Tuntutan untuk menggunakan tinjauan masa depan dalam hukum semakin kuat seiring perkembangan global yang semakin dipenuhi ketidakpastian, dan adopsi teknologi. Ini penting untuk tatanan masa depan yang lebih baik.
Oleh
SAFARI KASIYANTO
·5 menit baca
”Het recht hink achter de feiten aan”. Hukum selalu tertinggal dibandingkan realitas sosial. Yang pernah mengenyam sekolah hukum, pasti mafhum dengan adagium berbahasa Belanda ini.
Bukan celaan, justru adagium ini menunjukkan kekurangan, kelemahan hukum. Satu dan lain sebab, hukum disusun berdasarkan peristiwa masa lalu, pengetahuan tacit manusia. Bahkan dalam hukum pidana, suatu perbuatan tidak dapat dipidana jika belum ada aturan hukumnya. Ini dikenal dengan sebutan ”nullum delictum noella penna sin previa lege poenalli”. Asas legalitas pada hukum pidana. Secara umum, sangat jarang terjadi aturan hukum diterapkan berdasarkan tinjauan masa depan.
Tetapi, tatanan ini, dewasa ini mulai terkikis. Muncul suatu tuntutan baru, harapan baru. Setidaknya pada level keilmuan. Sebagaimana pada ilmu-ilmu lainnya, seperti ekonomi atau kedokteran, ilmu hukum dituntut mampu mengantisipasi masa depan. Orang-orang di sekolah hukum mulai mempelajari hal ini. Bagaimana suatu prinsip/aturan hukum dapat diterapkan pada suatu peristiwa atau tatanan, di masa depan.
Bagi keilmuan lain, ini bukan hal yang baru atau aneh. Di bidang kedokteran, misalnya, analisis atas virus Covid-19 tidak bisa hanya terhenti pada varian Delta. Muncul varian-varian baru seperti Omicron dan subvarian BA.4 serta BA.5. Berbagai laboratorium, milik pemerintah atau swasta, terus mempelajari evolusi ini. Menganalisis, bagaimana mencegah penyebarannya di masyarakat.
Begitu pula di bidang ekonomi. Saat ini, pemerintah dan bank sentral disibukkan untuk mengantisipasi kebijakan ekonomi negara maju. Bagaimana jika negara maju melakukan normalisasi kebijakan ekonomi dari pandemi Covid-19 lebih cepat? Apa dampak buruknya terhadap perekonomian Indonesia? Bagaimana pemerintah dapat mencegah dampak buruk tersebut?
Kebijakan antisipatif adalah kuncinya. Sebagaimana kita tahu, sesuatu yang bersifat antisipatif selalu berdasarkan pada kemampuan meninjau masa depan. Akhir-akhir ini, orang-orang menyebutnya dengan ”foresight”.
Bagaimana dengan hukum? Apakah ada tinjauan masa depan dalam hukum? Jika ada, apakah tidak bertentangan dengan adagium hukum selalu tertinggal dan asas legalitas tadi?
Tuntutan untuk menggunakan tinjauan masa depan dalam hukum semakin kuat. Kita tidak dapat mengabaikannya begitu saja. Sekolah-sekolah hukum terkemuka di dunia bahkan mulai menginisiasi hal ini. Harvard, misalnya, Pusat Studi Berkman senantiasa mencari terobosan penerapan hukum di era digital. Demikian pula Universitas Stanford dengan program Code-X. Kedua pusat studi/program ini fokus pada penggunaan teknologi informatika oleh masyarakat, seperti internet.
Mengapa tuntutan penggunaan tinjauan masa depan dalam hukum terjadi?
Tuntutan untuk menggunakan tinjauan masa depan dalam hukum semakin kuat. Kita tidak dapat mengabaikannya begitu saja.
Ketidakpastian
Pertama, perkembangan global semakin dipenuhi dengan ketidakpastian. John Paulos, profesor matematika asal Amerika Serikat (AS), pada tahun 2003 menulis: ketidakpastian itu sendiri adalah kepastian; hidup berdampingan dengan ketidakmapanan adalah kemapanan. Contoh ungkapan ini nyata di depan kita.
Siapa sangka, pandemi Covid-19 melanda dunia pada awal 2020. Mobilitas masyarakat terhenti, kesehatan manusia sempat di ujung tanduk. Ekonomi dunia terpuruk. Ketidakpastian melanda. Siapa juga yang sangka, akhir Februari lalu Rusia menginvasi Ukraina. Krisis energi pun melanda Eropa. Ketidakmapanan di mana-mana.
John Paulo benar, ketidakpastian adalah kepastian yang baru. Hidup dengan ketidakmapanan adalah sebuah kemapanan.
Adopsi teknologi
Apa pendorong ketidakpastian selain hal-hal di luar kuasa manusia seperti pandemi dan perang? Jawaban yang paling padan adalah adopsi teknologi. Inovasi teknologi di bidang nano, bio, dan informasi disebut-sebut akan menciptakan renaisans baru. Revolusi industri gelombang keempat.
Adopsi atas inovasi ini mendisrupsi berbagai bidang: usaha, investasi, interrelasi manusia, bahkan bisa merusak tatanan hukum yang ada. Puisi berikut, yang disampaikan kepada Perpustakaan Kongres Amerika Serikat pada tahun 1979, hanyalah sebuah contoh:
Salah satu contoh fenomenal adopsi teknologi adalah penggunaan uang digital untuk transaksi ekonomi. Uang digital memungkinkan pembayaran instan antar-orang yang berjauhan, dalam hitungan detik. Dari mana saja, kapan saja, 24/7, tanpa tatap muka.
Adanya pandemi juga telah memaksa kebanyakan orang menjadi melek digital. Bank Indonesia mencatat, penggunaan uang digital (dalam arti luas) di Indonesia sangat luar biasa. Bulan April lalu, penggunaan uang elektronik meningkat di atas 50 persen, mencapai Rp 34 triliun. Penggunaan layanan perbankan digital bahkan meningkat lebih dari 70 persen, mencapai Rp 5,3 kuadriliun. Angka yang sangat fantastis.
Kecukupan tatanan hukum
Ketidakpastian dan adopsi teknologi yang luar biasa tersebut harus dibarengi dengan kecukupan tatanan hukum. Tatanan ini setidaknya mencakup seperangkat aturan, pelaksanaan, dan jika perlu, upaya pemaksanya. Untuk bisa mencapai ini, kemampuan meninjau masa depan dalam hukum menjadi suatu keniscayaan. Bukan lagi sekadar kebutuhan.
Anehnya di Indonesia, tinjauan masa depan dalam hukum malah terjadi pada level penegakannya. Misalnya, mencuatnya fenomena gugatan warga negara melawan pemerintah. Ini dikenal sebagai citizen lawsuit (CSL). Meski diadopsi dari sistem hukum Anglo Saxon, mekanisme ini terbukti efektif diterapkan di Indonesia.
Salah satu kasus CSL yang terkenal adalah BPJS. Pada tahun 2011, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan gugatan warga. Pemerintah dianggap lalai tidak segera menerbitkan undang-undang BPJS. Padahal, kewajiban terdaftar BPJS telah dibebankan kepada penduduk.
Menurut saya, kegagalan pemerintah dalam melihat masa depan, menyebabkan kelalaian ini. Ketika kewajiban kepada warga negara dibebankan, sudah semafhumnya dikeluarkan undang-undang yang mengaturnya. Meskipun, putusan tersebut kemudian dianulir oleh pengadilan tinggi dan UU BPJS diterbitkan.
Sebagai penutup, bibit-bibit tinjauan masa depan dalam hukum mulai muncul. Zuriah ini harus terus dipupuk supaya hukum modern mampu menjadi instrumen untuk rekayasa sosial. Bukan hanya seonggok aturan yang selalu ketinggalan zaman. Ini adalah cita-cita Roscoe Pound, seorang pendidik dan ahli hukum dari AS. Tinjauan masa depan dalam hukum akan mampu melahirkan tatanan masa depan yang lebih baik. Semoga.
Safari Kasiyanto, Rekan Ekstramural pada Pusat Studi Hukum dan Ekonomi Universitas Tilburg, Belanda; Peneliti Ahli di Bank Indonesia