Stagflasi Dunia dan Presidensi G20 Indonesia
Indonesia sebagai pemegang presidensi G20 pada 2022 dituntut bisa mendorong kerja sama dan kerja bersama mengatasi stagflasi eknomi global. Jika gagal menjalankan tugas itu, Indonesia juga dapat mengalami stagflasi.
Laporan Bank Dunia edisi Juni 2022, ”Global Economic Prospect”, menyebut stagflasi dunia sudah di depan mata.
Dalam ilmu ekonomi, stagflasi berarti pertumbuhan ekonomi turun, dan inflasi meningkat. Untuk kalangan awam, untuk lebih menggambarkan magnitudonya, efeknya pendapatan masyarakat menurun, dan kesulitan (hidup) meningkat.
Data lembaga survei Consensus Economic, yang juga dirujuk Bank Dunia, tahun ini sebagian besar negara, terutama negara maju, menghasilkan kurva silang (membentuk huruf X) untuk data inflasi dan pertumbuhan ekonomi (produk domestik bruto/PDB).
Kurva inflasi mengarah ke kanan atas (timur laut) memotong kurva pertumbuhan ekonomi yang mengarah ke kanan bawah (tenggara). Artinya, angka inflasi lebih tinggi daripada angka pertumbuhan ekonomi.
Untuk 2022, inflasi dunia diperkirakan bertengger di angka 6,2 persen, sedangkan perkiraan pertumbuhan ekonomi hanya 3,3 persen. Bahkan Bank Dunia memberikan perkiraan lebih rendah, yaitu 2,9 persen.
Yang memprihatinkan, lebarnya gap angka inflasi dengan angka pertumbuhan ekonomi itu banyak terjadi di negara-negara maju.
Gap domestik dan dunia
Dengan gap angka inflasi dibandingkan angka pertumbuhan ekonomi yang besar itu, wajar Bank Dunia menyebut istilah stagflasi. Yang memprihatinkan, lebarnya gap angka inflasi dengan angka pertumbuhan ekonomi itu banyak terjadi di negara-negara maju, karena ini akan menghambat laju pemulihan ekonomi dunia.
Negara-negara yang paling besar gapnya adalah Amerika Serikat (AS), Inggris, Italia, dan Jerman. Sementara yang selisihnya cukup kecil adalah Perancis, Kanada, dan Korea Selatan.
Gap inflasi dengan pertumbuhan ekonomi dunia itu dipastikan lebih lebar lagi seandainya tidak terjadi ”keajaiban” di negara-negara berkembang.
Jika dibandingkan angka inflasi dan angka pertumbuhan ekonomi negara-negara maju di atas dengan angka inflasi dan angka pertumbuhan ekonomi dunia, angka inflasi di negara-negara maju lebih tinggi daripada angka inflasi dunia.
Sebaliknya, angka pertumbuhan ekonominya lebih rendah daripada angka pertumbuhan ekonomi dunia. Ini terjadi pada AS, Inggris, Perancis, Italia, dan Jerman.
Adapun yang angka inflasinya lebih rendah daripada angka inflasi dunia, dan angka pertumbuhan ekonominya lebih tinggi daripada angka pertumbuhan ekonomi dunia adalah Jepang, Kanada, dan Australia.
Baca juga Dunia Dibayangi Ancaman Stagflasi
Baca juga Stagflasi dan Arah Ekonomi
Hal berbeda terjadi pada negara berkembang. Di sebagian negara sedang berkembang, angka inflasi lebih rendah daripada angka inflasi dunia, dan angka pertumbuhan ekonomi lebih tinggi daripada angka pertumbuhan ekonomi dunia.
Posisi terbaik ada di kawasan Asia, dengan bintangnya negara-negara anggota ASEAN. Kawasan ini ekonominya masih tumbuh di kisaran 4-5 persen, dengan tingkat inflasi 3-4 persen.
Vietnam, misalnya, tahun ini diperkirakan tumbuh 5,8 persen, dengan tingkat Inflasi sekitar 3 persen. Dengan prediksi seperti itu, Vietnam menjadi bintang yang paling terang sinarnya. Berikutnya Filipina diperkirakan akan tumbuh 5,6 persen dan inflasi 4,2 persen.
Untuk Indonesia, pertumbuhan ekonomi diperkirakan mencapai 5,1 persen, dan tingkat inflasi menurut perkiraan Bank Indonesia akan mencapai 4,2 persen.
Selanjutnya ada China yang diperkirakan tumbuh 4,3 persen, dengan tingkat inflasi 2,1 persen. Tiga negara ini bisa dikatakan termasuk dalam kategori baik.
Malaysia dan Taiwan masuk kategori sedang karena, meskipun angka inflasinya di bawah angka inflasi dunia, dan angka pertumbuhan ekonominya di atas angka pertumbuhan ekonomi dunia, selisihnya tidak terlalu besar.
Singapura dan Hong Kong, meskipun angka inflasinya di bawah angka inflasi dunia, dan angka pertumbuhan ekonominya di atas angka pertumbuhan ekonomi dunia—disertai selisih yang lumayan tinggi—kedua negara itu mengalami stagflasi.
Kondisi ini masih lebih baik dibandingkan Thailand, yang pertumbuhan ekonominya lebih rendah daripada angka pertumbuhan ekonomi dunia, dan dilengkapi dengan stagflasi. Dengan demikian, ketiga negara ini masuk kategori jelek.
Arab Saudi dan India mencatatkan pertumbuhan ekonomi luar biasa tinggi untuk ukuran saat ini, yaitu di atas 7 persen dan tingkat inflasi lebih rendah daripada tingkat inflasi dunia, tetapi kedua negara itu tidak dapat mewakili kawasan masing-masing. Kedua negara itu merupakan pengecualian dari sebagian besar negara-negara di kawasan yang jelek kinerjanya.
Invasi Rusia memorakporandakan jalur perbaikan ekonomi yang sudah sesuai track.
Demikian pula dengan Argentina, juga termasuk pengecualian, meskipun hanya dapat dikategorikan sedang, seperti Malaysia dan Thailand. Hal ini disebabkan kinerja sebagian besar ekonomi negara-negara di kawasan Amerika Latin juga tidak terlalu bagus.
Bahkan, kinerja ekonomi Brasil sama dengan negara yang menjadi biang kerok stagflasi, Rusia. Angka inflasi di kedua negara itu jauh di atas angka inflasi dunia, dan angka pertumbuhan ekonominya jauh di bawah angka pertumbuhan ekonomi dunia.
Langkah adil
Dalam kondisi normal, negara-negara maju biasanya dijadikan tumpuan pasar produk-produk dari negara berkembang. Dengan kondisi stagflasi, tentu akan mengurangi atau malah menutup peluang ekspor tersebut.
Tentu adil jika ada langkah-langkah bijaksana yang bisa diambil. Pertama, misalnya, Rusia bersedia menghentikan perang, karena sebelum Rusia menyerang Ukraina, ekonomi dunia sudah mulai pulih seiring dengan mulai meredanya pandemi Covid-19.
Invasi Rusia memorakporandakan jalur perbaikan ekonomi yang sudah sesuai track, karena perang itu menambah gangguan rantai pasok dunia yang sudah dibuat pandemi. Tentu Rusia tak bisa diharapkan bermurah hati sendirian. Di sini diperlukan kerja-kerja politik para pemimpin dunia.
Kedua, AS dan sekutunya mungkin bisa membalas kemurahan hati Rusia dengan mengurangi atau menghilangkan sanksi ekonomi yang dijatuhkan, sehingga Rusia bisa mulai memasok komoditas yang dibutuhkan mitra-mitra dagangnya. Ini juga diperlukan pembicaraan politik tingkat tinggi.
Ketiga, Arab Saudi bisa menambah pasokan minyak agar harga energi yang masih sangat dibutuhkan itu turun. Tentu Arab Saudi keberatan dengan usulan ini. Sebab, dengan harga minyak yang tinggi itu, berarti Arab Saudi tidak perlu menguras cadangan minyaknya lebih banyak, sehingga bisa memperpanjang sumber pendapatan.
Keempat, AS dan China bisa mengurangi intensitas ketegangan perang dagang sehingga bisa membantu memperlancar suplai produk masing-masing di pasar dunia. Lebih membantu lagi jika perang ”urat saraf” di Pasifik dan Laut China Selatan juga sejenak diistirahatkan.
Kelima, negara-negara maju, terutama AS, dapat mengurangi kadar egoistis kebijakan domestiknya. Untuk penyelamatan ekonomi, misalnya, jangan fokus pada peningkatan suku bunga. Kalaupun harus meningkatkan suku bunga, tidak harus terlalu tinggi. Sebab, dengan suku bunga yang tinggi, berarti mengundang investasi portofolio kembali ke AS.
Memang, pilihan instrumen untuk menjinakkan inflasi sangat terbatas, kalau tidak mau disebut hanya ada satu: menaikkan suku bunga.
Ini akan mengurangi modal di negara-negara sedang berkembang sehingga mengurangi kemampuan mereka menghindar dari resesi atau malah ikut terserang stagflasi. Selain itu, pulang kandangnya dollar AS juga akan mengurangi suplai valas sehingga bisa memperlemah mata uang negara-negara berkembang.
Bagi negara yang ekonominya ditopang ekspor, kondisi itu memang menguntungkan. Namun, bagi negara-negara yang lebih banyak mengimpor, akan memperberat upaya menahan stagflasi.
Memang, pilihan instrumen untuk menjinakkan inflasi sangat terbatas, kalau tidak mau disebut hanya ada satu: menaikkan suku bunga. Penyebabnya, inflasi saat ini disebabkan negatifnya penawaran agregat (aggregate supply), sebagai dampak dari terganggunya rantai pasok akibat pandemi, ditambah perang dagang AS-China, dan sekarang ditambah lagi perang Rusia-Ukraina.
Selain itu, juga terjadi negatif suplai tenaga kerja, karena pilihan pensiun dini sebagai dampak pandemi, semakin menuanya tenaga kerja, dan resistensi terhadap tenaga kerja migran. Kondisi inilah yang tak memungkinkan negara maju memilih kebijakan memacu pertumbuhan ekonomi, daripada menjinakkan inflasi dengan meningkatkan suku bunga.
Hal lain yang juga membatasi pilihan kebijakan adalah tren proteksionistik yang menurut catatan Nouriel Roubini—profesor ekonomi yang pernah bekerja untuk IMF, Bank Dunia, dan The Fed—sudah mulai menggejala sebelum pandemi Covid-19 hadir.
Selanjutnya, China juga dapat berkontribusi dalam kebijakan domestiknya dengan memperlonggar lockdown sehingga dapat memperlancar pergerakan orang dan barang, yang ujungnya memperlancar jalannya rantai pasok global.
Presidensi Indonesia
Memang semua alternatif di atas tak mudah untuk dilaksanakan. Namun, jika tidak ada yang bersedia mengambil inisiatif, bisa jadi stagflasi dunia akan berlanjut ke 2023. Padahal, semula diyakini perekonomian global sudah bangkit kembali dari keterpurukan akibat pandemi pada 2022.
Indonesia sebagai pemegang presidensi G20 pada 2022 dengan slogan ”Recover Together, Recover Stronger”, dituntut bisa mendorong kerja sama dan kerja bersama untuk mewujudkanslogan tersebut.
Jika Indonesia gagal menjalankan tugas itu, bukan tidak mungkin stagflasi juga menjangkiti negeri ini. Kalau disimak, negara-negara yang ekonominya masuk kategori baik di atas adalah negara yang memiliki ekspor komoditas pangan dan energi. Namun, ingat, untuk kasus Indonesia, kondisi itu tidak bisa dijadikan jaminan keamanan ekonomi.
Ekonomi Indonesia berhasil masuk kategori baik di 2022, selain karena adanya berkah ekspor komoditas, juga karena masih bekerjanya stimulus fiskal melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), yang dibiayai defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga melebihi 3 persen dari PDB.
Jika Indonesia gagal menjalankan tugas itu, bukan tidak mungkin stagflasi juga menjangkiti negeri ini.
Berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 2020, kondisi ekonomi 2023 dianggap sudah bisa bekerja normal sebagai buah dari keberhasilan mengendalikan pandemi Covid-19. Dengan anggapan itu, tidak tersedia lagi stimulus fiskal untuk membiayai ekonomi yang terkontraksi.
Faktanya, dunia justru menghadapi bencana baru yang lebih sulit, yakni stagflasi, selain merebaknya kembali varian baru Covid-19 yang sudah menyebar ke banyak negara, termasuk Indonesia.
Keberhasilan Indonesia mewujudkan slogan ”Recover Together, Recover Stronger”, dengan mendorong terjadinya kerja sama dan kerja bersama demi terwujudnya langkah adil melalui jalur presidensi G20, akan menolong ekonomi dunia dan ekonomi Indonesia.
Sawidji Widoatmodjo, Pengajar Program Pascasarjana Universitas Tarumanagara