Konstitusi menyediakan jalur pembentukan hukum nasional secara cepat. Namun, ini tak boleh dilakukan dengan mengabaikan prinsip mendasar yang berlaku secara universal, yakni kontrol kewargaan dan kesetaraan politik.
Oleh
IDUL RISHAN
·4 menit baca
Sejak akhir tahun 2019, kinerja legislasi yang diperankan Presiden dan DPR menunjukkan perubahan cara kerja yang masif. Praktik pembentukan maupun perubahan undang-undang dilakukan dengan jangka waktu yang relatif sangat singkat. Semua tentu berawal dari perubahan UU KPK. Cara kerja demikian seolah menjadi standar baru Presiden dan DPR dalam pembentukan hukum nasional.
Intensi tersebut teridentifikasi melalui proses perubahan ketiga UU MD3 (MPR, DPR, DPR, dan DPRD), Perubahan UU Minerba (Pertambangan, Mineral, dan Batubara), Perubahan ketiga UU Mahkamah Konstitusi, Pembentukan UU Ibu Kota Negara (IKN), dan Perubahan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3).
Dari enam produk legislasi tersebut, tahapan-tahapan pembentukan UU dilalui dengan proses yang jauh lebih sederhana. Cara kerjanya lebih mengedepankan kompromi ketimbang perdebatan-perdebatan substantif antarfraksi. Dari enam produk legislasi di atas, tahapan pembahasan hingga persetujuan bersama antara presiden dan DPR rata-rata ditempuh kurang dari 10 hari kerja.
Dalam standar pembentukan peraturan perundang-undangan memang tidak ada batasan waktu secara definitif kapan berakhirnya sebuah proses pembentukan UU. Bahkan, regulasi hukum nasional kita juga mengadopsi metode carry over. Jika pembahasannya alot, sebuah RUU menjadi mungkin dibahas dalam periodisasi pemerintahan yang berbeda.
Artinya, bangunan pasal-pasal yang mengatur ritme kerja legislasi di UUD maupun yang diterjemahkan lebih lanjut melalui UU P3 jauh lebih menitikberatkan kepada pentingnya kualitas deliberasi ketimbang jangka waktu proses pembentukannya.
Di Indonesia, presiden memiliki kuasa legislasi dengan jalur cepat melalui pembentukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang melekat secara atributif dalam UUDN RI.
Namun, konstitusi pada umumnya memang selalu menyediakan jalan untuk mempercepat proses pembentukan sebuah hukum nasional dengan beragam pendekatan, terutama jika melihat konstitusi negara-negara yang menggunakan sistem presidensial. Konstitusi menyediakan jalur pembentukan hukum nasional secara cepat.
Di Indonesia, presiden memiliki kuasa legislasi dengan jalur cepat melalui pembentukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) yang melekat secara atributif dalam UUDN RI. Itu pun, penggunaannya sangat terbatas.
Kuasa itu dapat memberikan suspensi terhadap partisipasi publik sehingga menutup ruang deliberasi yang baik dalam pembentukan hukum nasional. Itu sebabnya kuasa pembentukan hukum secara cepat sebagaimana diatur dalam UUDN hanya boleh dilakukan dalam kondisi luar biasa atau sekurang-kurangnya tidak dapat ditangani dengan prosedur yang normal. Tanpa ”hal ihwal kegentingan yang memaksa”, proses pembentukan undang-undang harus ditempuh melalui jalur yang normal.
Transformasi
Persoalan kemudian timbul ketika transformasi kinerja legislasi presiden dan DPR telah menjelma dengan cara kerja yang menyederhanakan proses pembahasan sehingga menghasilkan persetujuan secara cepat dalam enam produk legislasi yang terekam dari 2019 hingga kini. Ada tiga faktor yang menyebabkan perubahan cara kerja legislasi.
Pertama, dipengaruhi oleh alasan pragmatisme lembaga politik. Proses pembentukan undang-undang secara cepat menjadi tren baru mengingat rendahnya capaian prolegnas di rentang waktu 2019 hingga tahun ini. Perubahan cara kerja ini dianggap sebagai jalan keluar untuk merampingkan beban legislasi yang potensial menumpuk di akhir periode pemerintahan.
Persoalan kemudian timbul ketika transformasi kinerja legislasi presiden dan DPR telah menjelma dengan cara kerja yang menyederhanakan proses pembahasan.
Kedua, dipengaruhi oleh sumbatan sirkulasi elite partai politik dengan warga negara sebagai pemegang kedaulatan. Pemaknaan ”kontrak sosial” dalam pembentukan hukum negara telah bergeser menjadi ”kontrak sepihak” yang seakan-akan telah dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi (Kim Lane Scheppele: 2018).
Ada ”barrier” yang tidak mampu menjembatani kepentingan kelompok elite tertentu dengan kepentingan masyarakat luas. Hal ini menyebabkan adanya pelonggaran partisipasi publik dalam pembentukan hukum negara.
Ketiga, tentu dipengaruhi oleh koalisi kepartaian yang menopang kinerja pemerintah. Absennya poros oposisi menjadikan proses pembentukan hukum negara dalam hal ini undang-undang justru menutup ruang perdebatan secara substantif antara presiden dan DPR.
Enam prinsip
Berkaca pada bentangan empirik di atas, transformasi kinerja legislasi yang dilakukan dalam proses dan cara kerja yang cepat tidak boleh dilakukan dengan mengabaikan prinsip mendasar yang berlaku secara universal, yakni kontrol kewargaan dan kesetaraan politik. Perubahan cara kerja pemerintah terhadap fungsi legislasi saat ini diharapkan tidak memengaruhi proses dan warna produk hukum yang responsif atas sebuah undang-undang.
Ada enam prinsip mendasar yang bisa menjadi acuan pembentukan hukum nasional di tengah transformasi kinerja legislasi saat ini. Pertama, legalitas yang menekankan pentingnya ketersediaan dasar hukum, metode, dan tehnik yang diatur dalam hukum nasional.
Kedua, validitas, yakni kepatuhan atas prosedur pembentukan hukum negara. Ketiga, partisipasi atau keterlibatan pemangku kepentingan dalam proses pengambilan keputusan politik. Keempat, akses keterbukaan atau pemenuhan terhadap informasi dalam setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan.
Kelima, kehati-hatian dalam perumusan norma dengan penggunaan bahasa dan struktur yang jelas. Keenam, akseptabilitas publik, dengan membuka ruang kontrol yang lebar atas tahapan-tahapan kinerja legislasi pemerintah.
Dengan demikian, perubahan cara kerja legislasi pemerintah diharapkan tidak mengurangi kualitas terhadap proses, apalagi hasilnya.
Idul Rishan, Pengajar di Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia