Meningkatkan Peringkat Perguruan Tinggi Kita
Ada sejumlah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan jika ingin peringkat perguruan tinggi kita semakin baik di tingkat global maupun ASEAN. Perlu strategi jangka panjang dan pendek yang sistematis guna menyelesaikannya.
Pada 8 Juni 2022, QS World University Rankings kembali mengumumkan peringkat universitas terbaik di dunia.
Posisi puncak ditempati Massachusetts Institute of Technology (MIT). Pada posisi sepuluh besar, perguruan tinggi di Amerika Serikat (AS) memborong lima tempat (posisi 1, 3, 5, 6, dan 10). Empat posisi terhormat lain ditempati perguruan tinggi dari Inggris (2, 4, 6, dan 8).
Ada dua perguruan tinggi bernilai sama pada peringkat keenam. Dua negara ini hanya menyisakan satu tempat di sepuluh besar, yakni untuk Swiss di urutan kesembilan.
Dari pengumuman ini, kabar baik datang untuk perguruan tinggi-perguruan tinggi elite kita. Universitas Gadjah Mada (UGM) menempati urutan ke-231, naik 23 peringkat dari tahun lalu, Institut Teknologi Bandung (ITB) naik 68 peringkat menjadi peringkat ke-235, dan Universitas Indonesia (UI) menjadi posisi ke-248. Capaian ini tentu saja menaikkan semangat kita untuk terus meningkatkan prestasi pada masa yang akan datang.
Kita selama ini masih saja terombang-ambing dengan kebijakan publikasi dosen di jurnal internasional bereputasi (JIB).
Posisi kita di ASEAN
Dengan capaian baru ini, bagaimana posisi perguruan tinggi kita di sepuluh besar ASEAN?
Seperti tahun-tahun sebelumnya, Singapura memborong posisi pertama dan kedua melalui National University of Singapore (NUS) dan Nanyang Technological University (NTU). Di dunia, NUS dan NT berada di peringkat ke-11 dan ke-19.
Peringkat ketiga hingga ketujuh ditempati lima perguruan tinggi dari Malaysia. Peringkat kedelapan ditempati perguruan tinggi Thailand.
Adapun perguruan tinggi Indonesia melalui UGM dan ITB berada di peringkat kesembilan dan kesepuluh. Kita berharap dengan adanya capaian baru ini, ke depan, perguruan tinggi Indonesia mampu masuk ke lima besar di ASEAN.
Baca juga: Profesor, Publikasi, dan Biaya Ekonomi
Biaya publikasi Scopus
Kita selama ini masih saja terombang-ambing dengan kebijakan publikasi dosen di jurnal internasional bereputasi (JIB). Akibatnya, pemerintah selalu ragu-ragu untuk secara serius menerapkan kebijakan penting ini. Banyak alasannya.
Salah satu alasan yang paling sering kita baca dan dengar adalah publikasi di Scopus sesuatu yang tidak masuk akal. Kita yang meneliti, kita yang menulis, tetapi kita harus mengeluarkan uang kepada pihak JIB dengan biaya yang mahal sekali sehingga muncul berbagai istilah, seperti hantu Scopus dan lain-lain, yang mendegradasi pentingnya artikel peneliti kita dimuat di JIB.
Ali Khomsan, misalnya, dalam artikelnya, ”Profesor, Publikasi, dan Biaya Ekonomi” (Kompas, 7/3/2022) menulis, ”Dengan kalkulasi kasar, jika memublikasikan karya ilmiah di JIB perlu biaya Rp 20 juta-Rp 40 juta per artikel; pada 2018, dengan publikasi 34.007 artikel, dosen/ilmuwan Indonesia mengeluarkan biaya sebesar Rp 680.140.000.000-Rp 1.360.280.000.000.”
Padahal, tidak semua jurnal internasional bereputasi, yang terindeks di Scopus dan berstatus quartile tinggi (Q1 atau Q2), diwajibkan untuk membayar mahal kepada penerbit agar artikel kita dapat dipublikasikan. Banyak jurnal yang bermutu (Q1 dan Q2) yang tak mensyaratkan pembayaran yang mahal. Bahkan, banyak yang gratis pula.
Persoalan ini perlu kita posisikan secara proporsional. Jangan sampai kebijakan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) seakan-akan jadi kebijakan yang boros, dan menjadi kebijakan yang menyakiti hati para dosen/peneliti.
Wajib publikasi di JIB
Saya berpendapat, publikasi-publikasi di berbagai JIB wajib dan perlu dilakukan para dosen/peneliti di Indonesia. Alasannya, paling tidak karena dua hal. Pertama, ini satu-satunya mekanisme untuk menilai apakah penelitian dosen/peneliti sudah dalam jalur yang benar atau belum. Ketika kita mengirimkan (submit) sebuah artikel ke JIB, yang menjadi alasan utama penolakan adalah kurangnya unsur kebaruan (novelty) dan kurang atau tidak adanya kontribusi ilmu pengetahuan (knowledge) pada bidang penelitian yang ditulis.
Saya berpendapat, publikasi-publikasi di berbagai JIB wajib dan perlu dilakukan para dosen/peneliti di Indonesia.
Artinya, artikel yang dapat dipublikasi pada JIB adalah artikel berupa hasil penelitian yang memenuhi kedua persyaratan itu: ada kebaruan dan ada pula kontribusi bagi ilmu pengetahuan. Persyaratan ini hanya mungkin diketahui kalau publikasi di JIB dilakukan dosen/peneliti kita.
Kedua, penelitian yang dilakukan dosen/peneliti kita harus dinilai oleh para juri dengan adil. Mekanisme yang paling murah dan logis untuk memilih juri dengan adil hanya melalui publikasi di JIB. Mengapa demikian, karena setiap artikel akan dinilai oleh beberapa pakar sebidang. Setelah dinilai oleh beberapa juri (reviewers) terkait nasib artikel kita, baru editor jurnal dapat mengambil kesimpulan untuk menolak/menerima artikel tersebut.
Proses penilaian oleh reviewers bisa berlangsung berkali-kali. Karena tim juri bisa meminta klarifikasi, pembuktian, penambahan eksperimen, dan lain-lain, dan itu semua harus dijawab pengarang korespondensi (corresponding author). Ketika reviewers dan editor puas, artikel tersebut baru bisa diterbitkan. Kalau tidak, pengarang korespondensi akan mengirimkan artikel tersebut ke jurnal lainnya, dengan menggunakan umpan balik (feedback) yang diberikan reviewers sebelumnya.
Sungguh suatu upaya yang berat dan melelahkan untuk bisa tembus ke JIB. Namun, semakin sering upaya ini dilakukan, akan semakin mudah dan nikmat menjalankan tugas ini atau dalam peribahasa kita: alah bisa karena biasa.
Prestasi akademik
Untuk meningkatkan prestasi akademik perguruan tinggi, saya mengusulkan tiga langkah awal yang relatif mudah untuk dikerjakan.
Pertama, pihak eksekutif (Kemendikbudristek), legislatif (DPR), dan yudikatif (dalam hal ini Mahkamah Konstitusi yang sering mendapat pengaduan masyarakat terkait kebijakan publikasi dosen yang dirasakan cukup berat dan tidak adil) harus bahu-membahu serta ngotot untuk mendorong prestasi akademik perguruan tinggi di Indonesia.
Ketiga pihak itu harus duduk semeja mendiskusikan nasib prestasi akademik perguruan tinggi kita yang sedang bermasalah ini. Jangan ada salah satu dari ketiga komponen di atas yang ragu-ragu terhadap kemampuan akademik rakyat dan bangsa kita. Kita bangsa yang besar. Sedikit saja kita ragu untuk bergerak positif, akan semakin sulit bagi gerakan kita untuk maju.
Kedua, perguruan tinggi di Indonesia harus diperkuat. Secara institusional, perguruan tinggi kita sangat rapuh. Penyebabnya ialah rektor perguruan tinggi, khususnya rektor perguruan tinggi negeri (PTN), bekerja tidak fokus dan tidak mungkin fokus. Ini karena di samping menjadi pemimpin dalam bidang akademik, rektor juga berfungsi sebagai kuasa pengguna anggaran (KPA).
Bayangkan, para pemeriksa keuangan itu bisa berminggu-minggu duduk di Biro Rektor untuk minta klarifikasi rektor dari temuan-temuan yang diperoleh.
Karena tugasnya sebagai KPA, rektor akan rutin diperiksa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), serta Inspektorat Jenderal Kemendikbudristek terkait penggunaan anggaran untuk membangun gedung, pengadaan bahan dan alat lab, dan lain-lain.
Rektor tentu akan kehilangan banyak waktu, energi, dan pikiran untuk masalah pertanggungjawaban keuangan. Akibatnya, urusan-urusan akademik menjadi tidak fokus. Bayangkan, para pemeriksa keuangan itu bisa berminggu-minggu duduk di Biro Rektor untuk minta klarifikasi rektor dari temuan-temuan yang diperoleh.
Lalu, hanya dengan energi dan pikiran yang tersisa apa adanya, rektor mengarahkan dan memberikan semangat kepada semua dosen untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Hasilnya tentu saja tidak akan maksimal.
Seharusnya, rektor rutin diperiksa kinerjanya terkait dengan penyelenggaraan Tri Dharma Perguruan Tinggi saja. Oleh sebab itu, tugas rektor sebagai KPA harus dipertimbangkan lagi oleh pemerintah untuk dilepaskan karena inilah penyebab utama rektor dan semua dosen tidak fokus dalam bekerja sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.
Baca juga:Profesor karena Joki
Saya juga yakin, kalau KPA bukan lagi menjadi bagian dari tugas rektor, bursa rektor di kebanyakan PTN akan diisi oleh dosen yang serius menekuni bidang akademik sehingga prestasi akademik akan lebih mudah ditingkatkan.
Persoalan ini pernah saya bahas secara detail dalam artikel ”Meningkatkan Kualitas Riset” (Kompas, 5/8/2014) dan ”Pengelolaan Keuangan PTN” (Kompas, 17/11/2016).
Ketiga, tugas dosen sekarang ini tidak fokus. Borang yang harus diisi oleh dosen banyak sekali dan berulang-ulang.
Selama ini dosen disibukkan untuk mengisi beban kerja dosen (BKD), aplikasi Sister, dan lain-lain. Berbagai aplikasi datang silih berganti dan sebagai akibatnya muncul berbagai sosialisasi yang wajib diikuti dosen. Kegiatan-kegiatan administratif ini sangat menguras energi dan menurunkan imunitas tubuh para dosen.
Kegiatan-kegiatan administratif ini sangat menguras energi dan menurunkan imunitas tubuh para dosen.
Akibatnya, tugas dosen untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi menjadi tidak fokus. Dosen kehilangan konsentrasi dan tidak sempat bertafakur atau berkontemplasi. Pemerintah dan masyarakat pasti rugi dengan kinerja dosen yang seperti ini.
Kalau ketiga hal itu dapat kita jalankan, paling tidak kita sudah meletakkan fondasi awal untuk mengatasi ketertinggalan prestasi akademik kita di ASEAN. Langkah dan waktu yang dibutuhkan memang masih panjang. Strategi jangka panjang dan pendek tetap harus kita susun secara sistematis.
Namun, sebelum itu, kita harus sepakat dan harus optimistis bahwa suatu saat nanti perguruan tinggi kita akan menjadi yang terbaik dalam prestasi akademik, paling tidak masuk dalam lima besar di ASEAN.
Syamsul Rizal Profesor di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh