Pertanyaan mendasar yang harus dijawab parpol adalah untuk siapa sesungguhnya koalisi ini dibangun? Untuk memenuhi ambisi kekuasaan ketua umum dan elite partai, pemodal, atau untuk rakyat.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Menghadapi Pemilihan Presiden 2024, partai-partai politik terus menjajaki kemungkinan koalisi. Setiap pasang strategi tidak mau gegabah, salah langkah.
Pemungutan suara untuk memilih presiden dan wakil presiden (wapres) akan dilangsungkan pada 14 Februari 2024. Namun, pendaftaran calon presiden (capres) dan cawapres dimulai 7 Oktober 2023 hingga 14 Oktober 2023, tersisa sekitar 14 bulan lagi. Parpol pun tidak mau terlambat melangkah.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Parpol menyadari penentuan strategi pada Pemilu Presiden (Pilpres) 2024 sangat strategis. Kampanye pilpres yang biasanya jauh bergaung akan berpengaruh besar pada perolehan suara di pemilu legislatif (pileg) yang diadakan bersamaan.
Pada 27 November 2024, akan digelar pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak. Sebanyak 271 kepala daerah, terdiri dari 24 gubernur, 56 wali kota, dan 191 bupati, akan dipilih. Penyelenggaraan pilkada serentak yang berdekatan dengan pelantikan presiden dan parlemen ini pun bisa berdampak.
Jika strategi yang diambil parpol dalam pilpres jitu, tentu membuat posisinya menjadi amat menentukan, baik di pemerintahan maupun parlemen. Jika salah strategi, tak mustahil terpinggirkan atau tergusur dari kancah politik nasional.
Melihat sedemikian strategisnya Pilpres 2024, tidak mengherankan jika partai melakukan penjajakan koalisi sejak dini. Terlebih, partai yang memiliki modal awal cukup besar untuk memenuhi ambang batas pencalonan presiden/wapres, yaitu 20 persen kursi DPR. Parpol tentu ingin menempatkan kadernya sebagai capres atau cawapres agar mendapat efek elektoral (coattail effect) di pileg, tidak sekadar mendukung capres/cawapres dari partai lain. Di sisi lain, parpol harus juga realistis memperhitungkan popularitas, elektabiltas, maupun resistensi terhadap kader yang akan diajukannya.
Parpol yang tak cermat mencalonkan kader sebagai capres/cawapres, alih-alih mendapatkan efek ekor jas, malahan suaranya bisa bablas, terkena split effect. Survei Litbang Kompas menunjukkan, 67,7 persen responden mengakui tetap teguh akan memilih capres yang disukai, meski diusung parpol yang tak disukai. Sekitar 22-24 persen pemilih loyal dari partai ini berpotensi mengalihkan pilihannya ke partai lain, jika partai mengajukan capres yang tidak dikehendaki.
Pertanyaan mendasar yang harus dijawab parpol adalah untuk siapa sesungguhnya koalisi ini dibangun? Untuk memenuhi ambisi kekuasaan ketua umum dan elite partai, pemodal, atau untuk rakyat. Yang jelas tantangan ke depan, periode 2024-2029 tak mudah, jika mencermati yang terjadi di 2019-2024. Pandemi akibat penyakit zoonosis, dampak perubahan iklim, serta perubahan geopolitik dan geoekonomi, selain disrupsi teknologi, diduga akan terus menghantui.
Persaingan antarnegara akan semakin kuat. Bangsa ini memerlukan pemerintahan yang kuat dan solid, berkeadilan, mempersatukan, dan bisa menjawab berbagai tantangan ke depan sehingga bisa menyejahterakan masyarakat di tengah persaingan global yang kian ketat, serta tantangan eksternal yang samakin tidak menentu di era VUCA (volatility, uncertainty, complexity, ambiguity).