Lemahnya ikatan & loyalitas pemilih terhadap parpol menunjukkan pentingnya kualitas kandidat utk mendapat dukungan pemilih. Parpol harus mempraktikkan rekrutmen politik inklusif. Membuka akses nonkader dalam pencalonan.
Oleh
WAWAN SOBARI
·4 menit baca
Perbedaan pendapat antara pollsters nasional dan petinggi partai politik mengenai elektabilitas figur calon presiden 2024 mengulang situasi sebelum Pemilihan Presiden 2014. Saat itu, figur Joko Widodo memiliki tingkat elektabilitas menonjol. Namun, ia tidak otomatis mendapat dukungan parpol dalam pencalonannya.
Situasi yang sama muncul mendekati tahun politik 2024. Di antara tiga figur yang ’merajai’ jajak opini nasional mengenai elektabilitas kandidat presiden 2024, dua di antaranya belum memiliki dukungan parpol. Survei SMRC, Indikator Politik, dan Litbang Kompas sejak Maret 2020 menunjukkan konsistensi dukungan ke Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Posisi elektabilitas Ganjar dan Anies yang menonjol seperti membayangi keputusan para petinggi parpol. Di satu sisi, pendapat publik menunjukkan dukungan yang kuat pada keduanya. Di sisi lain, parpol masih bertahan dengan figur-figur kader politisi pilihannya.
Dalam literatur Ilmu Politik, viabilitas didefinisikan sebagai peluang pencalonan kandidat oleh parpol dalam pemilu.
Viabilitas
Menemukan titik kompromi antara suara publik (nilai elektabilitas) dan kepentingan parpol sebenarnya bisa dilakukan melalui viabilitas. Dalam literatur Ilmu Politik, viabilitas didefinisikan sebagai peluang pencalonan kandidat oleh parpol dalam pemilu. Di mata pemilih, viabilitas berarti persepsi terhadap kesempatan kandidat dinominasikan oleh parpol.
Pengukuran viabilitas jarang digunakan dalam riset-riset opini di Tanah Air. Perbedaan sistem pemilu dan pola perekrutan politik menyebabkan viabilitas kurang relevan.
Aturan dan praktik pemilu tidak ’memaksa’ parpol melakukan pemilihan pendahuluan (primary) untuk figur-figur bakal kandidat. Pun, masih kuatnya peran elite parpol mencegah perekrutan politik terbuka berdasarkan viabilitas.
Meskipun demikian, hasil riset opini nasional secara implisit menunjukkan sinyal viabilitas kepada parpol. Dua hasil survei Indopol (November 2021 dan Januari 2022) secara konsisten menyebut kepala daerah dan TNI sebagai latar belakang figur yang layak menjadi presiden. Kedua rekam jejak kepemimpinan itu menempati pilihan paling menonjol dibandingkan tokoh parpol, pengusaha, tokoh agama, aktivis, dan Polri.
Selain itu, riset opini Indopol (Januari 2022) menunjukkan kombinasi latar belakang kandidat presiden-wakil presiden konsisten dengan pilihan latar belakang. Simulasi pasangan kandidat presiden-wakil presiden dengan latar belakang kepala daerah-kepala daerah mengungguli pasangan dengan latar belakang lainnya (TNI-parpol/pengusaha).
Indikasi viabilitas lainnya bisa dilihat dari dukungan konstituen parpol terhadap figur bakal kandidat presiden. Simulasi lima nama capres (ditambah Airlangga Hartarto dan Puan Maharani) dalam jajak pendapat SMRC (Desember 2021) menunjukkan dukungan lintas parpol terhadap mereka.
Dukungan konstituen PDI Perjuangan (PDI-P) terhadap Ganjar (46 persen) lebih tinggi dibandingkan dukungan terhadap Puan (10 persen). Pun, dukungan konstituen Golkar terhadap Prabowo (45 persen) melebihi dukungan terhadap Airlangga (3 persen).
Kurang berperannya parpol dalam mendorong elektabilitas dibandingkan pengenalan dan karakteristik keunggulan kandidat tidak terlepas dari lemahnya identifikasi terhadap parpol (Stone, 1983; Marshall, 1983; Norrander, 1986).
Lemahnya keterikatan dan loyalitas pemilih terhadap parpol menunjukkan pentingnya kualitas kandidat untuk mendapat dukungan pemilih.
Eksperimen SMRC (Desember 2021) menunjukkan hasil serupa. Pengujian statistik kualitas calon (empati, integritas, kapabilitas, dan religiositas) berpengaruh terhadap dukungan pemilih parpol kepada capres. Sebaliknya, dukungan pemilih kepada calon yang diusung parpol menurun signifikan jika kandidat itu kurang berkualitas.
Merujuk pada hasil-hasil survei tersebut, parpol perlu mengubah cara pandangnya terhadap elektabilitas figur kandidat. Perspektif keserasian antara persepsi pemilih terhadap kesempatan kandidat dinominasikan oleh parpol dan keputusan kandidasi parpol lebih realistis. Bukti-bukti riset opini mendukung kuatnya kedaulatan pemilih ketimbang suara para petinggi parpol.
Bukti-bukti riset opini mendukung kuatnya kedaulatan pemilih ketimbang suara para petinggi parpol.
Perekrutan inklusif
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 mengatur perekrutan politik oleh parpol terhadap anggota, bakal calon legislator, kepala daerah dan wakil, serta presiden dan wakil. Penyelarasan elektabilitas merupakan sepenuhnya domain parpol. Dalam praktiknya, parpol bisa mengakomodasi viabilitas dari sudut pandang pemilih.
Di luar strategi politik pemenangan pemilu, penyelarasan elektabilitas figur (viabilitas menurut pemilih) dan kepentingan parpol merupakan pemenuhan sisi normatif kandidasi. Parpol harus mempraktikkan perekrutan politik inklusif.
Perekrutan inklusif dilakukan melalui afirmasi politik. Parpol mengambil kebijakan internal untuk memberikan akses yang sama terhadap peluang dan sumber daya bagi kader ataupun nonkader dalam pencalonan. Figur dengan dukungan suara publik yang kuat, tetapi bukan kader, perlu mendapat diskriminasi positif agar memiliki kesejajaran kesempatan dan akses kandidasi dari parpol.
Supriyanto
Parpol tak perlu khawatir adanya perbedaan visi dengan figur nonkader. Meskipun berbeda latar belakang, parpol sudah memiliki mekanisme internalisasi nilai dan ideologi bagi siapa pun, termasuk individu bukan kader.
Argumen lainnya, praktik perekrutan inklusif sebenarnya bukan praktik baru. Dalam setiap pembentukan kabinet, presiden dan wakil presiden terpilih mengafirmasi kalangan profesional nonparpol. Dengan kata lain, kompetensi merupakan argumen afirmatif bagi pemimpin terpilih saat merekrut individu profesional menjadi pembantunya.
Terakhir, perekrutan inklusif dengan mempertimbangkan viabilitas sulit dihindari pada era digital yang memediasi arus informasi bergerak cepat dan kompleks. Model viabilitas Dowdle dkk (2009) menjelaskan bahwa preferensi warga terhadap figur bakal kandidat merupakan fungsi dari kecocokan dan tanggapan mereka terhadap informasi tentang kandidat. Berita media dan aktivitas pencitraan figur mentransmisi informasi kepada pemilih.
Terakhir, perekrutan inklusif diharapkan mampu melahirkan presiden inklusif.
Wawan Sobari Dosen Bidang Politik Kreatif FISIP Universitas Brawijaya