Selama pandemi, tak ada panggung teater, tak ada yang bisa kami produksi dalam waktu entah sampai kapan. Namun, situasi itu juga yang membuka pikiran kami, bahwa seni tak selalu berarti panggung, tetapi juga suara.
Oleh
HAPPY SALMA
·4 menit baca
Ketika memulainya pada 2007 bersama Yulia Evina Bhara, saya tak membayangkan Titimangsa bisa bernapas panjang sampai hari ini. Waktu itu, saya tak punya mimpi apa pun, selain mendirikan suatu wadah informal untuk perluasan proses kreatif dan minat saya dalam seni pertunjukan, juga kecintaan saya pada karya sastra untuk dialih-wahanakan.
Secara harfiah, Titimangsa merujuk pada titian proses perjalanan dalam saat atau waktu yang tepat. Bahwa sampai hari ini Titimangsa, yang saya kelola bersama teman-teman, telah memproduksi 57 pertunjukan, tak pernah saya bayangkan sebelumnya.
Produksi demi produksi kami kerjakan dalam kebersamaan, melibatkan banyak seniman lintas seni. Sebagai lembaga nonprofit yang memproduksi seni pertunjukan, dikelola lebih karena kecintaan.
Jumlah 57 produksi berarti 57 naskah yang telah kami garap dengan 57 tim produksi. Meski ada sejumlah produksi melibatkan tim yang sama, sebagaimana kodratnya seni pertunjukan, proses produksi selalu jadi peristiwa yang baru. Dalam rentang perjalanan itu, tak sedikit muncul situasi dan kendala yang membuat nyaris putus asa. Yang paling nyata saat Covid-19, wabah yang membuat semua aktivitas terganggu, termasuk kesenian, lebih lagi seni pertunjukan.
Pandemi membawa hikmah kreativitas bagi kami.
Tak ada panggung
Selama pandemi, tak ada panggung teater, tak ada yang bisa kami produksi dalam waktu entah sampai kapan. Namun, situasi itu juga yang membuka pikiran kami, bahwa seni tak selalu berarti panggung, tetapi juga suara.
Memanfaatkan kemajuan media digital, seperti platform podcast, yang tak ubahnya stasiun radio, Titimangsa mulai merambah produksi Sandiwara Sastra. Bersama para penulis, penata suara, dan para aktor, sejumlah karya sastra dialihwahanakan menjadi sandiwara radio.
Program ini mengadaptasi 10 karya sastra Indonesia: Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, novel Helen dan Sukanta karya Pidi Baiq, cerpen ”Kemerdekaan” karya Putu Wijaya, cerpen ”Menunggu Herman” karya Dee Lestari, cerpen ”Berita dari Kebayoran” karya Pramoedya Ananta Toer, novel Lalita karya Ayu Utami, cerpen ”Seribu Kunang-kunang di Manhattan” karya Umar Kayam, cerpen ”Persekot” karya Eka Kurniawan, novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana, novel Orang-orang Oetimu karya Felix K Nesi.
Program yang awalnya bersifat eksperimen, menyiasati keterbatasan di tengah wabah, ternyata mendapat sambutan hangat khalayak. Pandemi membawa hikmah kreativitas bagi kami. Karena itu, program pertunjukan audio kami teruskan jadi agenda produksi Titimangsa berikutnya.
Melibatkan banyak penulis dari sejumlah daerah: dari Aceh (Azhari Aiyub), Sumatera (Guntur Alam), Papua (Aprila R Wayar), Bali (Putu Wijaya), Jakarta (Kurnia Effendi), Makassar (Aan Mansyur), Kalimantan (Hasan Aspahani), NTT (Mario F Lawi), hingga Jawa (Risa Saraswati dan Ilya Sigma).
Kebersamaan yang makin besar dan menggairahkan. Setiap produksi selalu jadi peristiwa baru dan memberi pengalaman baru. Meski dikerjakan awak produksi yang sama—artistik, sutradara, sampai pemimpin produksi—sebuah produksi bukanlah pengulangan. Selalu ada tantangan dan kendala berbeda, dan itu memperkokoh kebersamaan.
Sebagai orang yang berdiri di belakang Titimangsa, saya sudah mengenal baik sosok-sosok penting yang kerap atau pernah terlibat dalam produksi Titimangsa. Mereka tidak hanya berasal dari kota yang berbeda, latar budaya yang berbeda, tetapi juga latar seni yang berbeda-beda: sutradara teater, sineas, penulis, penyair, atau penata artistik.
Kebersamaan dan kedekatan kami dengan sejumlah seniman membuat Titimangsa seperti rumah bersama.
Kebersamaan dan kedekatan kami dengan sejumlah seniman membuat Titimangsa seperti rumah bersama. Bukan semata demi sebuah produksi, melainkan juga rumah untuk saling bertukar pikiran, menggodok ide bersama, membaca berbagai isu kesenian dan budaya yang bisa kami respons.
Dari obrolan dan diskusi itu, muncul berbagai gagasan yang bisa diwujudkan.
Hal itu membuat saya sadar bahwa Titimangsa harus mulai menata diri. Lalu dibuatlah semacam usaha bagaimana memetakan beragam gagasan ke dalam agenda produksi.
Sesungguhnya sebagai titian, Titimangsa juga telah berusaha keras jadi jembatan lintas bidang. Kami mengajak orang film untuk terjun ke dunia teater, begitu juga sebaliknya orang-orang teater bermain dalam film.
Hal ini didasari oleh pemikiran, semua bidang kesenian harus bahu-membahu memajukan kesenian dengan misi kemanusiaan. Setidaknya memberikan kesadaran tentang nilai-nilai yang bisa menjadi pedoman saat-saat kita harus berkoneksi dengan manusia lain.
Seumpama mahasiswa, setiap produksi seperti proses menyusun skripsi, tesis, atau disertasi. Jika menengok ke masa di belakang, bagaimana saya pontang-panting menghadapi persoalan produksi, dari sponsor sampai perizinan.
Termasuk bagaimana menyiasati kekurangan dari penjualan tiket dan strategi promosi. Di masa-masa awal, kami lumayan pusing memikirkan pajak pertunjukan yang sangat tinggi, hampir sama dengan konser atau kegiatan komersial lain. Syukurlah, seiring waktu ada perubahan kebijakan pemerintah.
Dan terasa semakin bertambah tahun, kepercayaan sponsor kian meningkat. Baik swasta maupun pemerintah memberi respons positif, mendukung acara secara konsisten. Urusan menghimpun penonton masih jadi tantangan, antara lain karena masih rendahnya minat dan kepedulian terhadap seni.
Tantangan terbesar ke depan bukan pada sumber daya manusia atau pelaku seni yang tampil, melainkan manajemen seninya.
Menengok proses yang telah kami lalui, saya meyakini seni pertunjukan Indonesia bisa bernapas panjang, menampilkan keberagaman kreativitas dan ekspresi. Termasuk alih wahana karya sastra, juga kolaborasi lintas seni yang memberi daya hidup pada ruang-ruang gagasan seni yang lebih bervariasi.