Sebuah Catatan Kecil untuk Perdamaian Ukraina
Mencari titik tengah untuk dapat keluar dari alam berpikir terkait penyebab perang yang selama mengemuka merupakan tugas besar. Titik masuk itu dibutuhkan untuk menciptakan peluang mewujudkan perdamaian di Ukraina.

-
Perang adalah kelanjutan dari politik. Demikian adagium klasik yang dikatakan Clausewitz. Karena itu, memahami alam berpikir (state of mind) dari para aktor negara menjadi penting. Mengapa perang terjadi mungkin bisa dijelaskan dari alam berpikir politik para aktor itu.
Dalam kaitan ini, masa depan konflik bersenjata antara Rusia dan Ukraina mungkin dapat dianalisis dari interaksi dan dinamika dua alam yang bertolak belakang.
Alam berpikir pertama, terkait dengan hubungan antara gagasan “perdamaian” dengan perang. Paradigma kedua, keterkaitan antara demokrasi dan keamanan. Jika menggunakan metode berpikir deduktif, interaksi di antara dua paradigma itu dapat membantu memetakan sikap dari beberapa negara terhadap perang di Rusia-Ukraina dalam tiga pengelompokan besar.
Kontestasi narasi
Pengelompokan pertama adalah orang-orang yang diinspirasikan oleh gagasan perdamaian demokratis (democratic peace). Kelompok ini berargumen, penyebab dari konflik bersenjata bemuasal dari negara yang tidak menghormati nilai-nilai demokrasi dan aturan hukum. Perang disebutkan diinisiasi atau berasal dari negara yang tak demokratis dan tak menghormati aturan hukum dan norma-norma internasional.
Perang, dengan kata lain, disebutkan tak ada kaitannya dengan kebutuhan keamanan dari negara. Kalaupun ada, kepentingan-kepentingan untuk kebutuhan keamanan harus tunduk pada prinsip-prinsip demokrasi dan dialog serta negosiasi.
Atas dasar konstruksi berpikir seperti ini, keterlibatan dalam perang memperoleh justifikasi jika salah satu pihak disebut sebagai aktor yang tak demokratis dengan cara membantu pihak yang mengalami agresi militer.
Baca juga: Teka-teki Kekuatan Besar dalam Perang Rusia-Ukraina
Pengelompokan kedua adalah pemikiran yang memadukan gagasan perdamaian dengan pemenuhan kebutuhan keamanan nasional. Gagasan utamanya: perdamaian tak akan tercipta jika meminggirkan pertimbangan keamanan nasional dari negara yang terlibat perang. Pandangan ini memang mengakui bahwa tindakan perang dan intervensi bersenjata adalah suatu tindakan yang tidak baik dan tragedi bagi kemanusiaan.
Namun, pada saat yang sama juga berpandangan bahwa kebutuhan keamanan nasional kerap menjadi sebab mengapa perang terjadi. Karena itu, kelompok negara ini juga bersikap bahwa instrumen agresi militer tak serta-merta bisa disalahkan dan memperoleh justifikasinya ketika digunakan sebagai the last resort untuk memenuhi kebutuhan keamanan nasional itu. Dengan kata lain, perang tak memiliki hubungan jelas dengan gagasan-gagasan demokrasi.
Pengelompokan ketiga adalah alam berpikir yang mengedepankan perang sebagai cara untuk memenuhi kebutuhan keamanan nasional. Dengan kata lain, perang adalah justifikasi untuk mewujudkan perdamaian itu sendiri. Adagium seperti ”berikan perang suatu peluang” (give war a chance) mungkin tepat untuk menunjukkan sikap kelompok negara ini.
Perdamaian ditentukan di medan peperangan, bukan melalui dialog atau negosiasi. Yang kuat dan pemenang akan menentukan syarat-syarat perdamaian, atau sering disebut dengan ungkapan right is might dan sejarah ditulis oleh para pemenang perang.

Aktivis antiperang berdemo di depan Gedung Putih, Washington DC, Amerika Serikat, Kamis (27/1), menyuarakan keprihatinannya atas eskalasi ketegangan di perbatasan Rusia-Ukraina. Aksi yang digagas aliansi antiperang Code Pink ini berharap ketegangan di perbatasan Ukraina-Rusia tidak berlanjut.
Jika kita menggunakan tiga perspektif berpikir yang beragam ini, sikap dari beberapa aktor negara mungkin dapat dipetakan. Amerika Serikat dan beberapa negara sekutunya tampak dipengaruhi oleh keinginan untuk mewujudkan gagasan berpikir tentang perdamaian demokratis. Sikap ini terlihat dari berbagai dukungan untuk membantu Ukraina, baik melalui bantuan persenjataan, ekonomi, maupun kemanusiaan.
Rusia dipandang sebagai negara agresor yang tidak menghormati nilai-nilai demokratis, norma internasional, negosiasi, dan dialog. Di sisi lain, terdapat kelompok negara yang mungkin dapat dikategorikan dalam alam berpikir kedua.
Negara-negara yang mungkin termasuk di dalam alam berpikir kedua ini adalah China dan India. Hal ini tampak, misalnya, dalam posisi mereka dalam pertemuan Dewan Keamanan dan Majelis Umum PBB.
Sementara Rusia tentu saja dapat dikelompokkan dalam alam berpikir ketiga. Dalam kaitan ini, Ukraina tampaknya terperangkap dalam kontestasi di antara narasi-narasi besar dari alam berpikir setiap kelompok itu.
Dalam hal ini ada tiga variabel yang sangat menentukan untuk keluar dari kebuntuan.
Mencari titik tengah
Mencari titik tengah di antara ketiga alam berpikir tersebut tentu saja menjadi tugas besar untuk dapat keluar dari jebakan-jebakan narasi besar, terutama untuk mendapatkan titik masuk sekaligus peluang untuk mewujudkan perdamaian di Ukraina.
Dalam hal ini ada tiga variabel yang sangat menentukan untuk keluar dari kebuntuan. Pertama, variabel geopolitik. Titik penting di sini terkait ambisi geopolitik hegemonik AS. Dapatkah negeri itu dan para sekutunya melenturkan sikapnya untuk tidak memperluas keanggotaan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan tidak akan menghadirkan pangkalan militer di Ukraina?
Kedua, variabel ideologi. Isu utama di sini adalah terkait dengan klaim historis Rusia. Apakah negeri ini mau melepaskan klaim-klaim historisnya, yang pada masa lalu memang menunjukkan bahwa Ukraina adalah bagian dari Rusia.
Pertanyaan mirip dengan ini adalah apakah sikap-sikap ”neokonservatisme” dalam politik luar negeri AS dapat dikompromikan dengan kebutuhan keamanan nasional Rusia.
Ketiga, variabel ekonomi. Dalam variabel ini yang sangat menentukan adalah soal pasokan energi dari Rusia dan rezim sanksi ekonomi yang tengah diterapkan AS dan negara-negara Uni Eropa (UE).
Untuk energi, pertanyaan besarnya adalah apakah ketergantungan negara-negara anggota UE terhadap rantai pasok energi gas dari Rusia akan melemahkan sikap UE atau tidak.
Data yang ada menunjukkan bahwa ketergantungan pasokan gas dari negara-negara anggota UE berbeda-beda terhadap Rusia yang pada gilirannya dapat menciptakan keberagaman terhadap sikap, terhadap tindakan, yang dilakukan Rusia.

Untuk rezim sanksi ekonomi, apakah tindakan-tindakan sanksi justru menjadi tidak produktif dan membuat ketidakpastian ekonomi AS dan global yang semakin tinggi (counter-productive policy). Dalam hal ini peran lembaga-lembaga keuangan internasional, seperti IMF dan Bank Dunia, dalam memberikan penilaian teknokratik terhadap rezim sanksi ekonomi AS dan UE menjadi sangat penting.
Patut dicatat bahwa mandat kelembagaan dari dua institusi besar ini adalah mewujudkan ekonomi dunia yang lebih terbuka. Pertanyaannya di sini: apakah keduanya mampu memberikan argumentasi-argumentasi persuasif terhadap rezim sanksi ekonomi yang tengah dilaksanakan AS dan UE itu dengan menyatakan bahwa instrumen sanksi-sanksi ekonomi jarang sekali efektif.
Rezim sanksi ekonomi sebagian besar memang hanya menciptakan ketidakpastian ekonomi global yang semakin tinggi dan penderitaan bagi lapisan terbesar masyarakat bawah di seluruh dunia (lihat Nicholas Mulder, The Sanction Weapon, 2022)
Ketahanan strategis
Ketiga variabel ini memiliki watak yang dinamis yang dapat berubah dalam perjalanan waktu. Peluang untuk menemukan titik tengah di antara ketiga variabel itu akan ditemukan jika terjadi culminating point, yaitu situasi di mana perang tidak mengalami kemajuan bagi seluruh pihak atau mengalami kebuntuan. Pada titik ini, setiap pihak menjadi ”lelah” dan mengambil keputusan untuk melakukan dialog.
Kapan titik itu akan tercapai akan sangat sulit diramalkan. Dalam hal ini satu variabel yang bisa mengubah seluruh skenario yang dibuat, yaitu jika terjadi pergantian rezim di Rusia.
Perang Ukraina dan Rusia telah menyampaikan pesan yang sangat jelas.
Jika ini terjadi, skenario mungkin menjadi lebih dinamis dan bisa berubah, bisa semakin memburuk, tetapi juga bisa sebaliknya. Namun, yang pasti, jika perang berlangsung panjang, setiap negara harus bergegas untuk memperkuat ketahanan strategisnya (strategic resilience). Perang Ukraina dan Rusia telah menyampaikan pesan yang sangat jelas.
Globalisasi dengan seluruh gagasan interkonektivitasnya bukanlah hadir tanpa masalah, tetapi memiliki beberapa titik lemah, salah satunya adalah ketika institusi-institusi internasional tidak terlalu kuat untuk mengendalikan perilaku negara-negara besar di tataran internasional.
(Makmur Keliat, Pengajar Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI dan Senior Fellow LAB45)