Gagasan transformasi digital dan transisi energi berkelanjutan yang digaungkan dalam Presidensi Indonesia di G20 berelevansi kuat dengan upaya untuk menjembatani kesenjangan kapasitas manufaktur di sejumlah negara.
Oleh
RIZA NOER ARFANI
·5 menit baca
Apa makna Presidensi Indonesia di Forum G20 bagi industri kita? Bagaimana tiga isu prioritas yang meliputi arsitektur kesehatan global, transformasi digital, dan transisi energi berkelanjutan perlu dilihat sebagai bagian dari upaya untuk mentranformasi industri kita secara menyeluruh, terutama dalam konteks pemulihan ekonomi pasca-pandemi?
Sejak diselenggarakan untuk pertama kalinya pada 2008, berbagai komunike yang dihasilkan dalam forum beranggotakan 20 negara dengan ekonomi terkemuka ini menjadi rujukan bagi para pengambil kebijakan, khususnya di sektor ekonomi makro dan keuangan. Ini berlaku tidak hanya pada tingkat global, tetapi juga pada ranah domestik. Dan inilah yang menjelaskan mengapa setelah krisis keuangan global 2008, mitigasi untuk menangani dampak lanjutan dari krisis finansial 2008 tersebut lebih terkoordinasi sehingga ancaman resesi global yang berkepanjangan relatif bisa dihindarkan.
Hingga akhirnya, pada 2020 dan 2021 ketika dampak pandemi Covid-19 tersebar nyaris secara merata di seluruh dunia, ancaman resesi global itu menjadi semakin nyata. Dan kini, memasuki kuartal II-2022 senyampang dengan belarut-larutnya krisis akibat perang di Ukraina, ancaman resesi global kembali muncul meskipun ada optimisme di awal tahun terhadap meredanya ancaman kesehatan akibat Covid-19.
Sepanjang penanganan pandemi yang kita ikuti, forum G20 sekali lagi menjadi katalis penting bagi proses pemulihan ekonomi pada tingkat global. Komunike para pemimpin G20 di bawah Presidensi Arab Saudi pada tahun 2020 menavigasi daya tahan pemulihan ekonomi global dengan menekankan aspek inklusivitasnya.
Tahun lalu, ketika presidensi dipegang oleh Italia, komitmen itu ditegaskan dalam konteks pengembangan skema kerja sama multilateral untuk pemulihan ekonomi global, yaitu khususnya untuk mengatasi ketimpangan yang dialami oleh negara-negara dan kelompok-kelompok yang paling rentan seperti negara-negara dengan capaian vaksinasi yang masih rendah, kalangan perempuan, anak muda, pekerja informal dan berketrampilan rendah.
Ketika Indonesia memulai presidensinya, upaya menavigasi daya tahan ekonomi global melalui forum G20 ini diarahkan kepada sektor-sektor ekonomi yang diyakini sejalan dengan proses pemulihan ekonomi pasca-pandemi sembari mengambil pelajaran penting darinya. Pelajaran terpentingnya tentu saja diambil dari pilar kesehatan, yaitu bagaimana merancang arsitektur kesehatan global yang kompatibel dengan model pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Oleh karena itu, pelajaran penting lainnya datang dari keyakinan bahwa model pertumbuhan semacam itu perlu sejalan dengan praktik-praktik kenormalan baru semasa pandemi berlangsung. Dua sektor ekonomi yang paling menonjol adalah dunia digital dan energi yang secara potensial menawarkan transformasi menuju sistem ekonomi yang lebih efisien dan transisi ke sumber-sumber energi yang terbarukan.
Pertanyaannya, dengan gagasan semacam itu, bagaimana memastikan bahwa ketimpangan atau kesenjangan ekonomi antarnegara, antarkelompok masyarakat, dan antarsektor dapat teratasi? Bagaimana ketiga isu prioritas—yang dicanangkan di bawah kepemimpinan Indonesia di forum G20 tahun ini—dapat membantunya?
Bagaimana memastikan bahwa ketimpangan atau kesenjangan ekonomi antarnegara, antarkelompok masyarakat, dan antarsektor dapat teratasi?
Ketimpangan struktural
Terdapat berbagai ketimpangan struktural yang kita kenal. Namun, proses industrialisasi yang timpang adalah yang paling menonjol, padahal nilai tambah dan efek spill-over-nya ke sektor-sektor lain menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi sebuah negara. Ini berlaku pada level global antar-negara, tetapi juga pada ranah domestik antar-sektor. Meskipun Indonesia bersama sejumlah negara sedang berkembang lain sering kali dikategorikan sebagai NICs (Newly Industrialized Countries), ketimpangan struktural yang dihadapi negeri-negeri ini relatif seragam, yaitu dalam bentuk keterbatasan kapasitas pengolahan atau kemampuan manufaktur.
Secara rerata, dalam 40 tahun terakhir, kelompok negara-negara ini mencatatkan trend andil MVA (Manufacturing Value Added) yang meningkat terhadap GDP (Gross Domestic Product) Dunia (UNIDO 2016). Meskipun demikian, secara strukutral, mereka berhadapan dengan persoalan-persoalan transformasi industrial untuk peningkatan produktivitas, diversifikasi aktivitas produksi, dan penguatan ekspor produk setengah jadi atau jadi yang bernilai tambah tinggi pada sektor atau komoditas andalan (UNCTAD 2014).
Masalah-masalah struktural itu bersumber, antara lain, pada lima persoalan. Pertama, semakin mendalamnya praktik rantai pasok dan nilai tambah global/regional yang semakin menekan daya saing para pelaku industri domestik. Kedua, terbatasnya akses pada pengetahuan dan teknologi. Ketiga, semakin meluasnya dampak dan risiko dari perubahan iklim. Keempat, meningkatnya angka pengagguran dalam sektor manufaktur. Kelima, serta ketegangan sosial yang mengikutinya. (Szirmai dkk 2013)
Jika melihat dimensi dari persoalan-persoalan yang dihadapi tadi, diperlukan perubahan-perubahan yang sifatnya juga struktural. Tranformasi industri yang tengah kita gagas dan rancang, oleh karena itu, memerlukan perubahan industrial setting yang tidak hanya mencakup perubahan aktivitas produksi-distribusi-konsumsi dari hulu ke hilir, dari bahan baku ke produk akhir, tetapi juga memerlukan perubahan cara pandang yang inklusif untuk industrialisasi yang berkelanjutan.
Jika melihat dimensi dari persoalan-persoalan yang dihadapi tadi, diperlukan perubahan-perubahan yang sifatnya juga struktural.
Dalam konteks semacam inilah ketiga isu prioritas Presidensi Indonesia di G20 perlu diletakkan. Kita tidak seharusnya memandang penetapan ketiganya secara given, apa adanya, tanpa reserve, untuk kemudian mengabaikan prinsip-prinsip transformasi industri yang perlu dirancang secara berkelanjutan.
Pada gilirannya, proses pemulihan ekonomi yang berdaya tahan –sebagaimana yang tengah kita gagas dan usahakan melalui Presidensi Indonesia di G20— akan bergantung pada setidaknya dua aspek berikut ini. Pertama, aspek ketahanan kesehatan dan daya dukung lingkungan yang muaranya terdapat pada penerapan prinsip-prinsip keamanan manusia yang non-tradisional.
Sistem kesehatan tradisional yang berorientasi preskriptif dengan sendirinya perlu digeser ke arah yang preventif dengan upaya mitigasi komprehensif untuk mencakup gagasan-gagasan yang mengurangi risiko dan ancaman keamanan manusia dan lingkungan yang non-tradisional, sebagaimana yang kita alami bersama sepanjang dua tahun terakhir ini.
Jauh sebelum pandemi Covid-19 melanda, sektor-sektor industri yang memiliki eksternalitas lingkungan dan kesehatan umumnya telah memperkenalkan praktik pengurangan risiko semacam itu. Dalam bidang kesehatan dan keselamatan publik, kita mengenalinya sebagai pendekatan harm reduction.
Kedua, aspek ketahanan industri yang berkelanjutan untuk menjembatani kesenjangan kapasitas manufaktur, khususnya antara sektor yang mengandalkan teknologi Industri 4.0 dan yang masih bergantung kepada teknologi industri yang konvensional. Gagasan transformasi digital dan transisi energi berkelanjutan yang digaungkan dalam Presidensi Indonesia di G20 memiliki relevansi kuat dengan upaya untuk menjembatani kesenjangan itu.
Lembaga-lembaga yang bergerak di bidang research and development memiliki peran kunci dalam upaya ini, yaitu untuk memperdalam skema n-helix collaboration antar-pemangku kepentingan industrial yang saat ini telah menjadi sesuatu yang jamak dalam proses pengambilan kebijakan industri. Ketika transformasi industrial yang kita rancang hendak mengandalkan prinsip inklusivitas dan berorientasi kepada proses berkelanjutan, maka dengan sendirinya setiap proses pembuatan kebijakan industrinya pun perlu bersandar pada bukti-bukti dan argumen saintifik.
(Riza Noer Arfani, Direktur Pusat Studi Perdagangan Dunia (PSPD) dan Pengajar pada Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada)