Indonesia perlu menjadikan sejarah pandemi flu spanyol pada 1918-1920 sebagai dasar kebijakan menangani Covid-19 saat ini. Kunci pengendalian pandemi ialah keterbukaan informasi dan strategi mitigasi yang tepat.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, perlu menjadikan sejarah kejadian pandemi flu spanyol pada 1918-1920 sebagai pijakan dalam mengambil kebijakan menangani Covid-19 saat ini. Kunci dari pengendalian endemi dan pandemi adalah informasi yang terbuka dan akurat serta penguatan kajian dari berbagai sudut pandang.
Hal tersebut mengemuka dalam bedah buku Perang Melawan Influenza Pandemi Flu Spanyol di Indonesia karya sejarawan Ravando yang diselenggarakan secara daring, Senin (28/9/2020). Selain penulis buku, diskusi juga menghadirkan pengajar Departemen Sejarah dan Filologi Universitas Padjadjaran, Gani Jaelani.
Ravando mengemukakan, sejak awal abad ke-19, sejumlah surat kabar telah berulang kali melaporkan wilayah Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda sudah mengalami serangan pandemi, mulai dari kolera, tikus, hingga cacar air. Pada Desember 1918, koran Shin Po yang merupakan harian terbesar saat itu juga sempat memublikasikan artikel terkait dengan sejarah pandemi influenza di dunia.
”Selama kurun abad ke-19, sempat terjadi lima pandemi influenza yang menjangkiti berbagai belahan dunia. Namun, dari semua pandemi influenza tersebut, flu spanyol yang paling mematikan, baik dari segi morbiditas maupun mortalitasnya,” ujarnya.
Penyebaran flu spanyol di Hindia Belanda terjadi dalam dua gelombang utama. Gelombang pertama terjadi pada Juli-September 1918 dan gelombang yang lebih masif terjadi pada tahap kedua Oktober-Desember 1918. Di beberapa wilayah di timur Hindia Belanda dilaporkan virus masih menyebar hingga awal 1919.
Burgerlijken Geneeskundigen Dienst (BGD, Dinas Kesehatan Hindia Belanda), sebenarnya telah mendapat peringatan berupa telegram terkait dengan penyebaran virus ini dari konsulat di Hong Kong dan Singapura. Namun, pemerintah kolonial mengabaikan peringatan tersebut dan tidak menerapkan strategi apa pun sehingga kegagapan terjadi ketika virus akhirnya masuk melalui jalur laut.
”Diduga kuat kapal laut yang membawa kuli-kuli dari Singapura menjadi penyebab utamanya. Hanya dalam waktu singkat, virus tersebut sudah menjangkiti Medan sebelum menjalar ke seluruh Sumatera, Jawa, hingga Kalimantan,” katanya.
Colin Brown dalam penelitiannya pada 1980-an memperkirakan 1,5 juta penduduk Hindia Belanda menjadi korban dari pandemi flu spanyol. Siddhart Chandra dari Michigan State University kemudian mengalkulasikan kembali pada 2013 dan menyimpulkan angka mortalitas di Indonesia mencapai 4,3 juta jiwa dengan tingkat kematian tertinggi di Madura, Banten, Kediri, dan Surabaya.
Pandemi flu spanyol yang muncul saat Perang Dunia Pertama (PD I) ini disebabkan oleh virus H1N1 dan diduga kuat menginfeksi lebih dari 500 juta penduduk atau sepertiga populasi dunia saat itu. Tingkat kematian pandemi flu spanyol mencapai 20 persen dari total penduduk yang terinfeksi. Para peneliti ataupun sejarawan memprediksi angka kematian akibat flu spanyol lebih banyak dibandingkan dengan korban PD I.
Menurut Ravando, PD I diduga kuat berkontribusi menyebarkan virus penyebab flu spanyol dari satu tempat ke tempat lainnya. Meski perang tersebut terjadi di Eropa, banyak terdapat tentara rekrutan yang berasal dari negara-negara di Asia. Tingginya mobilitas tentara membuat flu spanyol cepat menyebar ke negara-negara lain.
”Ketika flu ini mencapai puncaknya pada akhir 1918, sangat terlihat kegagapan sejumlah negara dalam menghadapi virus ini. Namun, sejarah menunjukkan, negara yang menerapkan pencegahan dan strategi mitigasi secara tepat terbukti dapat menekan angka morbiditas dan mortalitas di negaranya,” tuturnya.
Belajar dari sejarah
Gani Jaelani menyatakan, ulasan pandemi flu spanyol di Indonesia menunjukkan ada sikap abai dan respons lambat dari pemerintah kolonial dalam menyikapi penyakit. Sikap abai ini mengakibatkan banyaknya angka kematian akibat flu spanyol di Hindia Belanda.
Gani juga memandang bahwa sikap antisains kerap muncul saat pandemi. Hal ini juga ditunjukkan pada pandemi flu spanyol ketika masyarakat saat itu lebih mengaitkan kejadian supranatural atau mistis dalam menyikapi suatu penyakit.
Sejarah menunjukkan, negara yang menerapkan pencegahan dan strategi mitigasi secara tepat terbukti dapat menekan angka morbiditas dan mortalitas di negaranya.
Dalam konteks pandemi Covid-19 saat ini, Gani menegaskan pentingnya menjadikan pengalaman masa lalu sebagai pijakan untuk mengambil kebijakan masa kini. Sebab, selalu ada kemiripan dalam sejarah penyebaran penyakit. Namun, saat ini Indonesia dinilai belum menjadikan kajian sejarah sebagai pijakan.
”Mungkin kita sering mendengar pernyataan kalau kita tidak siap karena Covid-19 belum pernah terjadi sebelumnya. Covid-19 memang belum pernah terjadi, tetapi penyakit sejenis pernah terjadi dan kita bisa belajar dari sini,” ujarnya.