Makhluk Halus dan Manusia Indonesia
Dunia makhluk halus berkelindan dengan berbagai proses sosial masyarakat, yang kadang tak terkait situasi ketradisionalan atau kemodernan. Dari film horor kita bisa melihat dunia. Film sebagai representasi sosial.
Indonesia dihebohkan oleh mahluk halus. Film KKN di Desa Penari menjadi fenomenal. Dalam penayangannya, lebih dari delapan juta orang disebut telah menonton film tersebut.
Masyarakat kita rupanya menggemari kisah-kisah misteri. Meski telah berada di zaman yang mengedepankan logika, ilmu pengetahuan, dan teknologi digital, hal itu tidak menghilangkan aspek yang satu ini.
Nusantara memang tidak akan ada tanpa cerita misteri atau hantu-hantu yang membentuk selebrasi imajinasi komunal. Makhluk halus menjadi bagian kehidupan masyarakat, mulai dari lingkungan tempat tinggal yang penuh legenda dan mitos, sistem kepercayaan dan ritual yang harus dijalani sebagai persembahan bagi sosok (spirit) tertentu, hingga diceritakan sebagai dongeng pengantar tidur yang terbawa mimpi. Masyarakat mengenal nama peri, pocong, genderuwo, tuyul, jin, wewe, atau jerangkong.
Tidak hanya dalam bayangan, imaji, atau sugesti, masyarakat kita juga menjadikan makhluk halus sebagai bagian dari estetika seni pertunjukan. Dalam repertoar seni tradisional terdapat eksistensi dukun sebagai perantara dunia nyata dengan alam makhluk halus, lengkap beserta ritual “klenik“ lainnya sebagai elemen penting pertunjukan.
Dukun memutuskan siapa yang akan menjadi penari terpilih dalam ritus lengger (Banyumas) atau seblang (Banyuwangi) atau menjadi mediator (penyampai pesan) antara roh makhluk halus yang merasuki dan pribadi atau masyarakat dalam seni grasak atau jathilan di Jawa Tengah.
Makhluk halus menjadi selebritas di dunia hiburan.
Sesajen kepada pepunden tersampaikan melalui dukun dalam ritus-ritus komunal, seperti merti desa, labuh sendang, atau suran. Hal ini dimaksudkan sebagai cara masyarakat menjaga keselarasan kosmos dengan cara mengembangkan sikap rukun dan hormat terhadap diri sendiri, sesama manusia, alam, dan dunia adikodrati. Manusia Jawa menyesuaikan diri dan menjaga kualitas hubungan dengan kekuatan-kekuatan gaib yang ada di sekelilingnya.
Seiring perkembangan zaman, makhluk halus hadir dalam berbagai bentuk audio visual, seperti sandiwara radio (seperti Trinil, Misteri Gunung Merapi), reality show (Dunia Lain), sinetron (Si Manis Jembatan Ancol), hingga film seperti Jelangkung, Kuntilanak, Danur, dan terakhir film KKN yang menjadi box office.
Dalam tahun ini bersiap tayang film-film horor seperti Keramat 2 (Monty Tiwa), Mumun (Rizal Mantovani), Pengabdi Setan 2 (Joko Anwar), Inang (Fajar Nugros), hingga Pamali, Qodrat, Sebelum Iblis Menjemput Ayat 3.
Dalam film-film tersebut, kearifan lokal berpadu menjadi gaya (dan juga logika) hidup. Makhluk halus menjadi selebritas di dunia hiburan. Mereka tidak memberikan ancaman, tapi justru memberikan keuntungan. Tidak hanya secara finansial, tapi juga politik, pengaruh, dan kekuasaan.
Politik
Eksistensi makhluk halus (di)hadir(kan) sebagai bagian logika politik dan elemen kekuasaan. Di masa kerajaan, kekuasaan dijamin melalui kekuatan supranatural makhluk halus yang tak jarang ikut menciptakan sejarah politik. Penguasa Kerajaan Mataram, misalnya, sebagai keturunan Panembahan Senopati, akan selalu menjadi pasangan Ratu Kidul, penguasa lautan selatan.
Moertono (1985) menyebut keberadaan mitos Ratu Kidul pada zaman Kerajaan Mataram terkait erat dengan strategi pemerintahan kerajaan dalam konsep kenegaraan klasik. Kebesaran, kemegahan, dan kewibawaan raja pada zaman dulu diukur dari hal yang bersifat konkret dan abstrak (bukan materi).
Keduanya merupakan pengungkapan hubungan mikro-makrokosmos yang menjadikan kedudukan raja suatu replika pemerintahan di kahyangan. Hal ini memberinya dua sisi aspek keunggulan spiritual (kesempurnaan batin) dan material (kelimpahan harta) yang tidak dimiliki oleh kalangan biasa.
Konsep ini masih berlangsung di panggung politik kiwari. Para politikus mengerahkan segenap kekuatan: kapital, finansial, bahkan magic power. Rasionalitas politik dalam ajang pemilu, misalnya, membuat para caleg kerap menempuh jalan lain melalui kekuatan supranatural, sebagai rationality behind irrationality dalam perspektif antropologis.
Maka, banyak politikus pergi ke praktik perdukunan, merendam diri di tempuran sungai, hingga mengoleksi keris atau batu (akik) yang dipercaya memiliki kekuatan hebat.
Baca juga Tiga Resep Sukses Film ”KKN di Desa Penari”
Setyaningsih (2015) melansir makhluk-makhluk halus juga hadir menjadi siluman dalam birokrasi. Hal ini merujuk pada tindakan kecurangan, keganjilan, atau penggelapan. Di DPRD ada “dana siluman“, di kampus ada “mahasiswa siluman“, dan di pemilu ada “pemilih siluman“. Ini lebih gawat daripada makhluk halus penunggu pohon dan tidak bisa begitu saja diusir dengan doa-doa atau persembahan sesaji.
Kita jadi teringat pidato kebudayaan Mochtar Lubis, “Manusia Indonesia, Sebuah Pertanggungjawaban“, di Taman Ismail Marzuki, 6 April 1977, yang menyebut beberapa ciri manusia Indonesia, antara lain percaya takhayul, boros, tetapi tidak suka kerja keras. Setelah lebih dari 40 tahun berlalu, ciri-ciri itu tetap ada di masyarakat kita.
Dunia makhluk halus memang berkelindan dengan berbagai proses sosial masyarakat, yang kadang tak berkaitan dengan situasi ketradisionalan atau kemodernan. Dari film-film horor yang tayang di layar kita, meminjam logika Marleau-Ponty, bisa menjadi cara dan kemampuan untuk melihat dunia. Karena film bukan hanya representasi, melainkan juga pengalaman dan tindakan melihat kenyataan.
Bahwa dengan produksi film-film termutakhirnya, bangsa ini merupakan kelompok masyarakat di tengah arus modernitas yang plural, multikultur, serta penuh paradoks dan sesungguhnya gamang di tengah jepitan dua alam: identitas lokal di satu sisi dan arus global di sisi lain. Film-film horor bisa menjadi alat yang membantu memahami kenyataan dengan cara yang lebih kontekstual, dengan segala kemungkinan pemaknaan yang ditawarkan oleh kondisi riil kita.
Purnawan Andra,Bekerja di Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Ditjen Kebudayaan Kemendikbudristek