Indonesia tengah memainkan peran untuk mengatasi salah satu krisis global. Kita harus piawai menyeimbangkan peran pada tingkat lokal, nasional, dan global, baik pada level pemikiran maupun sampai tindakan.
Oleh
ASVI WARMAN ADAM
·5 menit baca
Pada masa ketika segala sesuatu yang bersifat lokal, nasional, dan global sudah tersambung tanpa sekat dan batas, yang diperlukan sebuah bangsa adalah kepiawaian mengelola keseimbangan di antara ketiganya. Dalam sejarah Indonesia, kebangsaan itu mulanya tumbuh di tingkat lokal.
Pada 1928 diikrarkan Sumpah Pemuda bahwa kita satu bangsa oleh para pemuda yang berasal dari organisasi kedaerahan (Jong Java, Jong Batak, Jong Ambon, dan seterusnya). Tahun 1945 nasionalisme itu berbuah kemerdekaan. Setelah proklamasi ada gangguan dari penjajah Belanda ataupun pemberontakan secara internal, tetapi kita sudah melewati semua bahaya itu dengan selamat.
Tahun 1955 Indonesia menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika (KAA), konferensi internasional pertama yang diadakan negara bekas terjajah di negara mereka sendiri. Pertemuan itu menjadi inspirasi banyak negara di Asia dan Afrika untuk merdeka. Republik Indonesia telah berperan secara global sebagai kampiun dunia ketiga dan negara-negara nonblok. Momentum KAA itu digunakan untuk kampanye pembebasan Irian Barat.
Di PBB Soekarno juga menawarkan Pancasila kepada dunia.
Pada tingkat global, kita menyuarakan adanya daerah (lokal) yang masih belum masuk ke dalam Republik (nasional). Dalam sidang umum PBB 1960 Presiden Soekarno berpidato tentang tata dunia baru (To Build The World Anew). Indonesia mempersoalkan mengapa negara penduduk terbesar di dunia (China) tak (lagi) jadi anggota PBB. Gagasan Indonesia baru terealisasi 11 tahun kemudian. Di PBB Soekarno juga menawarkan Pancasila kepada dunia.
Irian Barat berada di pangkuan Ibu Pertiwi 1 Mei 1963. Ini dikukuhkan dengan penentuan pendapat rakyat yang diselenggarakan 1969, dan kemudian disahkan PBB. Pada era Reformasi, Irian Barat berganti nama Papua. Para pendahulu kita telah berjuang mati-matian sejak 1949 sampai 1969 agar wilayah itu secara resmi jadi bagian dari NKRI. Namun, mengapa kini kita tak mampu mewujudkan perdamaian di tempat itu?
Heryunanto
Flu Spanyol
Pandemi 1918 yang dikenal sebagai flu Spanyol bukanlah wabah baru di dunia, demikian pula di Hindia Belanda. Ketika berhadapan dengan narasi tentang pandemi 1918, pembaca niscaya akan membandingkannya dengan kondisi sekarang saat Covid-19 melanda dunia.
Pandemi influenza 1918 mula-mula berkembang di Kansas, AS, kemudian menyebar melalui tentara AS yang ikut terlibat Perang Dunia di Eropa. Beberapa negara di Eropa keberatan menyiarkan penyebaran wabah ini karena berada dalam suasana peperangan. Spanyol membolehkan pers meliputnya sehingga wabah ini kemudian dikenal publik sebagai flu Spanyol. Menyebar ke Hindia Belanda melalui pelabuhan tahun 1918, mulai mereda pertengahan 1919.
Jumlah korban pandemi 1918 di seluruh dunia berkisar 20 juta-50 juta jiwa. Jumlah yang sangat besar ini disebabkan oleh masih buruknya pelayanan medis masa itu, suasana perang mengakibatkan penelitian kesehatan terhenti, dan tenaga kesehatan lebih terfokus bekerja merawat korban perang. Colin Brown (1987) menyebut korban meninggal akibat flu Spanyol 1,5 juta jiwa. Namun, belakangan Siddharth Chandra (2013) memperkirakan 4 juta orang.
Pada 2 Maret 2020 Presiden Jokowi mengumumkan dua warga Indonesia positif terinfeksi Covid-19. Wabah yang mula-mula berjangkit di Wuhan, China, kemudian menyebar ke seluruh dunia melalui bandar udara. Pandemi melumpuhkan aktivitas dunia dalam seketika. Efek wabah begitu masif, hampir tak ada sektor kehidupan yang tak terdampak.
Wabah ini membuat tata kehidupan semua bangsa porak poranda. Agar selamat, manusia harus membatasi pergerakan dan pergaulan. Dua tahun setelah menyebabkan lockdown di banyak kota di dunia, pandemi mulai mengarah ke endemi. Penyakit masih ada, tetapi secara bertahap sudah bisa dikendalikan penyebarannya.
Kedua pandemi itu memiliki kemiripan dalam respons awal dan mitigasi pemerintah yang lamban, kebijakan kesehatan yang tidak efektif, kurangnya komunikasi antara pemerintah dan masyarakat, sekumpulan orang dan perusahaan yang tak bertanggung jawab mengambil keuntungan pribadi dari situasi krisis tersebut.
Dalam perkembangan waktu, sudah terjadi perubahan. Pemerintah mulai bisa mengendalikan; melakukan tindakan pengobatan dan pencegahan.
Didie SW
Berbeda dengan pandemi 1918, dampak Covid-19 lebih menyeluruh. Aktivitas pendidikan secara tatap muka terganggu dan karena itu ditanggulangi dengan cara daring. Dulu cukup sulit dan mahal untuk mengundang seorang profesor dari luar negeri berbicara di sebuah seminar di Indonesia, kini dengan mudah itu dilakukan lewat Zoom. WFH (work from home) menggantikan WFO (work from office).
Apa yang berbeda?
Sampai Maret 2022, Covid-19 telah menyebabkan kematian 6 juta warga dunia termasuk 150.000-an penduduk Indonesia. Di Indonesia dalam catatan per 6 April 2022 telah dilakukan vaksinasi pertama terhadap 197 juta orang dan vaksinasi kedua 160 juta, vaksinasi ketiga 25 juta. Vaksinasi massal ini akan mengarah terbentuknya kekebalan kelompok.
Namun, pada saat Covid-19 mulai melandai, terjadi perang Rusia-Ukraina. Kita belum mengetahui kapan perang ini akan berakhir, tetapi dampaknya sudah terasa, antara lain dengan meningkatnya harga minyak dunia yang berimbas ke ekonomi internasional. Jadi, tahun 2022 perang berkecamuk di akhir pandemi, sementara pada 1918, pandemi muncul di akhir perang.
Secara nasional yang berbeda dari pandemi masa lalu, ketika berjuang melawan Covid-19, pemerintah memulai gerakan perpindahan ibu kota. Sesuatu yang sudah dipikirkan dan dirancang Presiden Soekarno tahun 1957. Wacana baru terwujud 65 tahun kemudian. Tujuan pemindahan ibu kota ke Kalimantan adalah menempatkannya di tengah Indonesia, menggeser pembangunan nasional ke tengah dan timur Tanah Air.
Secara historis, pemindahan ibu kota merupakan tonggak sejarah yang penting yang dalam tahapannya akan memiliki dampak besar dan lama.
Secara historis, pemindahan ibu kota merupakan tonggak sejarah yang penting yang dalam tahapannya akan memiliki dampak besar dan lama. Jadi, pemerintah dan bangsa Indonesia telah mengubah bencana menjadi prakarsa. Keberhasilan atau kegagalan proyek kenegaraan ini di masa mendatang akan tercatat dalam sejarah.
Setelah melakukan kunjungan kenegaraan ke Jerman akhir Juni 2022, Presiden Jokowi akan bertemu Presiden Ukraina dan Presiden Rusia. Mungkin pembicaraan mereka tak mengakibatkan perang terhenti seketika seperti jatuhnya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Jokowi tak punya bom, tetapi sesuatu untuk ditawarkan sebagai solusi perdamaian.
Dunia akan menyoroti pertemuan tingkat tinggi itu, Indonesia tengah memainkan peran untuk mengatasi salah satu krisis global. Kita harus piawai menyeimbangkan peran pada tingkat lokal, nasional, dan global, baik pada level pemikiran maupun sampai tindakan.
Indonesia bersama Malaysia adalah penghasil kelapa sawit terbesar di dunia. Namun, mengapa pemerintah tidak berdaya mengatasi masalah kenaikan harga minyak goreng di dalam negeri? Keseimbangan antara peran lokal, nasional, dan global tersebut tidak terlihat dalam kasus ini.
(Asvi Warman Adam,Profesor Riset Bidang Sejarah Sosial Politik BRIN)