Dorongan untuk menaikkan suku bunga BI saat ini belum memiliki justifikasi rasional, justifikasi konstektual, dan justifikasi teoretik. Untuk menaikkan suku bunga acuan, harus dipastikan sinyal inflasi benar-benar jelas.
Oleh
RONNY P SASMITA
·5 menit baca
Inflasi pada Juni 2022 tercatat 0,61 persen dibandingkan bulan sebelumnya (month to month/MTM). Inflasi tahun kalender adalah 3,19 persen. Secara tahunan (year on year/YOY), inflasi Juni 2022 berada di 4,35 persen. Angka tersebut tercatat lebih tinggi dibandingkan pada Mei 2022 yang berada di 3,55 persen sekaligus menjadi yang tertinggi sejak Juni 2017.
Kemudian inflasi inti mencapai 2,63 persen dan inflasi harga barang yang diatur pemerintah 5,33 persen serta yang bergejolak 10,3 persen. Sementara di sisi lain, The Fed sudah lebih dahulu menaikkan suku bunga acuan Amerika (FFR) 75 basis poinbeberapa waktu lalu untuk mereaksi tingginya inflasi di Amerika sejak bulan April lalu.
Torehan tingkat inflasi Indonesia dan kenaikan FFR tersebut dijadikan alasan oleh beberapa pihak untuk mempertanyakan sikap Bank Indonesia (BI) yang masih mempertahankan suku bunga acuan. Diyakini, akan terjadi capital outflow di satu sisi dan pelemahan mata uang di sisi lain. Namun, saya mendukung keputusan BI untuk menunggu sinyal yang lebih jelas lagi, terutama tingkat inflasi inti, walaupun alasan saya tidak terlalu sama dengan BI.
Pertama, inflasi Indonesia secara komparatif masih jauh lebih rendah dibandingkan negara lainya. Kedua, inflasi di Indonesia utamanya bukan disebabkan oleh kelimpahan liquiditas alias bukan karena naik tajamnya jumlah uang beredar yang melebihi permitaan pasar sehingga BI tak harus melakukan pengetatan moneter untuk membendungnya.
Ketiga, nominal produk domestik bruto (PDB) nasional masih terbilang tinggi secara komparatif di satu sisi dan belum overheating karena peningkatan aggregate demand di sisi lain. Ini berarti BI sebaiknya masih mempertahankan kebijakan moneter expansionary sampai sinyal kuat muncul, bukan contractionary yang berpeluang mengganggu raihan pertumbuhan nasional dan dalam jangka panjang berpotensi mengundang stagflasi.
Keempat, sebenarnya real interest rate di pasaran sudah terbilang tinggi. Median suku bunga perbankan yang diberlakukan perbankan nasional sudah jauh di atas inflasi. Lihat saja, bunga deposit rerata 4-5 persen dan suku bunga kredit 8-12-an persen. Jika kita ambil angka medianya, real interest rate di perbankan sudah berada pada kisaran 6-8,5 persen, alias sangat contractionary jika dihadapkan pada nominal PDB nasional yang hanya kisaran 5 persen.
Karena itu, sekalipun memakai pendekatan hukum Taylor (Taylor's law), real interest rate (6-8,5 persen) kita sudah berada di atas inflasi (4 persen) yang membuat kucuran kredit selama beberapa tahun belakangan tak secepat yang diharapkan pemerintah. Jika BI menaikkan suku atas alasan inflasi dan FFR, akan semakin mencekik likuiditas mengalir ke sektor riil, memekarkan sektor finansial, tetapi sangat berpotensi menekan pertumbuhan yang kemudian memperkecil daya serap tenaga kerja.
Kelima, dari sisi nilai tukar (exchange rate) juga belum ada sinyal signifikan untuk pelemahan rupiah, terutama terhadap dollar AS. Inflasi di Amerika jauh lebih tinggi dibandingkan di Indonesia. Dalam kacamata teoretik, misalnya, terutama dari perspektif PPP (purchasing power paritiy) rupiah, justru semestinya rupiah menguat terhadap dollar AS, walaupun teori ini kurang populer dan kurang aplikatif di mata banyak ekonom. Begitu pula dengan suku bunga.
Jika BI menaikkan suku atas alasan inflasi dan FFR, akan semakin mencekik likuiditas mengalir ke sektor riil, memekarkan sektor finansial, tetapi sangat berpotensi menekan pertumbuhan.
Nilai tukar rupiah
Inflasi di Amerika 8 persen dan suku bunga The Fed saat ini 1,75 persen, sementara inflasi di Indonesia 4 persen dan suku bunga 3,5 persen. Artinya, rupiah semestinya bisa diekspektasikan secara teoretik untuk menguat sekitar 2,25 persen terhadap dollar AS, bukan sebaliknya melemah.
Pun katakanlah memakai pendekatan Mundell-Fleming model, misalnya, jika suku bunga domestik lebih rendah daripada suku bunga internasional, akan terjadi capital outflow. Toh sudah jelas terlihat bahwa suku bunga BI masih di atas suku bunga internasional cq The Fed.
Implikasinya, yiel surat utang dan lainya tentu masih akan di atas Amerika. Hanya secara nominal, selisihnya menipis. Akan tetapi, nyatanya, secara riil, selisihnya tetap masih jauh dan belum terlalu layak untuk dikhawatirkan. Karena itulah rupiah tidak terlalu terguncang dan belum ada capital outflow masif setelah The Fed menggerek suku bunga 75 basis poin pada pertengahan bulan lalu.
Lantas bagaimana dengan risiko penipisan likuiditas global akibat kenaikan suku bunga The Fed? Secara teknis, kenaikan suku bunga The Fed sebesar 75 basis poin memiliki arti bahwa rapat dewan gubernur The Fed memerintahkan The Fed New York mengurangi peredaran uang untuk pinjaman antarbank sebanyak 75 basis poin (hal sebaliknya terjadi kalau suku bunga diturunkan). Jadi dari sisi likuiditas, kenaikan suku bunga The Fed memang untuk mengurangi likuiditas di pasar uang Amerika karena salah satu penyebab inflasi tinggi adalah kelebihan uang beredar (money base/money supply).
Di sisi lain, yield surat utang di Amerika, terutama yang bertenor panjang seperti 10 tahun ke atas, tentu akan ikut terkerek naik. Tahun ini US Treasury bond berpotensi merangsek naik sampai 3 persen dan tahun depan maksimum bisa naik sampai 3,5 persen. Secara kasatmata, tentu akan berpengaruh kepada Indonesia yang masih mempertahankan suku bunga BI (7 days reversed repo rate) di angka 3,50.
Namun, urusannya tentu tidak sesederhana itu. Pertama, nyatanya real yield surat utang negara pun sama seperti real interest rate di perbankan yang angkanya jauh di atas suku bunga acuan BI. Kedua, kondisi ekonomi Amerika saat ini berbeda dengan saat Taper Tantrum 2013. Jadi, Amerika hari ini bukanlah tempat repatriasi dana yang bisa mendatangkan cuan besar karena bayang-bayang resesi yang semakin jelas.
Jadi, menurut saya, dorongan untuk menaikkan suku bunga BI saat ini justru belum memiliki justifikasi rasional, justifikasi konstektual, dan justifikasi teoretik. Karena itu, keputusan BI untuk menahan suku bunga perlu didukung.
Menurut hemat saya, selain harus memastikan sinyal inflasi yang benar-benar jelas (crystal clear), BI juga perlu berpatokan pada penyebab inflasi, apakah karena faktor demand-supply ala New Kenyensian atau karena faktor moneter (terlalu banyak uang beredar yang kemudian menekan daya belinya). Namun, lebih dari itu, BI juga semestinya berpatokan kepada nominal PDB yang ada dalam menentukan kebijakan apakah akan expansionary atau contractionary.
Ronny P Sasmita, Analis Senior Indonesia Strategic and Economi Action Institution.