Momentum krisis membuka peluang kaji ulang dan refleksi semua kebijakan dihubungkan dengan realitas dan kondisi bangunan sosial-ekonomi kita. Krisis menumbuhkan kesadaran menata kembali pijakan yang lebih tangguh.
Oleh
Suwidi Tono
·6 menit baca
Krisis akibat pandemi Covid-19 tak semata-mata berimplikasi buruk. Jeda aktivitas global sangat bermanfaat dalam mengerem deteriorasi lingkungan, menurunkan penggunaan energi fosil dan pemanasan global. Eksploitasi alam melebihi daya dukungnya untuk menopang gaya hidup modern pernah disitir dengan nada liris oleh Barbara Ward setengah abad lalu (Only One Earth, 1970): ”modernitas menyebabkan merosotnya kesetiaan tertinggi pada Planet Bumi kita yang satu, yang indah, tapi juga yang mudah cedera”.
Dampak serius sosial-ekonomi pandemi ini juga menantang setiap bangsa menelaah lagi tapak jalan kemajuan dan kualitas peradaban dalam ekosistem dunia tanpa tapal batas. Sejarah kita mewariskan kemampuan cukup liat dan pejal mengatasi kejatuhan. Budaya kita juga cukup kaya dan arif menghadapi krisis dan bencana.
Belajar dari krisis ekonomi 1997/1998, tsunami Aceh 2004, gempa Yogya 2005, gempa Lombok dan Palu 2018, semangat gotong royong dan manifestasi beragam solidaritas sosial telah teruji dan terbukti. Segregasi politik yang menguat beberapa tahun terakhir tak membuat kohesi sosial menyusut.
Jeda aktivitas global sangat bermanfaat dalam mengerem deteriorasi lingkungan, menurunkan penggunaan energi fosil dan pemanasan global.
Kepedulian merawat semangat kolektif dan kerukunan berbangsa ini semestinya jadi modal berharga bersama agar kita tak tergelincir dan menyulut sinisme empirical apperception: ”kegetiran anak-anak bangsa terhadap nasib negerinya, melebihi keprihatinan yang dipikirkan kaum elite” (Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, 1964).
Eskalasi dampak pandemi terhadap kondisi sosial-ekonomi telah direspons pemerintah dengan melonggarkan defisit anggaran hingga 5 persen PDB bahkan sampai tiga tahun ke depan. Keputusan melebarkan defisit fiskal itu mengandung konsekuensi jelas: pembengkakan utang pemerintah.
Berbeda dengan krisis 1997-1998, sektor UMKM sekarang sebagian besar terimbas dan terpukul dampak pandemi. Sektor yang mendominasi kegiatan ekonomi dan menyumbang 63 persen PDB ini paling menderita jika puncak Covid-19 tak kunjung tiba. Bersama sektor informal dan non-tradable (jasa) yang jadi motor penggerak pertumbuhan konsumsi domestik, ketiganya butuh stimulus tepat untuk menjaga agar tak tersungkur dan segera beroleh momentumnya saat memasuki siklus pemulihan.
Sektor yang mendominasi kegiatan ekonomi dan menyumbang 63 persen PDB ini paling menderita jika puncak Covid-19 tak kunjung tiba.
Hal yang menuntut penanganan segera terutama adalah meningkatnya jumlah penduduk yang meluncur ke status ”golongan miskin baru”. Proyeksi peningkatan jumlah penerima Program Keluarga Harapan (PKH) dari 10 juta KK ke 15 juta KK, Kartu Sembako, Kartu Prakerja, subsidi untuk 96,5 juta jiwa kelompok penerima bantuan iuran BPJS Kesehatan dan aneka subsidi lain akan langsung membebani APBN dan APBD.
Kelompok pekerja penerima upah (karyawan swasta dan peserta mandiri) dan non-pekerja yang jumlahnya 69,4 juta dari total 224 juta peserta BPJS Kesehatan, meski tak membebani anggaran pemerintah, sebagian besar akan kesulitan bayar iuran dan pada akhirnya memengaruhi arus kas lembaga itu.
PHK yang menimpa lebih dari 2 juta pekerja sampai akhir April 2020 selain butuh jaring pengaman sosial juga jaminan mendapatkan kembali pekerjaan kelak. Problem ini hanya sebagian dari peta 40 persen lapisan penduduk yang jatuh dan menembus ambang batas garis kemiskinan.
Bersama anggaran untuk stimulus ekonomi, subsidi untuk energi, pupuk, public service obligation, bunga kredit program, dan pajak, relaksasi defisit APBN 2020 sebesar Rp 853 triliun dapat dinilai sebagai respons pemerintah yang sangat serius dan menyeluruh dalam mengantisipasi dampak pandemi.
Keputusan melonggarkan defisit APBN, menyiapkan ”bantal pengaman” dengan mengoptimalkan jaring pengaman sosial dan peta jalan pemulihan pascapandemi melalui stimulus anggaran merupakan kebijakan konservatif yang menggabungkan dua sasaran ini.
PHK yang menimpa lebih dari 2 juta pekerja sampai akhir April 2020 selain butuh jaring pengaman sosial juga jaminan mendapatkan kembali pekerjaan kelak.
Di sejumlah negara, terpaan aneka krisis ekonomi dan hadirnya era industri 4.0 mendorong munculnya gagasan universal basic income dan gig economy. Keduanya respons atas situasi ketidakpastian yang kian sering melanda dunia dan berkembangnya kecerdasan buatan. Covid-19 kian mematangkan gagasan itu, menggantikan standar baku seperti pendapatan per kapita dan bahkan model klasik jaminan sosial ala welfare state.
Perubahan struktural
Momentum krisis membuka peluang kaji ulang dan refleksi semua kebijakan dihubungkan dengan realitas dan kondisi bangunan sosial-ekonomi kita. Dari kemauan mengakui adanya kelemahan, tumbuh kesadaran menata kembali pijakan yang lebih tangguh menghadapi tantangan zaman.
Pertama, pandemi yang memicu krisis multidimensi butuh respons cepat, tepat, akurat. Kegagapan dan keterlambatan mitigasi secara komprehensif bermula dari ketiadaan data tunggal akurat (big data) yang mengintegrasikan berbagai keperluan mulai dari kependudukan, kemiskinan, pendidikan, kesehatan, pertanian, pajak, pemilu, imigrasi, dan lain-lain. Migrasi semua data menuju single identity number (SIN) tak dapat ditawar lagi sehingga basis kebijakan dibuat berdasarkan data yang sahih dan tak mengundang multiinterpretasi.
Momentum krisis membuka peluang kaji ulang dan refleksi semua kebijakan dihubungkan dengan realitas dan kondisi bangunan sosial-ekonomi kita.
Kedua, struktur mikro-makro ekonomi menghendaki perubahan beleid radikal, fokus pada pendalaman sektor manufaktur dan substitusi impor berbahan baku lokal. Incremental capital-output ratio (rasio antara investasi yang dibutuhkan untuk setiap persen tambahan PDB) 6,4 persen dan simpanan investasi per PDB 34,8 persen hanya sanggup mendorong pertumbuhan ekonomi 5,4 persen per tahun. Capaian ini tak cukup untuk mengatasi endapan penyakit struktural bawaan, seperti defisit transaksi berjalan kronis, pengangguran terbuka dan terselubung, ketimpangan, pembesaran kelompok rentan miskin, dan terpaan krisis.
Kepala BKPM Bahlil Lahadalia menyebut realisasi investasi 2019 senilai Rp 809 triliun hanya sanggup menyerap 1 juta tenaga kerja. Pertumbuhan ekonomi 1 persen pada 2013 masih dapat menyerap 270.000 tenaga kerja. Namun, pada 2019, pertumbuhan sama hanya menyerap 110.000 tenaga kerja. Salah satu sebabnya, sebagian besar investasi tak teralokasi di sektor manufaktur dan padat karya.
Dihubungkan dengan pertumbuhan angkatan kerja rata-rata 2,2 juta orang per tahun dan transformasi pesat digitalisasi pekerjaan, pengangguran terselubung dan penumpukan pekerja sektor informal bakal menimbulkan persoalan besar.
Ketiga, krisis kali ini jangan sampai mengendurkan perhatian pada kesehatan ibu hamil, kecukupan asupan gizi anak balita, dan pendidikan berkualitas pada anak-anak usia dini. Puskesmas perlu jadi pangkalan pertama dan utama untuk keperluan mitigasi ini agar angka prevalensi tengkes yang masih tinggi (rata-rata satu penyandang dari empat anak balita) dapat dikurangi. Pengabaian atas masalah prioritas ini akan memusnahkan ekspektasi bonus demografi 2030-2035.
Keempat, gangguan sistem logistik akibat pembatasan sosial dan melemahnya daya beli telah menekan harga komoditas pertanian, peternakan, dan perikanan (Kompas, 4/5/2020). Tanpa ada krisis pun, nilai tukar komoditas pertanian tumbuh lamban, jauh tertinggal dari barang industri. Penurunan penghasilan petani dan peternak akan mengurangi gairah produksi dan mengancam ketahanan pangan.
Pengabaian atas masalah prioritas ini akan memusnahkan ekspektasi bonus demografi 2030-2035.
Kebijakan hulu-hilir pertanian belum menyentuh hakikat dan menjadikan petani sebagai subyek utama perubahan. Liberalisasi pasar berulang kali membuat petani dan peternak menjadi korban. Skema penjaminan harga jual agar petani mendapatkan keuntungan wajar tidak optimal.
Perum Jamkrindo yang ditunjuk menjadi penjamin dan pengelola resi gudang sejak 2016 belum efektif menjalankan perannya. Sebanyak 123 gudang yang dikelola Jamkrindo menganggur karena tidak mendapat dukungan penyertaan modal.
Ketahanan pangan selalu menjurus situasi kritis antara lain karena daya dukung lahan kian merosot dan tak ada strategi terencana untuk mulai menggarap lahan sub-optimal (lahan kering, rawa pasang surut dan nonpasang surut) dengan luas jutaan hektar di luar Jawa.
Kegagalan proyek sawah sejuta hektar di Kalimantan pada era Orde Baru dan rice estate di Papua satu dekade silam seolah memupus upaya ke arah itu. Padahal, kemajuan teknologi pertanian dalam pengadaan benih yang sesuai, olah lahan, injeksi input, dan adaptasi agroklimat telah berkembang pesat dan memungkinkan dimulainya revolusi biru skala besar.
(Suwidi Tono, Koordinator Forum ”Menjadi Indonesia”)