Indonesia, Kekuatan Penyeimbang di Tengah Polarisasi Dunia
Potensi pecahnya konflik terbuka antara China dan beberapa negara Asia Tenggara telah menimbulkan kekhawatiran. Indonesia ingin memiliki kesempatan yang sama dalam mengupayakan kerja sama dan mengecilkan rivalitas.
Indonesia mengkhawatirkan tatanan masa depan dunia. Kekhawatiran itu diungkapkan Menteri Pertahanan (Menhan) RI Prabowo Subianto pada Shangri-La Dialogue di Singapura, 10-12 Juni 2022, merujuk pada konflik terbuka yang saat ini terjadi antara Ukraina dan Rusia, serta terbentuknya aliansi-aliansi baru sebagai respons atas meningkatnya rivalitas antara AS dan China di kawasan Indo-Pasifik.
”Dunia sudah cukup menyaksikan persaingan yang terjadi di antara bangsa-bangsa. Lalu, mengapa kita tidak bekerja sama untuk menciptakan dunia yang lebih baik, bagi anda, saya, mereka, dan terlebih anak cucu kita semua,” ujarnya saat berbicara dalam diskusi panel yang diselenggarakan The International Institute for Strategic Studies (IISS).
Forum IISS—yang lebih dikenal sebagai Shangri-La Dialogue—merupakan forum pertahanan dan keamanan di Asia Pasifik. Selain Menhan RI, juga hadir Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida, Menhan AS Lloyd Austin, Menhan China Wei Fenghe, dan Menhan Australia Richard Donald Marles.
Menhan kembali menekankan diplomasi luar negeri RI yang Bebas dan Aktif.
Dalam forum tersebut, Menhan RI menyerukan bangsa-bangsa untuk mengedepankan dialog dalam mengatasi intensitas konflik dunia yang semakin memanas. Seruan ini sejalan dengan sikap pemerintahan Presiden Joko Widodo yang mengedepankan perundingan dan diplomasi untuk menghentikan konflik dan mengutamakan penyelesaian damai.
Menhan kembali menekankan diplomasi luar negeri RI yang Bebas dan Aktif. Konsepsi ini sekaligus menguatkan diplomasi pertahanan Indonesia yang tak akan membangun aliansi pertahanan dengan kekuatan dunia mana pun. Penegasan ini sekaligus menjawab posisi Indonesia yang konsisten di tengah meningkatnya tensi keamanan global sebagai dampak persaingan dari dua kekuatan besar dunia, AS dan China.
Aliansi-aliansi dimaksud adalah AUKUS, yang beranggotakan Australia, Inggris, dan AS sebagai kekuatan besar. Meskipun aliansi ini dimafhumkan sebagai deklarasi pemberian teknologi dan lompatan kemampuan tempur Australia yang sangat luar biasa, tak dapat dimungkiri bahwa hadirnya AUKUS bersamaan dengan meningkatnya agresivitas China di Laut China Selatan.
Aliansi lainnya, Dialog Keamanan Segi Empat (The Quadrilateral Security Dialogue/Quad), sebenarnya bukan bentukan baru seperti AUKUS. Secara formal, Quad yang beranggotakan Australia, India, Jepang, dan AS merupakan bentuk kemitraan longgar, ditujukan untuk memberikan bantuan kemanusiaan dan mempercepat pemulihan India yang terdampak tsunami pada 2004.
Gagasan mengkristalkan Quad lahir pada 2007. Keempat negara ini telah mempromosikan kerja sama di berbagai bidang, termasuk infrastruktur yang berkualitas, keamanan maritim, kontra-terorisme, keamanan siber, bantuan kemanusiaan, dan penanggulangan bencana, dengan tujuan mewujudkan sebuah ”Indo-Pasifik Bebas dan Terbuka (FOIP)”, slogan yang sekaligus menunjukkan sikap Quad dalam merespons pengaruh regional China yang berkembang.
Khusus Asia Tenggara, potensi pecahnya konflik terbuka antara China dan beberapa negara Asia Tenggara telah menimbulkan kekhawatiran tersendiri karena meningkatnya tren saling klaim atas wilayah. Terkait isu domestik, kekhawatiran atas rawannya keamanan nasional terpicu oleh meningkatnya tensi keamanan di Laut Natuna Utara dan pelanggaran batas wilayah di Zona Ekonomi Eksklusif milik Indonesia oleh kapal-kapal berbendera asing.
Baca juga: Rancangan Pertahanan IKN Perlu Berwawasan Regional
”Smart power” vs ”sharp power”
Dalam diskursus internasional saat ini, kaum realis melihat hubungan internasional sejatinya terjadi untuk mempertahankan keberlangsungan dan eksistensi sebuah negara (survival and existence of nation state). Penganut paham ini di antaranya Hans Morgenthau (realisme klasik) dan Kenneth Waltz (neorealisme).
Dalam teori Morgenthau, konsep ”kepentingan nasional” —didefinisikan sebagai kekuatan—menjadi tolok ukur motif dalam hubungan internasional, sedangkan Waltz menggambarkan persaingan dan konflik sebagai fitur yang bertahan lama, dan potensi kerja sama merupakan fitur yang terbatas.
Dengan kata lain, kaum realis beranggapan bahwa sistem internasional adalah anarki, di mana kepentingan nasional (domestik) menjadi acuan utama dalam membentuk karakter dan dinamika internasional. Oleh karena itu, karakter utama negara dalam dinamika internasional adalah ”perebutan kekuasaan” (struggle for power).
Sejarah peradaban manusia menunjukkan bahwa konsepsi ”perebutan kekuasaan” ini terus bermetamorfosis sebagaimana pola pendekatan kekuatan yang dilakukan untuk mencapai kekuasaan itu. Pola pendekatan kekuatan yang paling klasik adalah hard power, di mana perang konvensional menjadi bentuk paling riil dalam merebut kekuasaan.
Berakhirnya Perang Dunia II membawa pola baru dalam mekanisme merebut kekuasaan, yaitu pendekatan soft power, yang dipahami lebih pada penerapan prinsip-prinsip how to attract (melalui diplomasi di segala level) daripada bersifat koersif (kekerasan). Pola ini diuraikan Joseph S Nye Jr, pakar hubungan internasional dari AS yang pernah menjabat sebagai asisten menhan untuk urusan keamanan internasional.
Nye pulalah yang melahirkan konsepsi pendekatan baru: smart power, sebagai kombinasi dari perilaku coercive (hard power) dan attraction (soft power). Pendekatan smart power dilahirkan ketika perang tak lagi dilakukan oleh militer sebuah negara (state actor), tetapi oleh kelompok milisi bersenjata yang tak mewakili negara (non-state actors). Strategi ini dikenal dengan strategi perang asimetris, aktivitasnya tampak dalam serangan-serangan teror dan dilancarkan untuk melawan kekuatan sebuah negara.
Munculnya China sebagai fenomena kekuatan baru telah menambah model pendekatan yang oleh kacamata Barat sering disebut sebagai sharp power. National Endowment for Democracy (NED) pertama kali mempromosikan istilah sharp power ini pada 2017.
Pendekatan smart power dilahirkan ketika perang tak lagi dilakukan oleh militer sebuah negara ( state actor), tetapi oleh kelompok milisi bersenjata yang tak mewakili negara ( non-state actors).
Masih dari frame kelompok Barat, sharp power ini dilakukan melalui proses kooptasi yang ditargetkan pada kelompok masyarakat tertentu, terutama yang memiliki pengaruh, seperti media, akademisi, dan komunitas di suatu negara.
Implementasi dari pendekatan sharp power ini dalam praktik operasionalnya cenderung non-kekerasan, tetapi spektrum sasarannya lebih luas daripada perang konvensional (menggunakan pendekatan hard power), sebab mencakup segenap aspek kehidupan.
Perdebatan mengenai sharp power mengemuka setelah China dan Rusia kian gencar dalam mengupayakan perluasan pengaruh mereka secara global. Sharp power sendiri dipandang sebagai ”peran” yang dimainkan China dan Rusia dalam menghadapi negara-negara yang mengedepankan pendekatan smart power.
Berbagai diskursus internasional ini sedikit banyak telah membuka pemahaman kita tentang apa yang saat ini tengah berlangsung di dunia, dan pidato Prabowo telah sangat jelas menggambarkan gagasan Indonesia untuk tak melihat suatu kekuatan dominan mengubah dunia menjadi unipolar.
Sebaliknya, Indonesia, sebagaimana juga bangsa-bangsa lain di dunia, berkeinginan memiliki kesempatan yang sama dalam mengupayakan sikap yang mengedepankan kerja sama dan mengecilkan rivalitas. Hal ini sejalan dengan diplomasi luar negeri RI yang Bebas dan Aktif; dalam artian, Indonesia memiliki kebebasan untuk berteman dengan negara mana pun dan akan aktif untuk menjaga perdamaian dunia.
Sebagai bagian dari ASEAN, Indonesia telah menginisiasi ASEAN Outlook on the Indo-Pacific, yang menggambarkan cara pandang ASEAN tentang Indo-Pasifik karena mengadopsi prinsip-prinsip the ASEAN Ways, yakni sentralitas, keterbukaan, transparansi, inklusivitas, kerangka kerja berbasis aturan, tata kelola yang baik, menghormati kedaulatan, non-intervensi, kesetaraan, saling menghormati, saling percaya, saling menguntungkan, dan menghormati hukum internasional.
Shangri-La Dialogue tahun ini berlangsung di tengah perjuangan bangsa-bangsa di dunia dalam mengatasi pandemi Covid-19, yang telah berlangsung lebih dari dua tahun dan berdampak nyata pada berbagai aspek kehidupan umat manusia, secara ekonomi, sosial, dan, terutama, kesehatan.
Perdebatan mengenai sharp power mengemuka setelah China dan Rusia kian gencar dalam mengupayakan perluasan pengaruh mereka secara global.
Situasi pasca-Covid-19 dan isu-isu kemanusiaan lain inilah yang kemudian mengundang tanya, mengapa bangsa-bangsa di dunia tidak memperkuat kerja sama untuk menciptakan keadaan yang lebih baik bagi generasi penerusnya, padahal kekuatan-kekuatan besar dunia dapat menggunakan segenap sumber dayanya untuk melindungi kaum yang rentan.
Polarisasi dan demonstrasi kekuatan yang terjadi di dunia saat ini hanya akan mengembalikan umat manusia pada peradaban di mana kekuasaan dicapai melalui display kekuatan—tepatlah jika dikatakan, ”Those who do not remember the past are condemned to repeat it” (Mereka yang tidak mengingat masa lalu akan dikutuk untuk mengulanginya).
M Herindra Wakil Menteri Pertahanan Republik Indonesia