Perubahan adalah keniscayaan dalam hidup. Perlahan dunia kembali seperti dulu. kita masuk lagi pada dunia yang riuh penuh dinamika. Bergerak dengan ritme dan segala konsekuensi barunya. Juga menemukan cara bertahan.
Oleh
SHA INE FEBRIYANTI
·6 menit baca
SUPRIYANTO
Ilustrasi
Sebuah berita yang membuat seisi rumah dan mungkin jutaan penduduk Indonesia mulai waswas adalah ketika pada 2 Maret 2020 sudah ditemukan suspect Covid-19 di kawasan Depok, Jawa Barat, yang tak jauh dari tempat tinggal kami. Berbagai informasi yang saya lihat di banyak media tentang kasus itu justru menjadi semacam teror; kami ketakutan, panik, harus melawan ”musuh” yang tak kasatmata.
Sejak itu, tetangga, pembantu, tukang sayur, sampai suami dan anak-anak berubah jadi ”orang lain” ketika saling bertemu. Kami semua harus mandi dengan disinfektan, menutup hidung dan mulut dengan masker, memakai baju khusus seperti alien. Orangtua tak lagi bisa dikunjungi dan dipeluk untuk melepas rindu. Ini paranoia komunal paling menyedihkan yang pernah saya lihat dan alami seumur hidup.
Ancaman dan rasa takut yang mencekam membuat kita serentak patuh pada ketentuan yang tak pernah terjadi sebelumnya. Perubahan mendadak dan serentak ini dalam sekejap membuat penghuni bumi lumpuh, luluh-lantak.
Ini paranoia komunal paling menyedihkan yang pernah saya lihat dan alami seumur hidup.
Kita dipaksa berhenti dari rutinitas. Banyak dari kita kehilangan pekerjaan. Ruang publik dan ruang gerak dibatasi dan yang paling meresahkan adalah rasa takut dari hal yang tak pernah kita tahu dari mana arah datangnya, yang setiap saat bisa merenggut nyawa. Bisa nyawa siapa saja, pasangan, anak-anak, keluarga, teman, bahkan diri sendiri.
Seketika ruang interaksi berhenti. Pasar ditutup, sekolah diliburkan, aktivitas kantor ditiadakan. Mulailah babak ”kehidupan baru” yang sama sekali tidak pernah terbayangkan. Bahkan, keresahan saya pada kebiasaan anak-anak yang terlalu banyak main gadget dan kurang bergerak jadi semakin tak bisa dibatasi karena kemudian hampir setiap hari ada di depan perangkat teknologi itu untuk belajar.
Perubahan selalu membuat kita terpaksa keluar dari zona nyaman. Namun, perubahan yang terasa pada awal pandemi tidak hanya berdampak secara personal, tetapi seluruh dunia secara serentak dan seketika. Seluruh manusia di bumi dipaksa harus memutar otak untuk lebih kreatif bertahan hidup, beradaptasi melalui ruang gerak yang sempit.
Kita dipaksa menemukan kebiasaan baru dalam berinteraksi lewat ruang privat. Kebutuhan dasar kita sebagai manusia untuk bergerak, bersosialisasi, dan dinamis dipaksa diam.
Manusia adalah makhluk paling cepat beradaptasi. Begitu kata sebuah dalil. Penerimaan kondisi tak nyaman ini membuat sebagian menjadi sangat kreatif, bahkan mendapatkan sumber pencarian dan penghasilan berlimpah dengan cara yang baru. Meskipun sebagian lagi tak berdaya.
Di antara ketidakpastian yang mencekam ini, kita beradaptasi untuk menerima zona ”nyaman” baru. Meskipun kehilangan kemewahan untuk mengalami perayaan kesenian, keagamaan, dan keceriaan anak-anak di sekolah.
Betapa menyedihkan melihat anak-anak harus ”bertemu” dan berbicara dengan teman sekolah lewat layar komputer. Panggung teater yang kosong digantikan pertunjukan yang hanya bisa diakses dalam sekotak layar kecil tanpa bisa menikmati peristiwa teater yang sesungguhnya, yakni interaksi langsung antara panggung dan penontonnya.
KOMPAS
Peniadaan tes usap PCR dan antigen bagi pelaku perjalanan domestik yang telah menerima vaksinasi lengkap merupakan persiapan Indonesia memasuki endemi Covid-19. Namun, strategi pengendalian pandemi Covid-19 di Indonesia akan menyesuaikan dengan kondisi yang terjadi di masyarakat.
Seni pertunjukan selama pandemi kehilangan roh interaksi di atas panggung. Tak hanya seni pertunjukan seperti teater, kegelisahan sama dirasakan para musisi dan penari. Berbagai cara dan terobosan baru coba dilakukan agar seni pertunjukan tetap bisa dinikmati. Namun, tetap saja, ada yang hilang. Kita bagai kehilangan nyawa dan energi.
Beruntung saya masih sempat merasakan energi panggung pada pertunjukan Panembahan Reso karya WS Rendra pada Februari 2019, tepat sebelum pandemi melanda. Paling tidak saya masih sempat merasakan euforia pementasan sebelum panggung-panggung kosong selama dua tahun kemudian.
Masa jeda
Masa jeda dua tahun yang hening dan kosong saya gunakan untuk membangun Huma Ark, sebuah wadah untuk seni pertunjukan dan keaktoran di bilangan Jagakarsa.
Semangat berkreativitas harus tetap dirawat dan bergerak meski seni pertunjukan kehilangan banyak momentum dan kesempatan. Perlahan, perubahan pasti terjadi. Dengan segala protokol ketat, Huma Ark sudah bergulir dengan program-program yang dirintis justru ketika pandemi.
Pada pengujung 2021, saya mendapat kesempatan ikut terlibat dalam repertoar Maria Zaitun, yang juga karya WS Rendra, di Kairo, Mesir. Sebuah kesempatan menyenangkan. Bertemu kembali dengan panggung yang sudah lama terpaksa ditinggalkan. Pada Festival Teater Cairo 2021, penampil dari berbagai negara menyajikan pertunjukan yang tak biasa.
Para insan teater di seluruh dunia, setidaknya yang saya temui di Kairo, ingin menjalin kembali relasi yang putus, yakni antara aktor, panggung, dan audiens
Panggung menjadi sebuah peristiwa sakral yang ditunggu-tunggu penampil. Dan, pertunjukan kami mendapatkan apresiasi baik dari audiens. Kerinduan akan peristiwa seni pertunjukan teater yang saya rindukan seolah terbayar meskipun, setelah pulang ke Indonesia, kami masih harus dikarantina selama 10 hari tanpa bisa keluar dari kamar.
Saya merasakan ada kerinduan yang sama. Para insan teater di seluruh dunia, setidaknya yang saya temui di Kairo, ingin menjalin kembali relasi yang putus, yakni antara aktor, panggung, dan audiens. Kerinduan ini bagi saya seperti kerinduan simbolik, bagaimana inginnya kita segera bisa menyambung kembali tali-tali personal dan sosial, yang telah putus selama lebih dari dua tahun.
Tentu proses seperti ini butuh waktu panjang. Pekerja teater punya keterbatasan untuk melakukan eksplorasi estetiknya. Selama pandemi, penonton dan seniman kehilangan peristiwa teater yang utuh, yakni interaksi langsung dalam satu ruang. Meski ruang interaksi langsung belum mungkin, ada hal yang tak mungkin sebelumnya menjadi mungkin.
Saat perangkat digital dipergunakan sebagai wahana interaksi, penonton yang jauh di pelosok bisa dijangkau seketika. Meski interaksi hanya terjadi di ruang kecil, sebatas layar gadget, tetapi itu yang bisa dilakukan. Ada ledakan keinginan untuk terus berinteraksi dan tak bisa dihalangi pandemi.
FOTO-FOTO: KOMPAS/PUTU FAJAR ARCANA
Sha Ine Febriyanti mementaskan monolog Tjut Nyak Dhien di gedung Hoerijah Adam, ISI Padang Panjang, Sumatera Barat, Sabtu (1/9/2018).
Dalam keseharian perubahan ini membuat kita jadi lebih praktis. Semua dilakukan secara daring, dari pesan makanan sampai beli baju. Seolah-olah kita tak lagi butuh pertemuan tradisional antara penjual dan pembeli. Semua elemen hidup ”diselesaikan” hanya dalam genggaman tangan saja.
Bagi sebagian orang, termasuk saya, di antara kecemasan dan situasi tak menentu serta keterpaksaan untuk diam dan berjarak dengan dunia kebisingan, sesungguhnya kita kembali pada ritme hidup yang lebih manusiawi. Para ibu yang tadinya super sibuk, kembali memasak untuk anak-anak di rumah. Intimasi dan kebersamaan keluarga semakin erat.
Dalam era normal, para suami yang sibuk bekerja hanya mempunyai waktu di akhir pekan untuk saling menyapa dan berbicara. Tiba-tiba sebuah keluarga memiliki kemewahan kebersamaan yang tak dimiliki sebelumnya. Komunikasi, yang biasanya terasa tergesa-gesa karena waktu yang sempit, menjadi sesuatu yang berarti. Pada sisi ini tiba-tiba nilai kemanusiaan kita menjadi lebih nyata dan rasanya kita menjadi lebih dekat satu sama lain.
Pada sisi ini tiba-tiba nilai kemanusiaan kita menjadi lebih nyata dan rasanya kita menjadi lebih dekat satu sama lain.
Kini, perlahan dunia kembali seperti dulu. Jalan-jalan yang lengang selama pandemi kembali hiruk pikuk oleh kemacetan. Kita kembali dipaksa keluar dari zona ”nyaman” yang hening dan sunyi selama pandemi, masuk lagi pada dunia yang riuh dan penuh dinamika. Bergerak dengan ritme dan segala konsekuensi barunya.
Perubahan adalah keniscayaan dalam hidup, memang. Dan, kita selalu harus mampu menemukan cara bertahan dengan menerima segala perubahan itu sendiri.