah terus terdengar. Haruskah kita menangkapi begitu banyak oknum pertanahan? Ataukah, lebih baik menerapkan teknologi blockchain untuk urusan dokumen pertanahan?
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Nyaris 20 tahun lalu, LBH Jakarta pernah membela korban mafia tanah di Jakarta. Akar persoalannya adalah sertifikat ganda yang memusingkan kepala.
Nyaris semua upaya dilakukan. Upaya hukum telah sampai ke Mahkamah Agung. Semua pihak disurati, didekati, dan dimintakan bantuan. Mungkin, hanya Tuhan saja yang belum disurati. Namun, penyelesaian kasus itu tetap tidak mudah.
Mafia tanah memang silih berganti membuat masalah di negeri ini. Tajuk rencana Kompas, Selasa, 2 Agustus 1977 pun berjudul: Mafia Tanah Dll. Tajuk rencana itu ini mengurai tentang tanah rakyat yang dikuasai oleh perusahaan secara berlebihan. Sementara proses yang tidak selalu dilakukan menurut hukum telah menimbulkan masalah sosial.
Berselang lebih dari satu dekade, tepatnya Kamis, 25 Februari 1988, Kompas juga melaporkan kepolisian telah menggulung pemalsu sertifikat tanah di Bekasi. Dua tersangka pemalsu merupakan oknum dari Kantor Agraria Bekasi.
Minggu lalu, setelah puluhan tahun berlalu, kepolisian kembali mengungkap dugaan keterlibatan pejabat Badan Pertanahan Nasional dalam empat kasus mafia tanah di Jakarta dan Bekasi. Sepuluh pegawai BPN bahkan ditangkap.
Kita apresiasi langkah kepolisian itu. Walau kita berharap kepolisian jangan hanya cepat melangkah pada kasus yang melibatkan tokoh publik seperti eks pejabat atau artis. Kita berharap semua kasus pertanahan dapat cepat diselesaikan.
Berdasarkan Laporan Tahunan Ombudsman RI 2021, diketahui pula bahwa dari sisi substansi, bidang agraria di urutan tertinggi dengan 1.227 laporan atau 17,08 persen dari semua laporan yang diterima Ombudsman. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional juga menjadi instansi kedua terbanyak yang dilaporkan masyarakat ke lembaga itu.
Mencermati modus operasi mafia tanah, kembali diingatkan bahwa salah satu solusinya adalah mempercepat digitalisasi dokumen pertanahan yang telah dijanjikan pemerintah. Sertifikat berbentuk fisik kertas jelas mudah dimanipulasi. Teknologi blockchain atau blok rantai kiranya dapat dipelajari untuk memutus mata rantai persoalan dokumen pertanahan yang terus terjadi walau zaman telah berganti.
Dari salah satu kasus yang sedang diusut, ambil contoh, tersangka ditengarai mengubah nama pendaftar hak Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap PTSL dengan cairan pemutih pakaian, kayu kecil yang dililit tisu atau kapas pembersih telinga. Setelah dihapus, sertifikat itu dengan begitu sederhananya ditimpa dengan nama pihak lain.
Tanpa teknologi, tidak mudah memutus rantai pemalsuan semacam itu. Apakah pemidanaan pelaku juga mampu menghadirkan efek jera? Swedia beberapa tahun terakhir ini, telah mencoba menerapkan rantai blok di sektor agraria.
Bila media seperti Kompas saja telah mencoba mengeksplorasi rantai blok untuk memperkenalkan non-fungible token (NFT) arsip Kompas. Mengapa pemerintah tidak mengeksplorasi rantai blok untuk urusan dokumen pertanahan?