Insya Allah, setelah lebih dari dua tahun ditempa oleh kekhawatiran akibat pagebluk korona, umat manusia tersadar betapa kecil sebenarnya daya manusia. Karena itu jangan merasa diri paling benar.
Oleh
JAYA SUPRANA
·4 menit baca
Mendadak, saya memperoleh kehormatan besar, diminta oleh redaksi Desk Opini harian Kompas untuk menulis sebuah artikel dalam rangka mendirgahayu harian Kompas. Akibat gila hormat, maka kehormatan besar itu langsung saya sambar demi tidak menyia-nyiakan kesempatan, tanpa menyadari yang diminta tentang apa.
Setelah sadar, langsung saya pusing tujuh keliling. Setelah pusing mereda—antara lain akibat tentu saja minum jamu— baru saya sadar bahwa ternyata tujuan artikel yang diminta Redaksi Harian Kompas adalah sebagai berikut: menyadarkan terjadinya fenomena global yang berdampak luar biasa, hingga dialami individu-individu, melalui berbagai fakta.
Melalui berbagai pikiran maju ataupun keberhasilan kecil yang sudah dicapai, diharapkan edisi khusus ini bisa memandu audiens Kompas, baik individu, komunitas, maupun korporasi, agar bisa survive menghadapi dampak perubahan iklim, disrupsi teknologi, pandemi Covid-19, hingga yang terakhir perang Rusia-Ukraina. Membangun dan merekatkan kembali hubungan antarmanusia yang merenggang menjadi kekuatan untuk mengatasi persoalan bumi dan manusia, di tengah zaman yang sangat berubah.
Sudah barang tentu jangkauan makna artikel yang diminta redaksi Opini Kompas, jauh, bahkan sangat jauh, melampaui ambang batas daya pemikiran otak dangkal saya yang makin mendangkal di masa senja usia. Diperparah lagi dengan masa penuh khawatir akibat pagebluk korona yang berawal sejak lebih dari dua tahun yang lalu.
Namun, akibat sudah telanjur sigap menyambar kesempatan memperoleh kehormatan dari Redaksi Harian Kompas, maka mohon dimaafkan bahwa kini terpaksa saya memaksakan diri untuk menulis artikel yang diminta dengan daya tulis dangkal, sejauh daya pikir dangkal saya memungkinkannya.
Saya masih lupa-lupa ingat, bahwa lebih dari dua tahun yang silam, yaitu tepatnya pada 24 Maret 2020, saya menulis sebuah artikel untuk Kompas. com dengan judul ”Wabah Penyakit Menular Terjadi Setiap 100 Tahun”.
Ternyata pada artikel itu secara intuitif saya sudah mengkhawatirkan bahwa akan terjadi sebuah perubahan peradaban secara dahsyat yang akan drastis mengubah segenap sikap dan perilaku umat manusia dalam menempuh perjalanan hidup menerabas kemelut deru campur debu, berpercik keringat, air mata, dan darah.
Gagal komunikasi
Kekhawatiran saya berdasar fakta sejarah bahwa setelah pagebluk flu yang berawal di Spanyol mengglobal pada tahun 1920, bisa dianggap sebagai siklus 100 tahun, kembali terjadi pagebluk pada tahun 2020 dalam bentuk pandemi korona, yang berawal di Wuhan, China.
Kekhawatiran itu yakni pagebluk ini juga akan memicu dampak buruk seperti pada abad XX, yaitu depresi ekonomi, yang kemudian memicu krisis ekonomi global. Pada pagebluk sebelumnya, depresi dan krisis ekonomi itu kemudian meletuskan Perang Dunia II—yang berawal dari angkara murka Hitler yang merangsek masuk ke wilayah negara-negara tetangga Jerman.
Mengkhawatirkan, sama sekali bukan berarti mengharapkan. Namun, mujur tak teraih, naas tak tertolak, tampaknya di masa kini memang sudah terjadi dampak buruk berupa kerenggangan hubungan antarmanusia, yang terjadi pada diri Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy.
Namun, mujur tak teraih, naas tak tertolak, tampaknya di masa kini memang sudah terjadi dampak buruk berupa kerenggangan hubungan antarmanusia.
Fakta membuktikan kedua tokoh itu gagal berkomunikasi secara baik dan benar. Akibat galkom alias gagal komunikasi, maka terjadi gagal paham di antara mereka berdua sehingga Putin tega memerintahkan serdadu Rusia untuk menyerbu masuk ke wilayah Ukraina. Seperti dahulu, Hitler tega memerintahkan serdadu Jerman menyerbu masuk Polandia.
Dampak buruk terhadap tata ekonomi global sudah jelas tampak pada realitas kenaikan harga bahan pangan dan minyak bumi secara drastis, meroket ke atas seolah lepas kendali. Dampak buruk ekonomi jelas parah merusak peradaban sebagai akibat dampak buruk krisis sosial dan politik yang tampil dari tiap-tiap negara dan bangsa di planet Bumi masa kini. Adalah krisis sosial-politik yang memicu Revolusi Perancis dan Revolusi Rusia ataupun Revolusi China.
”Ojo dumeh”
Akibat sepenuhnya saya sadar atas keterbatasan daya pemikiran saya, maka dengan penuh kerendahan hati saya memberanikan diri untuk menawarkan warisan falsafah kearifan yang saya peroleh dari leluhur kakek-nenek moyang saya, yaitu ojo dumeh.
Insya Allah, setelah lebih dari dua tahun ditempa oleh kekhawatiran akibat pagebluk korona, umat manusia tersadar betapa kecil sebenarnya daya manusia yang terbukti mulai dari presiden sampai pemulung tidak ada seorang pun yang mampu melawan laskar virus yang tidak kasat indera itu.
Maka, marilah kita menghayati untuk mengejawantahkan makna luhur yang terkandung di dalam ajaran ojo dumeh yang dapat ditafsirkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai jangan takabur, jangan mentang- mentang, jangan sombong, jangan merasa diri paling benar, serta jangan yang lainnya yang serupa dan sebangun.
Fakta peradaban telah membuktikan bahwa pada hakikatnya sulit untuk tidak menggunakan istilah mustahil bagi manusia untuk mengubah sikap dan perilaku manusia lain. Maka, adalah lebih bijak apabila setiap insan manusia mengubah sikap dan perilaku diri sendiri masing-masing.
Apabila kita memang ingin merekatkan hubungan antar-manusia yang merenggang sebagai dampak perubahan peradaban akibat pagebluk korona serta perang Rusia-Ukraina yang kini sudah terbukti secara tak terbantahkan memicu krisis pangan global, marilah kita semua—termasuk Putin, Zelenskyy, Joe Biden, Xi Jinping, Boris Johnson, Joko Widodo— serta Anda dan saya, mulai mewujudkan makna luhur dalam falsafah ojo dumeh, menjadi kenyataan.
Bukan demi menaklukkan orang lain, melainkan justru demi menaklukkan diri sendiri masing-masing. Merdeka!!!