Terhadap polisi, warga menaruh harapan bahwa polisi siap sedia melindungi warga masyarakat terhadap aneka macam masalah dan gangguan yang mereka hadapi sehari-hari, tanpa memandang status dan jabatan aparat kepolisian.
Oleh
THOMAS SUNARYO
·4 menit baca
Kembalinya eks penyidik KPK, Ajun Komisaris Besar Raden Brotoseno, sebagai polisi aktif menjadi polemik lantaran statusnya yang merupakan mantan terpidana kasus korupsi.
Jerome H Skolnik menunjukkan adanya ciri-ciri yang khas dalam institusi kepolisian, yang disebut Police Working Personality, ”personality” atau kepribadian kepolisian yang tumbuh karena sifat-sifat lingkungan tugas yang dihadapi kepolisian selalu menghadapi bahaya. Proses sosialisasi dengan sifat lingkungan tugas tersebut membentuk kultur kepolisian yang sarat dengan sifat atau sikap curiga, otoriter, sinis, isolasi diri, kerahasiaan, solidaritas kelompok, introvert, dan lain-lain. Hal itu sering kali tampak pada sikap dan tindakan anggotanya, baik saat melaksanakan tugas maupun dalam perilaku keseharian di luar tugas.
Selanjutnya dikatakan, polisi senantiasa mengembangkan suatu konsepsi hukum bukan profesional manajerial. Mereka hanya melakukan apa yang menjadi tugasnya. Jika lingkungannya menuntut kepatuhan dan kemudian menyediakan ganjaran atas kepatuhan itu, semata-mata melihat polisi sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam menghadapi kejahatan atau kriminalitas. Fungsi polisi dalam suatu milieu secara normatif maupun substantif mendukung gagasan efisiensi administratif, yang telah menjadi ciri profesionalisme polisi.
Maka tidak mengherankan bahwa selalu ada ” value gap” antara polisi dan masyarakat, yang menempatkan polisi dalam posisi yang tidak menguntungkan di mata masyarakat.
Penggunaan istilah Police Personality oleh Richard Bennet dalam arti: ”Value orientation specific to law enforcement officers” mirip dengan penerapan teori sosialisasi dalam pembentukan kepribadian kepolisian sebagaimana diuraikan Skolnik. Ia menolak teori ”Pre-disposisi” yang dikembangkan Rokeach, yang menyatakan bahwa kepribadian dalam suatu lingkungan kerja lebih ditentukan oleh sifat-sifat orang yang memasuki lingkungan tersebut, yang kemudian memperoleh peneguhan untuk tumbuh atau terbentuk mengikuti lingkungan di mana mereka bekerja, dalam hal ini apa yang berlaku nyata (faktual) di kepolisian.
Arthur Nierdehoffer menyatakan bahwa kekhasan kepolisian juga terlihat pada lambang-lambang yang tertera pada penampilan fisiknya yang memberi identitas berbeda dari masyarakat lainnya. Hal itu tampak pada pakaian dan senjata yang mereka bawa, di samping adanya ”value orientation” yang khas, seperti dikemukakan ahli lain. Maka tidak mengherankan bahwa selalu ada ”value gap” antara polisi dan masyarakat, yang menempatkan polisi dalam posisi yang tidak menguntungkan di mata masyarakat.
Kerangka pemikiran yang dipaparkan di atas dapat digunakan dalam upaya meningkatkan citra Polri.
Harapan warga
Perkembangan Polri dimulai dengan modal personel yang ditinggalkan oleh polisi Jepang, yang terdiri dari kader-kader polisi eks lulusan pendidikan polisi Belanda, seperti dari Kursus Komisaris, Inspektur, Hoofdagent, dan Agen Polisi, serta personel lulusan pendidikan Polisi Jepang dari kursus Cililitan, Kotoka, dan Futsuka. Waktu kalah dan menyerah pada tahun 1945, Jepang meninggalkan lembaga kepolisian yang relatif masih utuh, baik personel, persenjataan, maupun organisasinya. Karena itu, polisi pada saat proklamasi kemerdekaan merupakan modal utama kekuatan fisik negara kita, yang melibatkan diri langsung dalam perjuangan mempertahankan negara melawan Inggris dan Belanda.
Polri pernah mengalami status ditempatkan langsung di bawah Perdana Menteri, kemudian kembali di bawah Kementerian Dalam Negeri dan Kejaksaan Agung, hingga akhirnya pada tahun 1959 dengan Keppres No 154/159 berdiri sendiri dengan dibentuknya Kementerian Kepolisian. Status tersebut berubah lagi dengan TAP MPRS No II/1960 yang mengintegrasikan Polri dalam ABRI sampai terjadinya reformasi 1998.
Visi Kepolisian RI adalah terwujudnya pelayanan keamanan dan ketertiban masyarakat yang prima, tegaknya hukum dan keamanan dalam negeri yang mantap, serta terjalinnya sinergi polisional yang proaktif, sedangkan misinya antara lain memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan secara mudah, responsif, dan tidak diskriminatif, menegakkan hukum secara profesional, obyektif, proporsional, transparan, dan akuntabel untuk menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan.
Sayangnya, korupsi di tingkat perwira tinggi Polri bukan mustahil telah memotivasi anggota kepolisian di tingkat bawah untuk membenarkan perilaku malapraktik, yang disebabkan sikap memandang keamanan masyarakat secara langsung sebagai tugas dan tanggung jawab mereka. Jika pelanggar hukum bisa cepat ”diamankan”, maka semakin cepat masalah kepolisian tersebut teratasi, kalau perlu melakukan kekerasan dan ”pungli”.
Publik berharap reformasi Polri membawa perubahan, baik dalam cara berpikir (mindset) maupun cara bekerja (culture set) polisi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai penegak hukum. Polri perlu peka dan berkomitmen mewujudkan harapan masyarakat itu. Dengan demikian, ungkapan masyarakat yang beredar di media sosial beberapa waktu lalu dengan tagar ”percuma lapor polisi” dan sindiran ”hanya ada tiga polisi jujur, yaitu Jenderal Polisi Hoegeng, patung polisi, dan polisi tidur, tidak kembali muncul.
Salah satu fungsi terpenting dari pendidikan tinggi dalam lingkungan kedinasan adalah mengembangkan kemampuan kepemimpinan (leadership). Pada umumnya, mereka yang lulus dari Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) menduduki jabatan-jabatan kepemimpinan di eselon atas, menengah, dan eselon pelaksana, sesuai dengan tingkat kepangkatan masing-masing. Di sinilah letak peranan Kapolri sebagai seorang pemimpin (manager), sebagaimana pula pemimpin organisasi, baik di lembaga pemerintah maupun nonpemerintah, yang pada hakikatnya sama, mampu menciptakan kondisi di lingkungan kerja yang bisa menjamin keberhasilan pencapaian efektivitas tujuan lembaga yang dipimpinnya. Hal ini lebih-lebih berlaku bagi lembaga kepolisian yang harus memberi contoh dalam penegakan hukum, menangani kriminalitas dan korupsi.
Warga masyarakat menaruh harapan bahwa polisi senantiasa ”siap pakai” untuk melindungi warga masyarakat terhadap aneka macam masalah dan gangguan yang mereka hadapi sehari-hari, tanpa memandang, apakah polisi tersebut baru saja menamatkan pendidikan kepolisian atau merupakan polisi yang sudah berpengalaman.
Dirgahayu Polri!
Thomas Sunaryo, Kriminolog, Dosen Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) UI.